2. Pertama kali bertemu

1203 Words
Pulang sekolah kali ini Dio sendirian. Tidak seperti biasanya yang ditemani kedua temannya—Ipin atau Dharma. Mereka berdua ada urusan masing-masing, Ipin ada latihan padus dan Dharma harus mengantar cewek barunya. Sehingga mau tak mau Dio pulang sendiri. Dan Dio benci itu. Dio benci sendirian, fyi. Setelah mengambil motornya, Dio pun melaju dengan kecepatan rata-rata, membelah jalanan kota yang ramai menuju rumah. Awalnya Dio merasa biasa saja, karena cowok itu meyakini jika tidak akan ada apa-apa. Namun ketika melihat ke kaca spion, ada dua motor yang sedari tadi berada di belakangnya. Entah kenapa firasat Dio mengatakan jika keduanya tengah mengikutinya. Dio menambah kecepatan motornya. Firasat Dio benar, kedua motor di belakangnya itu kini juga semakin cepat. Dio pun memutar otaknya. Jika dia sekarang lewat jalan biasanya, maka itu lebih bahaya. Karena jalan itu cukup sepi. Akhirnya Dio memutuskan untuk melewati jalan tikus. Jalanan perumahan yang pastinya akan ada banyak orang. Namun sialnya, ketika berada di belokan, kedua motor itu memotong jalan Dio. Membuat Dio mau tak mau berhenti. Dio cemas, mereka pasti ingin mencelakai dirinya. "Kalian mau apa?" Tanya Dio to the point. Entah bagaimana menceritakannya, satu menit setelah Dio mengucapkan itu, empat orang itu bergantian meninju tubuh Dio. Menghantam Dio yang sama sekali tidak siap melawan. Dio jago berantem, tapi tidak jika menghadapi empat orang dan dia sendiri seperti ini. Oleh sebab itu, Dio tidak melawan. Dia merelakan pukulan-pukulan itu melayang pada tubuhnya. Dio kira, orang-orang itu akan berhenti setelah puas meninju wajahnya yang kini sudah di penuhi darah. Tapi Dio salah, setelah puas menghabisi wajahnya, para pereman itu kini memukuli bagian tubuhnya. Membuat Dio hampir kehilangan kesadaran. Dio tak tau bagaimana rasanya mau meninggal, karena dia tak pernah meninggal. Mungkin seperti saat ini, karena untuk membuka mata pun Dio rasanya tak sanggup. Seketika ia teringat akan hidupnya selama ini. Teringat Ayahnya yang selalu pergi keluar kota dan meninggalkannya sendiri. Teringat hidupnya yang menyedihkan sekali. Dan Dio tak mau hidupnya sampai sini. Dia masih belum pernah merasakan bahagia. Banyak hal yang belum Dio lakukan. Dalam hati Dio pun memohon kepada semesta untuk diselamatkan. Ia berharap ada seseorang yang datang dan membawanya dari sini. Ia bahkan membuat janji pada diri sendiri. Jika penyelamatnya itu laki-laki maka Dio akan menganggapnya sebagai saudara, sahabat yang akan Dio turuti kemauannya. Dan jika perempuan, Dio akan menjadikannya sebagai pacar. Agar Dio bisa menjaga dan membuatnya bahagia. Itu memang terdengar gila, tapi Dio berjanji akan menepati janjinya. Asalkan dia bisa selamat sekarang, dia akan melakukan apapun. Baru saja janji itu dibuat, terdengar suara sirine mobil polisi menghentikan gerakan ke empat orang itu. Menghentikan pukulan yang bertubi-tubi. Membuat Dio bernafas sejenak sebelum ia kehilangan kesadaran. Suara sirine itu terdengar semakin mendekat. Membuat keempat pereman itu berlari ketakutan. Mereka pun pergi membawa motornya meninggalkan Dio begitu saja. Tanpa mengecek kebenaran keberadaan mobil polisi tersebut. Nyatanya itu hanya sirine yang berasal dari hp seorang cewek yang kini berada di samping Dio. Cewek itu adalah Zara. "Lo nggak papa?" Zara bertanya ketakutan seraya membangunkan Dio yang kini terkapar di tempatnya. Mata Dio masih menangkap sosok di hadapannya. Samar-samar, Dio melihat perempuan dengan penutup kepala bewarna hitam. "Guu-wue nggak... pa-pa." Kata Dio dengan terbata. Zara menatap Dio miris, keadaan cowok di hadapannya itu sangat parah. Mustahil jika baik-baik saja. Kesalahan Zara sendiri sih, menanyakan hal yang sudah ia ketahui jawabannya. Zara menelpon rumah sakit terdekat, untuk mendapatkan pertolongan. Sembari menunggu kedatangan ambulan yang dikirimkan rumah sakit, Rara meminta beberapa orang di sana untuk menganggkat tubuh Dio yang kini di hadapannya ke tempat yang lebih teduh—tidak di tengah jalan seperti sekarang. Awalnya Zara kira, Dio sudah pingsan. Karena setelah mengucapkan beberapa kalimat terbata tadi, tak ada lagi kalimat yang terucap dari mulut cowok itu. Matanya sejak tadi tertutup dan tubuhnya lemas. Namun syukurlah Dio masih sadar, ia bahkan masih bisa menggenggam tangan Zara. Menggenggam sangat erat, membuat Zara yang tak pernah disentuh oleh lelaki lain selain Abinya merasakan adrenalin yang berbeda. "Jang..an tinggalin gu..e." Kata Dio. Matanya yang tadi kesulitan membuka kini membulat sempurna. Zara menangkap sorot ketakutan di dalamnya. Zara mengangguk, "iya.. kamu harus bertahan." Dio pun kini bisa melihat cewek yang menjadi penyelamatnya. Melihat dengan jelas wajah Zara. Bagi Dio, Zara tentu saja tidak cantik seperti para mantannya. Bahkan tipikal seperti Zara ini—para cewek yang menggunakan kerudung, tak pernah berhasil mencuri hatinya. Tapi bagaimanapun Dio harus tetap menjalankan janjinya sendiri kan? Bagaimana pun penampilan cewek itu, Dio harus menepati janjinya. Karena senakal-nakalnya Dio, dia paling benji dengan ingkar janji. Apalagi jika itu janji pada dirinya sendiri. -- Zara masih di rumah sakit, menunggu Dio sadar diri. Cowok itu sekarang tengah tertidur, setelah tadi beberapa dokter memeriksa keadaannya. Zara bernafas legah ketika dokter bilang jika tidak ada luka serius. Hanya saja Dio harus melakukan rawat inap karena kehabisan cukup banyak darah. Sebenarnya bisa saja siiih Zara pulang, tapi dia nggak tega. Ia teringat sorot ketakutan yang terpancar dari cowok itu. Yang seolah membutuhkan Rara untuk di sampingnya. Capek duduk di dalam kamar, Zara memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Ia membeli beberapa ice cream yang dijual di kantin rumah sakit. Di saat seperti ini, Zara memang membutuhkan emosi positif yang dapat membuat moodnya membaik. Dan itu, bisa Zara dapatkan dari manisnya ice cream. Ketika Zara kembali ke kamar, Dio sudah bangun. Cowok itu bahkan sudah bisa duduk sendiri. Wajahnya masih pucat, namun terlihat lebih baik dari terkahir kali yanh Zara lihat. Dio menatap Zara dan membuat pandangan mereka berada di titik yang sama. Kamar berisi tiga kasur itu sepi, karena hanya ada mereka. Membuat suasana di antara mereka semakin canggung. "Lu yang nolongin gue?" Dio memecahkan kesunyian di antara mereka. Zara menutup pintu kamar kemudian masuk, berjalan mendekat Dio dengan kepala yang mengangguk. "Lu uda baikan?" Zara tak berani dekat-dekat sih. Dia hanya berdiri di ujung kasur. Namun itu sudah membuat Zara sadar dengan ketampanan cowok yang ada di hadapannya. Zara bahkan kehilangan kesadarannya barang sedetik ketika mata mereka bertemu lagi. "Masih sakit sih, tapi nyawa gue kayaknya uda utuh." "Ha?" "Soalnya tadi rasanya kayak mau mati." Kata Dio yang membuat Zara tertawa kecil. "oh itu yang bikin lu ketakutan?" "Iyalah, emang ada orang yg nggak takut mati?" "Okeh okeh kalau uda marah gini baru deh gue percaya kalau lu baik-baik aja." Zara meraih tasnya yang ia letakkan di kursi. "Mau kemana?" "Mau pulang," "Kenapa?" "Ha? Ya malah jadi aneh kalau gue di sini terus." "Terus gue di sini sama siapa?" "Hp lo kayaknya bisa dinyalain deh, coba lu telpon orang tua atau siapa gitu suruh nemenin di sini." "Tapi gue nggak punya siapapun." "Bohong, LS lu aja cewek cantik gitu." Zara memang sempat mengecek ponsel Dio. Tapi Zara tak bisa membukanya karena dikunci. "Ha? Lu buka hp gue?" Dio segera mengecek ponselnya dan memang benar, lockscreennya sekarang tengah menampakkan wajah Eriska. Padahal seingat Dio dia tak menggantinya. "Yaiyah mau ngabarin keluarga lu tapi gue nggak bisa buka." "Hm.." Dio hanya bergumam. ia pun mulai sibuk dengan ponselnya. Melupakan fakta jika kini ada Zara di ruangan itu. "Yauda gue pulang ya," Kata Zara dengan meninggalkan tempatnya. Sebelum ia keluar ruangan, Dio membuka suara. mengatakan sesuatu yang seharusnya sejak tadi ia katakan. "Terima kasih." Kata Dio pada Zara. Zara mengangguk, "Sama-sama." dan keluar dari ruangan itu begitu saja. Tbc. xx, muffnr
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD