“Kau datang pagi sekali, Naya?” Elang menyapa gadis itu saat hendak masuk ke dalam ruangannya. Kanaya mengangguk, sambil tersenyum kepada atasan barunya itu.
“Saya tidak ingin terlambat, terlebih di hari pertama saya bekerja, Pak,” ucap Kanaya.
“Kau memang berbeda, Naya. Aku tidak salah memilihmu, kan?” Elang tertawa, meletakkan cup berisi kopi itu di meja Kanaya, “Ini untukmu, aku harap kau senang bekerja denganku.”
“Terima kasih, Pak, Elang.”
“Kanaya, aku akan mengirim email padamu. Email itu akan membantu pekerjaanmu di sini. Aku sendiri yang akan melatihmu.” Elang tersenyum dengan begitu manis, matanya menatap Kanaya dengan begitu percaya diri. Kanaya hanya mengangguk, saat Elang melangkah ke dalam ruangannya itu.
Kanaya mengambil ponselnya yang bergetar, bibirnya tersenyum saat membaca pesan dari Dave. Dave bahkan mengiriminya foto saat lelaki itu sudah berada di meja kerjanya yang baru. Dave terlihat begitu senang dengan senyum di bibirnya.
“Apa? Dia meminta fotoku juga?” kata Kanaya, dan mulai mengambil foto dirinya untuk ia kirimkan kepada Dave.
Wah, kau cantik sekali, Naya. Apakah kau menyukai pekerjaan barumu? Aku sangat merindukanmu, Naya. Sehari saja tidak melihatmu, rasanya benar – benar pedih.
Ya, Dave, aku suka dengan pekerjaan baruku. Aku juga merindukanmu, bekerjalah sebaik mungkin, Dave.
Aku cinta kamu, Kanaya.
Kanaya terdiam, perpisahan ini masih terasa berat baginya. Dave memang kerap mengirim pesan, lelaki itu bahkan menelephone di waktu senggangnya, tapi tetap saja, semua terasa berbeda. Kanaya benar – benar sendirian.
“Jadi, kau Kanaya?”
Kanaya menoleh, saat seorang perempuan muda menyebut namanya.
“Benar, itu saya,” sahut Kanaya, menatap perempuan yang menatapnya dengan angkuh itu.
Perempuan itu tersenyum, sebuah senyum yang terlihat merendahkan Kanaya. Ia bahkan menatap Kanaya seperti melihat sesuatu yang tidak berharga. Kanaya menangkap tatapan itu, tapi ia tak ingin berburuk sangka.
“Elang di dalam?” Tanyanya kemudian.
Kanaya mengangguk, “Ya, Pak Elang baru saja masuk.”
“Oke.” Perempuan itu melangkah, melewati Kanaya begitu saja.
“Tapi...” Suara Kanaya berhenti, saat perempuan itu masuk begitu saja ke dalam. Ia bahkan tidak mengetuk pintu itu lebih dulu. Kanaya hanya berpikir, mungkin saja dia memiliki jabatan yang lebih tinggi darinya.
“Dia putri salah satu pemegang saham di perusahaan ini, Kanaya,” kata Nadine, yang tiba – tiba muncul di sana.
“Nadine? Kau di sini?” Kanaya terkejut dengan kedatangan Nadine di kantornya itu.
“Oh, kau tidak tahu? Hari ini aku datang untuk melakukan presentasi produk baru yang rencananya akan diproduksi beberapa bulan ke depan. Jadi, aku datang ke sini karena harus meminta persetujuan Pak Elang,” jelas Nadine.
“Jadi wanita tadi datang untuk itu?”
“Ibu Rieka, namanya. Meskipun dia putri salah satu pemilik saham di perusahaan kita, tapi ia tetap berstatus karyawan. Karyawan dengan jabatan yang sama seperti Pak Elang. Ehm, dia belum lama bekerja di perusahaan, Naya. Kurasa dia akan sering datang ke kantor ini.” Nadine mengedipkan sebelah matanya, dan Kanaya tidak tahu apa maksud perempuan itu.
Kanaya hanya diam, saat Nadine pergi meninggalkannya.
.....
“Nadine, Kanaya tidak masuk?” Elang bertanya, ketika melihat Nadine masuk seorang diri ke dalam ruang kerjanya itu.
“Oh, maaf, saya akan memberitahunya,” ucap Nadine, yang kembali berdiri dan memanggil Kanaya.
“Ah, sepertinya assisten barumu itu tidak tahu apa – apa.” Rieka berkata dengan sinis, menatap Elang yang terlihat sibuk dengan berkas – berkas itu.
“Ini hari pertamanya, lagipula aku memang tidak memberitahu Kanaya jika hari ini akan ada rapat internal. Dia cukup berpengalaman di bidang ini, Rieka,” jawab Elang yang tidak menatap perempuan itu.
“Wah, apa kau sedang memujinya?”
Pintu itu kembali terbuka, Nadine masuk bersama Kanaya yang masih terlihat canggung dengan kantor barunya itu.
“Kanaya, duduklah di sini.” Elang menunjuk sofa di sisinya, dan tentu saja hal itu membuat Rieka dan Nadine cukup terkejut. Nadine sendiri yang sudah lama bekerja di perusahaan itu tidak pernah duduk di dekat Elang ketika datang ke kantor ini, begitupun dengan Rieka
“Ya? Saya ?”
“Hmm, ke marilah agar aku mudah untuk memberi penjelasan padamu.”
Kanaya menurut, dan duduk di dekat Elang.
“Naya, maaf, aku tidak memberitahumu jika hari ini kita mengadakan rapat kecil. Rapat sebelum kita membahasnya dengan direktur dan manajer pusat. Kali ini kantor cabang yang diwakili oleh Nadine, yang akan meluncurkan produk barunya. Karena kantor cabang kita dan kantor cabang Nadine serta Ibu Rieka itu satu jalur, maka kami harus mengadakan rapat kecil ini dulu. Tiga kantor cabang kita khusus menangani produk minuman dan makanan. Sedangkan kantor cabang yang lain menangani bahan pokok, seperti beras, tepung, gula, dan semacamnya. Kantor kita tidak berhubungan dengan mereka. Kau akan sering berkomunikasi dengan Nadine dan Ibu Rieka. Oh, ya, Ibu Rieka ini manajer di salah satu kantor cabang kita.”
Kanaya mengangguk mendengar penjelasan laki – laki itu, “Saya mengerti, Pak, Elang.”
“Baiklah, kau bisa mulai Nadine.”
“Baik, Pak.” Nadine membagikan berkas berisi presentasinya itu dan mulai berbicara tentang rencana produk yang akan mereka produksi itu.
.......
“Oke, kurasa itu rencana yang bagus. Bagaimana menurutmu, Bu, Rieka?” tanya Elang kepada perempuan itu.
“Aku merasa jika kemasan yang kau buat terlalu rumit, Nadine. Apakah kau tidak bisa membuatnya lebih sederhana lagi?”
“Ya?” Nadine menatap Rieka, kedua alisnya tampak menyatu.
“Coba kau lihat, gambar di kemasan ini menyamarkan nama produknya.” Rieka menunjuk gambar itu dengan ujung jari telunjuknya.
“Kurasa Ibu Rieka benar, Nadine. Bagaimana jika ukuran gambarnya sedikit diperkecil? Kau bisa merubah warnanya.”
Nadine tersenyum tipis, “Baik, Pak, saya akan merubahnya. Bagaimana dengan isinya? Apakah Bapak setuju?”
“Kurasa camilan berbahan oat ini cukup menyehatkan, kau bisa berikan samplenya padaku nanti.”
“Baik, Pak.”
“Oke, kalau begitu kita akhiri rapat hari ini, kita bertemu lagi setelah kau merubah konsepnya dan membawa sample, Nadine.” Elang berdiri dan kembali duduk di belakang meja kerjanya itu.
“Baik, Pak, saya permisi.” Nadine menatap Kanaya, gadis itu pun bergegas berdiri dan mengikuti Nadine, sementara Rieka masih berada di dalam ruangan laki – laki itu.
....
“Apakah menurutmu kemasan ini salah, Kanaya?” Nadine terlihat kesal saat meninggalkan ruangan itu.
“Menurutku itu sudah bagus, Nadine.” Kanaya tersenyum, “Jauh lebih bagus dari kemasan sejenis milik perusahaan lain.”
“Nah, benar, kan? Aku paling malas jika perempuan itu harus terlibat di dalam rapat. Dia selalu membuatku melakukan revisi. Kau tahu, aku bekerja hingga larut semalam untuk membuat ini.” Nadine benar – benar kesal dengan apa yang baru saja menimpanya itu.
“Apakah dia selalu begitu, Nadine?”
“Ya, kau harus berhati – hati dengannya. Dia sering menemui Pak Elang, entah untuk urusan apa. Ah, Kanaya, sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal padamu, tapi aku harus segera kembali ke kantorku untuk melaporkan hasil rapat kepada manajerku, kurasa dia akan marah besar.” Nadine tertawa, melambaikan tangannya kepada Kanaya sembari melenggang pergi.
Kanaya terdiam, menatap kepergian Nadine dari sana. Gadis itu masih memikirkan ucapan Nadine tentang pernikahan yang ia maksud. Apakah sebuah pernikahan memang serumit itu? Tapi, Kanaya melihat sepertinya suami Nadine adalah lelaki yang baik. Tapi, entahlah dia belum mengenal laki – laki itu. Dia tidak akan mengambil kesimpulan secepat ini.
.....
“Kau menerimanya karena dia cantik, kan?” Rieka menatap Elang, perempuan itu kini duduk di hadapan Elang yang mulai kembali membuka laptopnya.
“Siapa? Kanaya?”
“Hmm, siapa lagi? Dia bahkan tidak melewati proses seleksi yang ketat.”
“Oh, kau mendengar kabar itu? Aku heran, sampai urusan karyawan pun kau mengetahuinya. Apakah kau sedang mengawasiku?”
Rieka tertawa, “Mengawasimu? Yang benar saja. Masalahnya gadis itu memiliki jabatan yang cukup tinggi di sini, dia tepat berada di bawahmu, Elang.”
“Ya, karena aku memang mencari seseorang yang bisa mengisi posisi itu, dan Kanaya adalah orang yang tepat. Dia berpengalaman, Rieka. Itulah kenapa aku menerimanya.”
“Wow, kudengar kau sendiri yang membawa berkasnya.”
Elang berhenti, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, “Kau tidak suka? Aku memiliki hak untuk itu, Rieka. Naya bekerja tepat di bawahku, jadi aku melakukannya.”
“Berikan dia padaku, Elang.” Ucapan Rieka membuat Elang terkejut, laki – laki itu menaikkan alisnya, membuka matanya lebih lebar.
“Apa?”
“Ya, biarkan Kanaya bekerja di bawahku.”
Elang tersenyum lebar, “Kau bercanda, kan? Kembalilah ke kantormu, Rieka. Kau tidak bisa mendapatkan semua yang kau inginkan, oke?”
Rieka tersenyum kecut, “Kau suka padanya?”
“Ya?” Elang menatap Rieka cukup lama, lelaki itu kemudian tersenyum dan mengabaikan pertanyaan perempuan itu.
“Kau tahu, jika hidupmu bergantung padaku, Elang?”
Kali ini Elang kembali menatap Rieka dengan alis menyatu, mencerna kalimat perempuan itu, “Apakah kau sedang memberi peringatan padaku, Rieka?”
“Tidak. Hanya saja kau harus ingat, Elang. Jika kau bisa sampai di kursi itu semata karena bantuan ayahku, dan tentu saja itu karena aku.”
Elang kembali tersenyum, “Ibu Rieka yang terhormat, jika saya tidak memiliki kemampuan untuk duduk di kursi ini, dengan bantuan anda pun, saya tidak akan mendapatkannya. Semua yang saya dapatkan semata hasil kerja keras saya. Dan, anda harus ingat jika saya juga memiliki saham di sini, sekalipun itu tidak besar. Maaf, jika anda tersinggung.”
“Elang, kau tentunya ingat siapa aku dan ayahku, bukan?”
“Ya, tentu saja. Kau cucu dari pemilik perusahaan ini. Tapi aku bangga kepada ayahmu, sekalipun kau putrinya, kau harus melewati tahap ini. Kita bahkan berada di posisi yang sama, bukan? Tapi aku mendapatkannya dengan keringat dan kerja keras.”
“Lalu? Kau ingin mengatakan jika aku mendapat posisi ini karena ayahku adalah putra dari pemilik perusahaan, begitukah?”
Elang menggeleng, “Tidak, kau telah menunjukkan kemampuanmu. Tapi, haruskah kita meributkan masalah ini, Rieka? Kurasa ada banyak hal yang jauh lebih penting yang bisa kita kerjakan. Apakah kau telah memikirkan untuk peluncuran produk baru? Kurasa dua bulan lagi giliranmu, kan?”
“Ah, itu mudah bagiku. Direktur akan menyetujui semua yang kulakukan.” Rieka berkata dengan penuh rasa percaya diri.
“Benarkah? Kurasa ayahmu tidak akan menggunakan jabatannya untuk bertindak sembarangan. Sebaiknya kau mempersiapkan konsepnya dengan matang. Jangan sampai kau dipermalukan di depan paman – pamanmu.”
“Kau meremehkanku, Elang.” Rieka berkata dengan penuh tekanan, bibir perempuan itu tersenyum miring.
“Kalau begitu, buktikan padaku, Rieka. Jangan sampai kau kalah dari Nadine.”
“Hah? Perempuan itu? Tidak akan!”
Rieka berdiri, menatap Elang sekali lagi lalu berbalik dan melangkah ke pintu, tapi perkataan Elang membuat langkahnya berhenti sesaat.
“Di perusahaan ini, kita semua karyawan, Rieka. Karyawan yang digaji.”
Rieka tidak menjawab, ia kembali melangkah dan pergi dari sana. Ia bahkan tidak menoleh, saat Kanaya menyapa di depan ruangan laki – laki itu.