“Naya, apa kau ada waktu malam ini?” Elang berdiri di depan meja Kanaya, gadis itu terlihat sedang bersiap untuk pulang.
“Apakah ada hal lain yang harus saya kerjakan, Pak, Elang?” Kanaya berhenti, tersenyum lembut kepada atasannya itu.
“Ehm, sebenarnya aku mendapat undangan gathering, tapi aku tidak ingin datang sendirian. Maukah kau pergi denganku, Naya?”
“Malam ini, Pak? Tapi saya tidak membawa pakaian untuk datang ke acara itu dan rumah saya cukup jauh dari sini, saya takut tidak sempat untuk pergi, Pak.” Kanaya melihat jam tangannya, waktu sudah menunjuk pukul 5 sore.
“Seberapa jauh rumahmu, Naya?”
“Tiga puluh menit dari sini, Pak, itu juga jika angkutan umumnya datang tepat waktu.”
“Kurasa tidak akan sempat, jika kau harus pulang, Kanaya. Kalau begitu cepat berkemas dan ikut denganku.”
“Ya? Dengan baju ini, Pak?”
Elang tidak menjawab, ia berjalan mendahului Kanaya. Gadis itu meraih tasnya dan berlari menyusul Elang meninggalkan kantor itu.
.....
“Pilihlah baju yang tepat untukmu, Kanaya.” Kata Elang, ketika ia membawa Kanaya ke sebuah butik yang cukup ternama. Kanaya terdiam saat lelaki itu memintanya untuk masuk. Kanaya tahu butik ini, ia bahkan tak pernah melangkahkan kakinya sedikitpun hanya untuk melihat – lihat.
“Naya,” panggil Elang kembali, saat melihat gadis itu diam saja di sana.
“Pak, apakah tidak ada tempat yang lain?” Kanaya bertanya dengan ragu, sembari menatap wajah Elang.
“Oh, kenapa? Kau tidak suka toko ini?”
“Eh, bukan begitu...tapi...” Kanaya tersenyum kecil, haruskah ia berterus terang kepada Elang jika ini menyangkut soal harga? Kanaya, sekalipun memiliki gaji yang lumayan, tapi gadis itu kerap mengirimkan sebagian gaji itu untuk ibunya. Dan dia bukan tipe perempuan yang akan menghamburkan uang untuk sepotong pakaian.
Elang tersenyum lebar, tanpa menunggu lama lelaki itu meraih tangan Kanaya dan membawanya masuk ke dalam.
“Tolong, pilihkan pakaian yang tepat untuknya,” kata Elang kepada pelayan toko itu.
“Tapi, Pak?”
Elang mengangguk, “Kita harus cepat, Naya. Acaranya akan dimulai satu jam lagi.”
Kanaya tidak bisa membantah lagi, ia pasrah jika harus mengganti biaya pakaian itu saat gajian nanti.
....
“Naya, berjalanlah di dekatku,” pinta Elang, menatap Kanaya yang kini terbalut di dalam gaun hitam selutut itu. Bibir Elang mengulaskan senyuman, tatapan mata laki – laki itu seolah tak bisa berpindah dari diri Kanaya.
“Pak, saya merasa gugup di acara ini.” Kanaya mencoba untuk menjelaskan perasaannya sembari menatap ke seluruh ruangan, di mana para tamu sudah pasti berasal dari kalangan pengusaha.
“Tidak apa – apa, kita datang untuk melihat peluncuran produk baru mereka.”
“Apakah gathering ini diadakan oleh kantor pusat perusahaan kita, Pak?” tanya Kanaya, yang telah duduk di sisi Elang.
“Ya, perusahaan memberi apresiasi untuk para agen sekaligus memperkenalkan produk baru mereka.”
“Apakah Nadine juga hadir?” Kanaya melihat ke seluruh ruangan, tapi ia belum melihat sosok Nadine di sini.
“Ehm, sepertinya dia tidak hadir. Manajernya datang sendirian, itu orangnya.” Elang menunjuk seorang laki – laki yang terlihat lebih tua dari mereka.
“Oh,” jawab Kanaya.
“Jangan cemas, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian, Kanaya.”
“Apa?”
Elang tertawa, “Kau mau minum? Biar kuambilkan.”
“Biar saya saja, Pak.” Kanaya mendahului, dan berjalan menuju meja dengan minuman yang sudah tertata di sana.
“Oh, kau datang?” Rieka memperhatikan Kanaya, “Aku tak menyangka, kau memiliki gaun seperti itu.”
Kanaya tersenyum sembari mengangguk pelan, tanpa menjawab perempuan itu. Gadis itu mengambil dua gelas minuman, berniat berlalu dari hadapan Rieka.
“Tunggu! Kau datang dengan siapa?”
Kanaya kembali menoleh, “Pak Elang. Saya datang bersamanya.”
Rieka mengerutkan keningnya, dan Kanaya bergegas pergi dari hadapan perempuan itu.
....
“Ada Ibu Rieka di sana, Pak,” ucap Kanaya, meletakkan minuman itu di hadapan Elang.
“Tentu saja, dia tidak akan melewatkan acara seperti ini. Apakah kau bertemu dengannya?”
“Ya,” Kanaya tersenyum, dan menyesap minumannya itu.
“Naya, maaf, jika aku membawamu secara mendadak ke tempat ini. Kau harus pulang terlambat.”
“Tidak apa – apa, Pak. Lagipula saya sendirian. Saya akan membayar gaun ini begitu saya menerima gaji. Apakah tidak apa – apa?”
“Hei, kenapa kau harus membayarnya? Aku berterima kasih padamu karena kau mau ikut denganku. Sebenarnya, aku malas jika harus pergi ke acara seperti ini sendirian. Itu untukmu, Naya.”
“Tapi, Pak.”
“Sudahlah, jangan menolaknya. Acaranya sudah dimulai, setelah ini kita bisa makan lalu pergi.”
Kanaya mengangguk, ia tak menduga memiliki atasan sebaik Elang. Sangat berbeda dengan atasannya yang dulu.
......
“Lalu, alasan apa yang kau katakan kepada suamimu, Nadine?” lelaki muda itu mengecup bahu Nadine, lalu menyelipkan tangannya ke pinggang perempuan itu.
“Kantor pusat mengadakan gathering, itu alasanku.” Nadine menyesap minumannya, perempuan itu duduk menghadap jendela besar yang gordennya terbuka di dalam kamar hotel tersebut.
“Jadi, kau tidak datang ke acara itu?”
“Tidak, James. Aku malas pergi ke acara itu. Manajerku sudah hadir di sana. Aku butuh waktu untuk bersenang – senang setelah bekerja seharian, kan?”
Lelaki itu tertawa, “Kau benar, kita tidak perlu memikirkan hal – hal serumit itu, kan, sayang?”
Nadine memutar tubuhnya, menghadap James, lelaki bule yang ia kenal saat dirinya berwisata ke pantai dulu. James sendiri merupakan laki – laki yang telah memiliki istri di sana, dan kedatangannya ke Indonesia hanya untuk sebuah kontrak kerja. Jika kontrak itu berakhir, maka ia harus segera kembali ke negaranya.
Nadine meraih wajah laki – laki itu, lalu mengecup bibirnya lembut, “James, apakah kau senang dengan permainan kita?”
“Ya, aku sangat senang, Nadine. Kau wanita hebat yang pernah kujumpai. Aku iri kepada suamimu,” ucap James, yang kemudian membalas kecupan itu.
Nadine tersenyum, “Aku yang seharusnya iri kepada istrimu, James. Dia pasti sangat bahagia memilikimu. Apakah dia cantik?”
James mengusap tubuh Nadine, “Ya, dia cantik. Tapi kau jauh lebih cantik dan bisa memberiku kepuasan. Nadine, apakah suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi jika aku kembali ke Indonesia?”
“Tentu saja, kita pasti bertemu lagi. Tapi, kau masih lama di sini, kan, James?”
“Ya, aku masih lama di sini, jangan cemas. Kau bisa menghubungiku kapan saja, sayang.”
Nadine melingkarkan tangannya di leher laki – laki itu, dan mulai menciumnya dengan begitu bersemangat.
“Kau mau lagi, Nadine?” James terkekeh, dan Nadine seketika menarik tubuh James ke atas tempat tidur.
“Ya, aku mau lagi, James.”
“Aku akan membuatmu puas, Nadine.”
“Kau membuatku lupa akan segala hal, James. Aku benar – benar menginginkanmu.”
James melepaskan handuk mandi yang membungkus tubuh perempuan itu, mulai mengecupnya perlahan, menyusuri kulit lembut Nadine dengan bibirnya yang menggoda, sementara tangannya bermain – main di sana dengan lincah.
“Oh, James..” Nadine melengguh, ketika belaian lelaki itu membuat jiwanya melayang.
“Nadine, maukah kau menikah denganku?” ucap James dengan napas yang mulai tak beraturan.
“James, jangan bergurau.” Balas Nadine, meremas punggung basah laki – laki itu.
“Aku tidak bergurau, kita bisa menikah diam – diam. Dengan begitu hubungan kita tidak akan berakhir, Nadine.” James menyesap leher Nadine, meninggalkan bekas di sana.
“James! Jangan lakukan itu!” Nadine mendorong tubuh James, menatapnya dengan pandangan tidak suka.
“Maaf, aku tidak sengaja.”
“Ayolah, James, jangan membuatku khawatir,” pinta Nadine yang kembali menarik tubuh laki – laki itu ke dalam pelukannya.
“Nadine, aku benar – benar jatuh cinta padamu. Aku tidak ingin hubungan kita berakhir setelah ini.”
“James, jangan meminta hal yang tidak mungkin kita lakukan. Kau memiliki istri, dan aku memiliki Hendy. Kita nikmati saja malam ini, James.” Nadine mengecup pipi laki – laki itu, merengkuh tubuhnya semakin kuat, “Ayolah, James, jangan membuatku menunggu.”
“Sayang, kenapa kau begitu tidak sabar?” James tertawa kecil, lelaki itu mengulurkan tangannya dan mematikan lampu tidur di sisi tempat tidur itu.
“James, jangan lupa, kau harus membuangnya di...”
“Aku ingat, sayang. Jangan cemas, aku tidak akan membuat hidupmu berada di dalam bahaya. Tapi, apakah kau benar – benar tidak menginginkan seorang bayi?”
“Tidak, James. Aku tidak ingin mengacaukan hidupku dengan bayi – bayi itu.” Nadine meraih wajah James, menciumnya dengan rakus dan dalam sekejap saja mereka telah terlibat ke dalam pergumulan yang hebat. Sebuah sensasi yang tidak pernah bisa Nadine rasakan ketika bersama dengan Hendy, suaminya itu.
Nadine, apakah gatheringnya belum selesai? Kenapa sampai selarut ini?
Nadine terkejut ketika mendengar ponselnya berdering beberapa kali. Perempuan itu mengerjap, dan terperanjat dari tempat tidurnya saat mengetahui jika waktu telah menunjuk pukul dua dini hari.
“James, bangun.” Nadine berusaha membangunkan laki – laki itu, dan bergegas memakai pakaiannya yang tercecer di lantai.
James mengeliat, membuka mata saat Nadine menyalakan lampu kamar itu.
“Nadine, ada apa?”
“Aku terlambat, James. Aku harus pulang.”
“Sekarang? Tapi ini sudah larut, sayang?”
“Lalu? Apa yang harus kukatakan kepada Hendy? Gatheringnya baru saja selesai di pagi hari?” Nadine menatap James lekat, “Aku pergi, James.”
“Jaga dirimu, sayang!”
Perempuan itu ke luar dari kamar hotel, dan bergegas pergi dari sana dengan mobilnya.
.....
Nadine membuka pintu rumahnya dengan hati – hati, tanpa ia duga lampu rumah itu masih menyala, dan Hendy duduk di ruang tamu sembari menatapnya dengan khawatir.
“Kau baru pulang? Apakah acaranya terlalu banyak sampai pulang dini hari? Kenapa tidak memberi kabar, aku sangat cemas sampai melewatkan makan malam. Apa kau sudah makan, Nadine?”
Nadine masih berdiri di muka pintu rumah itu, ketika Hendy terus bertanya tanpa henti. Perempuan itu melangkah, meletakkan tasnya di atas sofa lalu duduk di sana, menatap suaminya lekat.
“Kenapa menungguku? Kenapa tidak makan sendiri saja?”
“Tentu saja aku menunggu, kau istriku. Aku cemas setengah mati, kau tidak menerima panggilan telephoneku. Aku berpikir apakah terjadi sesuatu padamu? Apa kau baik – baik saja? Aku tidak tahu harus menghubungi siapa, kau begitu tertutup soal teman – temanmu.”
“Aku sibuk di sana, kau tahu itu.”
“Tapi, tidak bisakah kau mengirim pesan padaku? Hanya beberapa detik, Nadine. Setidaknya tuliskan satu kata sehingga aku tidak secemas ini.”
Nadine tersenyum tipis, “Kau mencemaskan aku?”
“Ya, tentu saja.”
“Tidak. Kau mencemaskan dirimu sendiri.”
“Nadine, apa maksudmu. Aku bahkan telah memintamu untuk berhenti, kan? Itu semua karena aku cemas, kau kerap pulang larut, itu tidak baik untuk kesehatanmu. Aku tidak pernah memaksamu untuk bekerja, kan?”
“Kenapa? Kau menginginkan bayi? Karena itu, kan?”
Nadine berdiri, meraih tasnya lalu berjalan melewati suaminya itu.
“Nadine, salahkah dengan itu!” teriak Hendy di belakang istrinya.
....
“Nadine, kita harus bicara.” Hendy meraih lengan istrinya, membawa perempuan itu duduk di sisi tempat tidur.
“Apa? Bukankah sudah jelas, aku tidak bisa menuruti keinginanmu itu.”
“Kenapa? Apakah keinginanku terlalu sulit bagimu, Nadine?”
“Ya, itu terlalu sulit. Aku masih muda, Hen. Aku masih ingin berkembang di luar sana, dan posisiku saat ini sudah cukup bagus. Mungkin, sebentar lagi aku bisa naik ke posisi manajer. Tidak bisakah kau mendukung aku sedikit saja?” Nadine mengatakan itu dengan mata menyipit, entah kenapa ia selalu kesal setiap kali berbicara dengan Hendy, suaminya.
“Kau egois, Nadine.”
“Kau yang egois! Kenapa kau tidak bisa mengerti sedikit saja?”
“Lalu bagaimana denganku? Aku membutuhkan keturunan, untuk siapa aku kerja keras jika tidak memiliki anak? Kau? Untuk siapa uangmu itu jika kau tidak memiliki pewaris?”
“Tentu saja untukku, aku masih ingin menikmati hidup dan kebebasan, Hen. Karirku sedang bagus, haruskah aku mengorbankan semua yang kuperjuangkan selama ini demi seorang bayi?”
“Nadine, aku tidak tahu pola pikirmu itu. Kau bisa bekerja sekalipun mengandung, kan? Kita bisa mencari pengasuh untuk anak itu nanti.”
“Oh, ya? Haruskah aku pergi bekerja dan bertemu banyak klien dengan perut membuncit? Kau tahu, kan? Aku selalu berusaha menjaga penampilanku di depan orang lain? Aku Nadine, Hen. Kau harus tahu itu.”
Hendy meremas sprei di sisinya, lelaki itu terus menahan diri. Ya, selama ini dia terus mengalah, tapi sampai kapan ia akan bertahan? Ia tak pernah menyangka, jika Nadine yang begitu manis dan lembut dulu, berubah menjadi pribadi yang berbeda. Salahkah ia jika menginginkan hadirnya seorang anak di dalam rumah mereka? Hendy tak percaya dengan semua perkataan Nadine.
Nadine beringsut, menjatuhkan dirinya di tempat tidur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia bahkan tak ingat lagi, kapan terakhir kali bercinta dengan Hendy. Baginya, rasa itu sudah tidak ada lagi.