Kanaya duduk di depan meja itu, menatap lurus ke arah seorang lelaki paruh baya yang sedang mengetik di depan sebuah laptop. Cukup lama ia menunggu, sampai akhirnya lelaki itu berhenti dan menatap Kanaya dengan tajam.
Kanaya mengulaskan senyuman, saat mata mereka bertemu di sana.
“Jadi, kau yang bernama Kanaya?” tanya lelaki itu, kali ini suaranya terdengar lebih ramah.
“Benar, Pak,” sahut Kanaya sopan.
“Jadi, Pak Elang sendiri yang merekomendasikanmu untuk bekerja di sini?”
“Kebetulan saya bertemu dengan beliau,” kata Kanaya.
“Hmm, Pak Elang sudah menjelaskannya. Dia begitu percaya padamu, bahkan hanya dari melihat CV ini. Aku bisa mengatakan jika kau sangat beruntung. Apakah kau tahu posisi apa yang ditawarkan padamu?”
“Jika sesuai dengan pengalaman yang telah saya tulis, sepertinya itu assistent manajer, Pak.”
“Kau benar, memang itu posisinya. Jika melihat CV ini, kau memang memiliki pengalaman yang bagus, tapi kenapa kau mencari pekerjaan lain, padahal di sana kau telah mendapatkan posisi yang bagus?”
“Bapak benar, posisi itu memang sudah sangat bagus. Saya terpaksa resign karena tidak memiliki pilihan lain. Saya menolak untuk dipindah tugaskan, dengan alasan saya tidak bisa meninggalkan ibu terlalu jauh.”
“Oh, begitu rupanya? Karena kau menolak, maka kau harus berhenti?”
“Benar.” Kanaya menjawab dengan cepat.
“Sepertinya kau sangat memperhatikan ibumu, ya?”
“Itu sudah menjadi tugas saya.”
“Aku akan...”
“Akan apa?” Elang tiba – tiba masuk ke ruangan personalia itu dengan senyum lebar sambil tertawa renyah, ia lalu duduk begitu saja di samping Kanaya.
“Wah, kenapa anda masuk tiba – tiba?” Ucap lelaki itu.
“Tentu saja ingin melihat wawancara ini berlangsung,” jawab Elang, menatap Kanaya lekat, membuat gadis itu merasa canggung.
“Baiklah, kurasa wawancaranya sudah cukup, sepertinya Pak Elang sudah tidak sabar untuk menunggu.” Perkataan itu terasa tidak mengenakkan di telinga Kanaya, tapi ia hanya mengangguk pelan dan berdiri dari kursinya.
“Terima kasih, saya mohon diri.” Kanaya kemudian berbalik, berniat untuk meninggalkan ruangan itu, tapi Elang memanggilnya dengan segera, “Kanaya! Bisa ikut denganku?”
“Ya?” Kanaya cukup terkejut, tapi ia segera berjalan mengikuti Elang.
.....
“Naya, di sini ruang kerjaku dan meja di depan ruangan ini adalah milikmu. Untuk tugas, kurasa kau sudah cukup tahu, mungkin hanya ada beberapa hal yang sedikit berbeda dengan pekerjaan lamamu. Jadi, kapan kau siap untuk mulai bekerja denganku, Naya?”
“Apa?”
“Loh? Kenapa kau terkejut? Kau tidak menerima pekerjaan ini?”
“Eh? Bukan, saya hanya terkejut. Jadi, apakah saya sudah diterima, Pak?”
“Ya, kau diterima. Selamat untukmu, Kanaya.” Elang mengulurkan tangannya, dan Kanaya menerima uluran tangan itu dengan ragu. Benarkah ia diterima di perusahaan besar ini dengan begitu mudah? Hanya itu saja wawancara yang harus ia lalui?
“Terima kasih,” jawab Kanaya masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya itu. Sepertinya Nadine benar, Elang memiliki kekuasaan yang cukup besar di sini. Tapi hanya dengan posisi manajer?
“Kenapa? Apa yang kau pikirkan, Naya?” Tampaknya Elang bisa merasakan keraguan di dalam diri Kanaya itu.
“Bukan apa – apa, kalau begitu besok saya akan mulai bekerja.” Kanaya berkata dengan begitu sopan, gadis itu tersenyum, membalas tatapan Elang yang begitu dalam.
“Oke, aku menunggu kedatanganmu, Naya. Selamat bergabung di perusahaan ini. Bagaimana jika nanti malam aku mengundangmu untuk makan malam?”
“Apa?”
“Aku tidak bermaksud apa – apa, anggaplah ini sebagai ucapan selamat untukmu. Dan aku ingin membangun hubungan yang baik denganmu, karena kau bekerja langsung di bawahku, bukankah sebaiknya kita saling mengenal dengan baik? Dengan begitu hubungan pekerjaan pun menjadi lebih mudah, kan?”
“Tapi...”
“Kenapa? Apakah kau memiliki janji malam ini?”
Kanaya mengangguk, “Benar, saya telah memiliki janji dengan seseorang. Saya minta maaf, Pak.”
“Oh, sangat disayangkan. Baiklah, mungkin lain kali.” Elang tersenyum, dan terlihat dengan jelas jika ia tertarik akan Kanaya. Sorot mata itu tak bisa Elang sembunyikan.
....
“Naya, mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bertemu. Besok aku sudah terbang ke sana, apakah kau tidak ingin memikirkannya lagi?” Dave menatap Kanaya penuh harap, ia sangat berharap jika kekasihnya itu berubah pikiran dan bersedia pergi dengannya.
Kanaya tersenyum, “Aku minta maaf, Dave, aku tidak bisa.”
“Aku mengerti.” Dave membuka kotak kecil yang digenggamnya sejak tadi, mengeluarkan sebuah cincin dari sana, “Apakah kau mau menerima ini untukku?”
“Dave..”
“Aku ingin kau selalu memakainya, sebagai tanda jika kau tetap akan menjadi Kanayaku. Aku ingin kau selalu mengingat betapa besar cintaku untukmu, Naya.” Dave menyematkan cincin itu di jari manis Kanaya, lalu mengecupnya lembut.
“Dave, apakah kau meragukanku?”
“Tidak, aku tidak begitu. Apakah cincin ini menjadi beban bagimu, Naya?”
Kanaya menatap cincin emas yang melingkar di jarinya itu, terlihat begitu cantik memang, namun cincin ini seakan menjadi rantai bagi diri Kanaya. Gadis itu menatap Dave lekat, lalu tersenyum kembali, “Dave, walau tanpa cincin di jariku, aku tetap akan menjadi Kanayamu.”
Dave tidak menjawab, lelaki itu mengatupkan kedua bibirnya, lalu menatap Kanaya lagi, menyusuri wajah kekasihnya itu dengan kedua bola matanya. Kanaya begitu cantik, wajahnya ramping, kulitnya putih merona, bibirnya begitu ranum, serta matanya yang terbentuk dengan indah. Kanaya adalah bidadari bagi Dave. Siapapun yang melihat gadis itu, tak akan bisa jika tidak menatapnya, dan Dave sadar benar akan hal itu. Itulah kenapa, ia begitu takut kehilangan Kanaya. Ia mempertahankan hubungan mereka sekuat yang Dave bisa, dan ia tak akan pernah rela untuk melepaskan Kanaya. Semua yang ada di dalam diri Kanaya adalah impiannya, dia gadis yang teramat sempurna bagi Dave.
Akhirnya Dave mengangguk, “Aku tahu. Aku tidak pernah meragukan cintamu padaku, Naya. Bukankah hubungan kita selama ini selalu baik – baik saja? Dan, akan selalu begitu, kan?”
“Hmm, semua pasti baik – baik saja, Dave. Aku percaya padamu, maka kuharap kau juga percaya padaku. Bukankah hubungan yang baik itu jika kita saling percaya?”
Dave meraih tangan Kanaya, menggenggamnya erat, menatap hamparan pasir yang sesekali tersapu ombak di bawah kaki mereka. Dave menatap lurus ke depan, ke tempat cahaya jingga yang memantulkan sinarnya, menampakkan siluet bayangan sang mentari yang sebentar lagi akan meredup.
Disinilah, pertama kali mereka mengikat janji dan cinta. Dave sangat bangga kala itu, karena menjadi yang terpilih diantara banyak lelaki yang berusaha merebut hati Kanaya. Dave mengakui untuk mendapatkan Kanaya bukanlah perkara yang mudah, ia telah berjuang sekuat tenaga untuk mengejar gadis itu, dan semua tidak berakhir dengan sia – sia. Kanaya kini menjadi miliknya, tapi tanpa pernikahan...seberapa lama itu akan bertahan?
“Dave..” Suara Kanaya memudarkan pikiran laki – laki itu, kecemasan sedang merambat di dalam hatinya. Kepergiannya nanti bukan untuk sebentar, apakah semua akan baik – baik saja?
“Ya?” Dave menjawab dengan lirih, dan Kanaya mampu merasakan kesedihan itu. Kanaya pun merasakan hal yang sama, namun ia harus terlihat kuat demi Dave. Masa depan Dave dan impiannya adalah yang terpenting saat ini.
Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dave, gadis itu memejamkan mata, menikmati suara deburan ombak yang terasa begitu menyayat hatinya. Sebentar lagi, hanya tinggal beberapa jam lagi, maka Dave tidak akan ada di sisinya. Tidak akan ada lagi yang datang untuk sekedar menyapa di malam nan sepi, tidak akan ada kecupan lembut di keningnya lagi, tidak akan ada aroma wangi tubuh Dave yang Kanaya sukai, dan Kanaya tidak pernah menyangka jika hubungan mereka akan dipisahkan oleh lautan yang dalam.
“Kanaya, aku berjanji akan menikahimu. Maukah kau menungguku?” Dave memeluk bahu Kanaya, mengusapnya dengan sayang.
“Ya, aku akan menunggumu, Dave.”
“Terima kasih, sayang.” Dave mengecup puncak kepala Kanaya, menghirup aroma shampoo gadis itu, aroma yang sangat Dave sukai.
....
Kanaya melepaskan keberangkatan Dave di bandara, gadis itu melambaikan tangannya saat Dave masuk ke dalam sembari menatapnya dengan begitu sedih. Hati Kanaya terasa hancur, ia tahu benar jika Dave tidak akan kembali dalam waktu dekat. Tapi senyum yang merekah dari bibir indah gadis itu, tetap menyertai kepergian kekasihnya.
Kanaya terisak, saat pesawat itu telah melambung ke udara, membawa belahan jiwa yang selama ini menjadi bagian terpenting dari diri Kanaya, bahkan yang menjadi alasan mengapa Kanaya meninggalkan kotanya dan pindah ke kota ini, semata hanya untuk Dave. Tapi, untuk melintasi pulau, Kanaya belum bisa melakukannya.
Gadis itu berjalan dengan rapuh, mulai menjauh dari tempat itu, Kanaya tidak akan pernah melupakan wajah Dave, saat lelaki itu menatapnya dengan begitu sayu. Pelukan yang akan selalu Kanaya rindukan.
“Dave, kenapa kau tidak menolak saja? Bukankah kau sudah cukup baik dengan jabatanmu yang sekarang? Kenapa kau tidak bisa tinggal denganku dan ikut di dalam kebahagiaanku? Aku mendapatkan pekerjaan itu, Dave. Kau tidak sempat bertanya, bukan?” Kanaya meluapkan semua rasa yang ada di dalam hatinya, ia memendam semua kalimat itu sampai akhir, ia tak ingin Dave mendengarnya.