“Kau datang, Kanaya? Tidak biasanya kau bisa mampir ke rumahku?” Nadine meletakkan secangkir teh dan kue di meja itu, lalu duduk di dekat Kanaya, menatap kesedihan yang terlihat jelas di wajahnya.
Kanaya mengangguk, “Aku butuh seseorang, Nadine,” kata Kanaya lirih, menatap cangkir teh yang masih mengepul itu.
“Oh, memangnya ke mana Dave? Bukankah kau selalu bersamanya sampai melupakan aku?”
Kanaya tidak menjawab, tiba – tiba air mata gadis itu mengalir begitu saja, membuat Nadine terkejut, “Naya, ada apa? Apakah pertanyaanku tadi membuatmu menangis? Hubunganmu dengan Dave baik – baik saja, kan?”
Kanaya menoleh, gadis itu memeluk Nadine dan seketika tangisnya pecah di dalam pelukan gadis itu. Nadine tidak bertanya lagi, tapi ia cukup menduga – duga jika semua ini pasti berkaitan dengan Dave. Nadine tahu, selama ini Kanaya tidak pernah menangis, keberadaan Dave di sisi gadis itu selalu membuatnya bahagia. Nadine mengusap punggung Kanaya, mungkinkah Dave telah menyakiti hati Kanaya dan meninggalkannya? Tapi, mungkinkah itu? Nadine tahu jika Dave dan Kanaya saling mencintai, mereka bagai Romi dan Julie. Tidak akan pernah terpisahkan.
Kanaya melepaskan pelukannya, setelah ia merasa sedikit lega karena berhasil meluapkan kesedihannya itu lalu mengusap air mata dari wajahnya, “Maaf, membuat bahumu basah, Nadine,” ucap Kanaya, tersenyum lembut.
Nadine meraih cangkir teh itu, memberikannya untuk Kanaya, “Minumlah, jangan memikirkan hal yang lain, Naya.”
Kanaya mengangguk, meneguk tehnya perlahan.
“Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi denganmu, kau tidak pernah menangis seperti ini sebelumnya, Naya.” Nadine menatap Kanaya dengan prihatin, “Apakah terjadi sesuatu diantara kau dan Dave?”
Kanaya menggeleng.
“Tidak? Lalu kenapa?” Tanya Nadine kembali.
“Dave, dia tidak di kota ini lagi, Nadine.”
“Loh? Kenapa? Apakah dia dipindah tugaskan?”
Kanaya mengangguk, “Dan itu sangat jauh, ini terlalu berat bagiku. Apa yang harus kulakukan tanpa dia di sisiku, Nadine? Aku tidak pernah seharipun tanpa Dave, kau tahu itu, kan?”
“Aku mengerti. Apakah Dave tahu kalau kau tidak ingin dia pergi?”
Kanaya menggeleng lagi.
“Tidak? Kau tidak mengatakannya? Ayolah, Kanaya! Kenapa?” Nadine berkata dengan nada sedikit kesal.
“Aku tidak ingin menghancurkan impian Dave. Dia bekerja keras untuk posisi itu, jika aku melarangnya, bukankah aku terlalu egois?”
“Naya...” Nadine membasahi bibirnya, “Aku mengerti, kau memang seperti itu. Kau selalu memikirkan perasaan orang lain dibanding perasaanmu sendiri. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Apakah kau terlalu baik atau naif.”
“Naif?” Kanaya mendongak, menatap Nadine.
“Hmm, tidak selamanya kau bisa menjadi Kanaya yang selalu memikirkan orang lain. Ada kalanya kau harus memikirkan dirimu sendiri, kebahagiaanmu, juga harapanmu. Mungkin, kalau kau jujur kepada Dave, kurasa dia akan mempertimbangkan kepergiannya. Aku tahu Dave sangat mencintaimu, Naya. Tapi, kalau kau sudah berpikir demikian, bukankah seharusnya kau belajar untuk menerima keputusan itu? Aku tahu, ini tidak mudah, tapi percayalah semua akan kembali normal seiring dengan berjalannya waktu. Kau hanya butuh waktu untuk membiasakan diri, Naya.”
“Aku tidak tahu, Nadine. Aku benar – benar putus asa.”
“Apa yang kau takutkan, Naya? Kau takut jika Dave akan memiliki perempuan lain di sana? Kurasa tidak. Dave sangat mencintaimu.”
“Kenapa kau begitu yakin, Nadine?”
“Astaga, Naya. Apa kau tidak bisa melihatnya? Aku saja bisa melihat itu. Sudahlah, jangan penuhi kepalamu dengan dugaan – dugaan yang belum tentu terjadi itu.” Kata Nadine.
“Kau bahkan sudah memakai cincin darinya, kan? Kenapa kau masih ragu, Naya?” Nadine menatap jari Kanaya yang memakai cincin itu.
“Dari mana kau tahu, cincin ini dari dia?”
“Oh, Dave tidak mengatakannya? Dia membeli cincin itu bersamaku. Dia takut kau tidak akan suka modelnya, jadi dia memintaku untuk menemani. Aku pikir dia akan melamarmu dengan cincin itu, aku tidak tahu kalau dia akan pergi.”
Kanaya tersenyum, “Dia memang memintaku untuk menikah dengannya, tapi aku tidak bisa pergi dengannya. Kau tahu itu, kan?”
“Karena ibumu?”
“Ya, kau tahu itu.”
Nadine mendesah, “Ya, itulah kau. Apalagi yang bisa kukatakan padamu? Tapi, Naya, kuharap kau tidak akan pernah melepaskan Dave, apapun yang terjadi. Dia laki – laki yang tepat untukmu. Jangan sepertiku, kau mengerti?”
Kanaya menatap Nadine tak mengerti, mereka memang memiliki hubungan yang cukup dekat saat kuliah dulu, tapi setelah lulus, mereka baru saja dipertemukan kembali hari itu. “Apa maksudmu, Nadine?” Kanaya menatap foto pernikahan Nadine yang terpasang di dinding ruang tamu rumah itu, laki – laki yang tidak pernah Kanaya kenal sebelumnya.
“Pernikahan tidak seindah itu, Naya, jika kau menikah dengan orang yang tidak tepat.”
“Nadine, apa kau tidak bahagia?”
Nadine tersenyum, “Apakah sekarang kau baik – baik saja, Naya? Kau sendiri sedang tidak baik – baik saja, kan? Tapi kau masih mencemaskan aku. Kau memang tidak berubah, Kanaya.”
“Nadine, kenapa kau menikah begitu cepat?”
“Tidak, aku menikah setelah kita lulus kuliah. Kurasa itu tidak terlalu muda, kan?” Nadine tertawa, tapi Kanaya melihat jika tawa perempuan itu palsu.
“Sepertinya dia sudah pulang, Naya.” Nadine menoleh, saat melihat sebuah mobil memasuki halaman rumah itu.
“Kalau begitu, aku harus pamit, Nadine.” Kanaya berdiri, dan melangkah ke pintu bersama perempuan itu.
“Oh, siapa dia, Nadine?” Lelaki yang terlihat lebih tua dari Nadine itu bertanya, ketika ia turun dari mobilnya dan melihat mereka.
“Kanaya, perkenalkan dia suamiku,” ucap Nadine.
“Kanaya, dulu saya teman kuliah Nadine.” Kanaya memperkenalkan dirinya sendiri kepada laki – laki itu. lelaki itu menatap Kanaya sejenak, kemudian mengangguk, “Oh, begitu rupanya. Apa kau sudah mau pulang, Kanaya?”
Kanaya tersenyum, “Ya. Saya permisi.” Kanaya menatap Nadine, perempuan itu membalas senyum Kanaya, “Datanglah lain kali, Naya.”
Kanaya mengangguk, lalu segera meninggalkan halaman rumah itu. Ia tidak mengerti, kenapa Nadine mengatakan hal yang demikian. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan pernikahan mereka?
......
“Kau tidak pernah menceritakan soal gadis itu, Nadine,” kata Hendy, melepaskan sepatunya dan melangkah masuk ke dalam rumah itu.
“Kami baru saja bertemu kembali setelah lulus dari kuliah,” jawab Nadine, yang merasa heran karena Hendy tertarik untuk membicarakan Kanaya.
“Oh, kurasa hubungan kalian cukup dekat, dia bahkan datang ke rumah ini.” Hendy meraih segelas air, meneguknya hingga habis.
“Itu hanya kebetulan. Dia hanya mengucapkan terima kasih karena aku membantunya mendapatkan pekerjaan,” tukas Nadine.
“Oh, ya? Dia bekerja di kantormu?”
“Tidak. Dia bekerja di cabang yang berbeda. Aku akan memanaskan makan malamnya, kupikir kau tidak akan pulang terlambat.” Nadine berjalan ke dapur, dan memanaskan kembali hidangan yang telah ia buat tadi.
“Rapat mendadak. Biasa, kan? Kenapa kau memasak? Kau tidak perlu seperti ini.” Lelaki itu berkata dengan tak acuh, “Lagipula aku sudah makan.”
Nadine yang sedang berada di dapur tidak menjawab, ia kembali membereskan makanan itu dan membuangnya ke dalam tempat sampah.
“Pergilah mandi, aku lelah.” Nadine berjalan ke dalam kamarnya, dan menutup pintu kamar itu dengan keras.
“Hei, kenapa kau begini?” Hendy berbicara dengan nyaring di depan pintu kamar itu, terlihat tidak senang dengan apa yang baru saja dilakukan istrinya.
.....
“Kau tidak tidur?” Hendy meletakkan minuman di dekat Nadine, tepatnya di meja perempuan itu. Nadine hanya menoleh sedikit, lantas kembali disibukkan dengan laptopnya.
“Nadine, aku tahu kau sibuk, tapi tak bisakah kau berhenti saat di rumah?”
“Aku memiliki banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Besok akan ada presentasi untuk produk baru, aku harus membuat laporannya.”
“Nadine, bisakah kita bicara sebentar?”
“Tidak sekarang, Hen.” Nadine menjawab tanpa melihat kepada suaminya itu, ia terus bekerja dan bekerja.
Terdengar suara tarikan napas dari mulut Hendy, “Oke, bagaimana kalau besok? Makan malam di luar?”
“Entahlah, aku tidak yakin.”
Hendy terdiam, menatap punggung istrinya dengan hati yang gemetar. Ia menarik napas kembali, lalu tersenyum tipis, “Kabari aku kalau kau bisa.”
“Hmm.” Hanya itu yang terucap dari mulut Nadine.