bc

To Lost You, I Won't

book_age18+
11.4K
FOLLOW
162.3K
READ
like
intro-logo
Blurb

Pernahkah kalian membaca kisah cinta Adskhan-Caliana, jika belum, mampir dulu ke Caliana, Bukan Istri Cadangan. Dan ini adalah kisah cinta putra bungsu mereka..

chap-preview
Free preview
Part 1
Deringan telepon di depannya membuat gadis cantik yang identik dengan rambut rapi dicepol itu mengangkatnya pada deringan pertama. “Halwa, tolong buatkan reservasi private room di restoran Jepang yang waktu itu kamu sarankan.” Ucap suara bariton di seberang sana. “Iya, Sir. Pukul berapa?” tanyanya balik pada sang atasan. “Buat reservasi siang ini saja. Dia bukan tipe orang yang makan malam.” Jawab si pria lagi. Dia, yang dimaksud bos nya adalah teman kencannya. Tentu saja. “Baik, Sir.” Jawab si gadis dengan datar, dan tanpa aba-aba lagi, pria itu menutup teleponnya. Halwa seketika menarik napas panjang. Ia menyimpan dokumen yang sedang dikerjakannya di layar persegi di hadapannya dan kemudian mulai mencari kontak restoran Jepang yang memang sebelumnya dia sarankan pada atasannya lewat kolom pencarian internet. Setelah mendapat kontaknya, ia kemudian mulai menghubungi restoran tersebut untuk melakukan reservasi. Dia bukanlah marketing restoran. Dia juga bukan agen sebuah kencan online. Tapi dia, Halwatuzahra Fakhirah, adalah seorang sekretaris sekaligus asisten pribadi dari seorang CEO PH (Production House) berdarah Indonesia-Turki bernama Mirza Abrisam Levent. Putra bungsu dari pasangan Adskhan Levent dan Caliana Levent. Pria yang sudah jelas memiliki cap playboy di dahinya. Ya, sudah lebih dari dua tahu Halwa menjadi asisten pribadi pria berusia 28 tahu itu. Asisten pribadi dalam artian yang sesungguhnya. Yaitu mengurusi semua keperluan pribadi pria itu meskipun itu diluar jam kerjanya. Termasuk mengurusi kencan si bos dan menutupi semua rahasia-rahasianya. Rahasia kencan, tentunya. Bukannya Halwa senang melakukannya. Dia sebenarnya tidak menyukai pekerjaan menjadi asisten pribadi, mengingat dalam pelaksanaannya dia terpaksa harus membohongi banyak orang. Bukan hanya pada para teman kencan bos nya, tapi juga pada keluarga pria tersebut. Yang sayangnya, keluarga pria itu amat sangatlah baik, sehingga Halwa selalu merasa bersalah setiap kali harus membohongi mereka. Tapi apa daya. Dia membutuhkan pekerjaan dan gajinya sebagai sekretaris dan juga membutuhkan uang sampingan yang dia peroleh sebagai asisten pribadi pria itu demi pengobatan ayahnya. Meskipun ia tahu apa yang dilakukannya itu sebuah dosa, tapi ia berusaha sebaik mungkin agar keluarganya tak mengetahui itu. Dia menganggap bahwa hal itu sebagai resiko pekerjaan. Toh dia tidak merugikan orang lain, kecuali memang membuat sakit hati para wanita yang dikencani bos nya itu. Tapi dia bisa apa? Salah para wanita itu juga kenapa masih mau berhubungan dengan Mirza padahal mereka tahu bahwa Mirza itu seorang playboy. Tentu saja karena uang. Otaknya seketika menggaungkan kata itu. Ya, tentu karena uang. Sejauh yang Halwa tahu, Mirza memang selalu memanjakan para wanita teman kencannya itu. Dia membelikan apapun yang mereka inginkan selama dalam batas wajar. Dan saat putus, pria itu juga memberikan kompensasi yang tak kalah bagus. Maklum, orang kaya mah bebas. Dan tentang apa yang mereka lakukan selama mereka berhubungan, Halwa tidak tahu. Dan tak pernah ingin tahu. Dia tak pernah memasuki ranah yang lebih jauh selain memberikan mereka hadiah saat berkencan ataupun putus. Dan memesankan sesuatu—entah itu reservasi restoran, hotel atau apapun—secara rahasia. Halwa kembali menghubungi nomor ruangan bosnya untuk memberitahukan tentang reservasi dan ruangannya. Tentu, reservasi tak pernah dilakukan atas nama Mirza, karena pria playboy itu khawatir akan ketahuan. Setiap reservasi selalu dilakukan dengan kode yang berbeda. Entah itu menggunakan nama si gadis yang diajaknya kencan. Atau menggunakan nama Halwa sendiri sebagai pemesan. Yang pasti, saat Halwa diminta untuk membuat reservasi hotel, dia tidak pernah menggunakan namanya sendiri karena dirinya tak mau dianggap sebagai w************n. “Halwa, tolong kamu pergi ke apartemen. Cek isi lemari es, kalau sudah kosong. Seperti biasa, kamu belanja.” Seolah pria itu tidak menyewa asisten rumah tangga untuk mengurusi kediamannya. “Halwa, tolong carikan saya pakaian untuk datang ke acara Tuan A.” seolah pria itu tidak memiliki butik langganannya yang bisa dia pesan lewat telepon. “Halwa, tolong pesankan tiket penerbangan ke kota B dan batalkan pertemuan saya dengan C.” Seolah dia tidak memiliki bagian humas yang bisa mengerjakannya. Ups, urusan tiket memang sudah menjadi tugasnya sebagai sekretaris juga. “Halwa, tolong belikan saya makanan di restoran D.” seolah dia tukang ojek yang sedia membeli dan mengantarkan pesanan pria itu. Dan instruksi seperti itulah yang seringkali Halwa dengar. Dia sudah biasa, meskipun dia harus mendengarnya setelah jam kerjanya usai. Dan jujur—keberatan atau tidak—dia harus melakukannya, mengingat setiap pesan yang diperintahkan padanya itu berbayar dengan angka yang sesuai. Bahkan angkanya puluhan kali lebih besar daripada jasa antar ojek online. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore kala ia sampai di kontrakannya yang lokasinya sebenarnya tak terlalu jauh dari kediaman Mirza. Dia sengaja pindah ke daerah yang berdekatan dengan Mirza dengan alasan supaya dia bisa dengan mudah melaksanakan tugas dari pria itu. Satu tahun setelah Halwa bekerja sebagai staff administrasi di PH Mirza, ia kemudian diangkat menjadi sekretaris pria itu. Dan enam bulan setelahnya, entah ada angin apa, Mirza memintanya untuk bekerja diluar jam kerja sebagai asisten pribadinya dengan iming-iming imbalan yang cukup—ralat—sangat besar. Didesak oleh kebutuhannya dan biaya pengobatan ayahnya, Halwa yang kala itu kebingungan akhirnya bersedia menjadi asisten pribadi pria itu. Meskipun awalnya ia merasa bingung dan selalu merasa bersalah, kini setelah hampir tiga tahun bekerja bersama pria itu, ia merasa sudah biasa. Ya, lidahnya sudah biasa berbohong. Meskipun ia masih saja selalu merasa gugup jika kebohongannya harus dia lakukan di depan keluarga pria itu. “Pulang awal?” Puri, sahabat baiknya yang turut pindah setelah Halwa memutuskan pindah memandangnya dengan senyum jahil di wajahnya. Halwa hanya mengangguk seraya menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Puri yang kala itu sedang makan mie instan menawarinya, namun Halwa menolaknya. “Tumben, Bos gak ngasih ojekan?” ledeknya. Ya, tidak ada rahasia antara Halwa dan Puri. Sahabatnya itu satu-satunya orang yang bisa Halwa percayai tentang pekerjaan Halwa diluar kantor, mengingat Puri akan menjadi tamengnya jika suatu saat terjadi sesuatu. Maksudnya, kala orangtuanya sulit menghubungi Halwa, mereka pasti akan menghubungi Puri sebagai gantinya. Dan tidak mungkin Puri mengatakan ‘tidak tahu’ sepanjang waktu yang hanya akan membuat keluarganya khawatir. Dan sebagai bahan ejekan, mereka berdua menyebut tugas dari Mirza sebagai ‘Ojekan’, orderan ojek online. Halwa menggelengkan kepala seraya menyandarkan kepalanya dan mendongak memandang langit-langit. “Gak ada.” Jawabnya. “Ojekannya udah tadi siang. Lunch private room di resto Jepang.” Jawabnya jujur. Puri terkekeh mendengarnya. “Ada gak sih cara supaya gue bisa jadi salah satu cewek bos loe?” tanyanya dengan nada geli. Pertanyaan yang sudah berulang kali sahabatnya itu kemukakan. “Loe itu. Mau di grepe-grepe sama si Bos?” Halwa balik memandangnya dengan sebelah alis terangkat. Puri mengedikkan bahu. “Gak papa, toh gak pernah lama ini, kan? Paling juga beberapa minggu. Anggap aja jual diri, yang penting habis itu gue jadi kaya raya.” Lanjutnya yang dijawab gelengan kepala oleh Halwa. “Gue beneran penasaran, Wa. Tuh mereka, kalo lagi nge date ngapain aja.” Ucapnya seraya meletakkan mangkuknya di atas meja dan mengalihkan badannya menghadap Halwa. “Menurut loe, bos loe sama yang ini, di private room ngapain?” tanyanya penasaran. “Ya selain pegang-pegang sama cium-cium, mungkin gak sih mereka ‘ena-ena’ kilat disana?” lanjutnya lagi. Halwa yang mendengarnya membelalakkan matanya seketika. “Puri! Jangan kontaminasi pikiran gue sama pikiran kotor loe!” ucapnya dengan tawa yang coba ditahannya. “Ayolah, Wa. Emang loe gak penasaran gitu? Seperkasa apa Bos loe? Sekuat apa dia? Seberapa ronde dia bisa ngelakuin ena-ena?” cerocosnya yang kembali membuat Halwa tertawa. “Demi apa, Ri? Loe nanya gue kayak gitu? Mata gue udah gak perawan karena loe udah nunjukin koleksi ena-ena lo, masa iya sekarang mulut sama telinga gue mesti ngegosipin hal itu juga?” Puri turut menyandarkan punggungnya dan menyenggol tubuh sahabatnya dengan sikunya. “Ayolah, Wa. Gue tahu loe juga sebenernya penasaran. Masa loe cuma tahu booking tempat doang. Kali-kali loe pasang kamera pengawas disana supaya loe juga tahu kehebatan Bos loe itu. Apa dia kalo ena-ena emang kayak singa yang lagi kawin, apa gimana.” “Puri! Diem! Dengerin loe malah bikin gue mikirin yang aneh-aneh. Gue mau mandi, gerah lama-lama.” Ucap Halwa seraya bangkit dari duduknya. “Loe kalo mandi ya mandi aja, jangan mandi sambil ngayal ena-ena sama bos loe!” teriak Puri yang dijawab gidikan oleh Halwa. Halwa masuk ke dalam kamarnya. Meletakkan tas nya dan mengambil pakaian gantinya. Ia memandang cermin dan melihat pantulan dirinya setelah pintu lemari tertutup. Penasaran? Tentu saja ia penasaran. Dia juga ingin tahu apa yang Mirza dan para wanita itu lakukan di balik pintu yang selama ini ia sewakan. Apa yang mereka lakukan? Sampai batas apa? Tapi semua itu hanya ada dalam pikirannya. Dia tidak boleh merasakan penasaran yang lebih. Sampai saat ini, dia masih berusaha menutupi perasaannya pada bos nya. Ya, faktanya selama ini ia memang menyukai Mirza. Mencintai pria itu. Namun ia tahu, Mirza bukan untuknya. Dan ia juga tak menginginkan pria itu menjadi miliknya. Karena dia dan Mirza terhalang dinding tebal yang tak kasat mata.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mas DokterKu

read
238.7K
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
199.9K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

Bukan Ibu Pengganti

read
526.0K
bc

PLAYDATE

read
118.8K
bc

You're Still the One

read
117.4K
bc

Switch Love

read
112.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook