Part 2

1601 Words
Halwa terbangun dengan kepala pusing dan perut kembung. Apa karena semalam dia mandi dengan air dingin, itu sebabnya sekarang dia masuk angin? Halwa hanya bisa menarik napas panjang. Dia memang sedikit sensitif jika harus mandi di malam hari dengan air dingin. Tapi semalam, gas yang ada di kost mereka hampir habis. Dan daripada pagi-pagi bingung mencari gas dan tak bisa masak sarapan, Halwa memilih untuk mandi air dingin saja. Dan sekarang, inilah imbalannya. Puri sudah terlihat segar dengan pakaian kantornya. Sahabatnya itu juga bahkan sudah membuatkan nasi goreng dan telur mata sapi untuknya. Halwa tersenyum dan duduk di meja, siap menyantap sarapannya. "Siap tempur?" Tanya Puri yang dijawab anggukkan Halwa. Entah janji dan kebohongan apalagi yang harus Halwa rangkai hari ini, tapi yang pasti, dia harus mempersiapkan diri. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi esok atau lusa pada nasibnya dan para wanita yang dikencani bos playboynya itu. Halwa naik angkutan umum untuk sampai di kantornya. Sebenarnya Mirza menyiapkan mobil untuknya sebagai akomodasi, namun menurut Halwa tak berguna. Jangankan mengendarai mobil, mengendarai motor saja ia tidak bisa. Bukan karena ia tidak ingin belajar menggunakannya, hanya saja... Sudahlah, biarkan itu menjadi rahasia Halwa saja. Ia sudah sampai di kantor, sepuluh menit sebelum jam kerjanya dimulai. Kepagian? Tentu tidak. Ada bayaran khusus untuk setiap waktu yang dia habiskan. Dan bekerja lebih awal bukan karena Halwa karyawan yang rajin, tapi karena ia memastikan kebutuhan bos nya harus ada sebelum pria itu datang. Halwa masuk ke ruangannya. Bukan ruangan khusus miliknya, melainkan sebuah ruang besar yang memuat ruangan Mirza di dalamnya, jadi seolah Halwa itu sebagai satpam yang menunggui pintu masuk sebelum ruangan atasannya tersebut. Mengerti, kan? Jadi sebelum para tamu bosnya—yang didominasi para wanita—memasuki ruangan atasannya, mereka harus menghadapi Halwa dulu sebelumnya. Halwa meletakkan tas nya di atas meja, menyalakan komputer dan kemudian berjalan masuk ke ruangan bosnya. Ia memastikan semua dokumen yang harus ditandatangani pria itu pagi ini tertata rapi di meja sesuai dengan urutan urgensinya. Jika kalian membasah mengenai ruang rahasia CEO seperti di drama-drama, ya, atasannya juga memiliki itu. Di salah satu dinding yang orang sekilas lihat hanya berupa dekorasi, disana terdapat satu ruangan khusus milik atasannya. Didalamnya adalah kamar khusus pria itu. terdapat tempat tidur, lemari pakaian dan juga kamar mandi yang jauh lebih mewah dibandingkan kamar mandi kost-an Halwa. Tentu saja, orang kaya dan fasilitasnya bukan hal yang bisa Halwa bandingkan. Halwa memastikan pakaian ganti pria itu tergantung rapi dan wangi di tempatnya. Sepatunya sudah mengkilap dan kaus kakinya baru dan sesuai dengan standar pria itu. Tidak lupa ia juga memadupadankan setelan jas dengan dasi dan bahkan sampai ke pin dasi dan pin leher kemeja nya. Ia lebih tampak seperti fashion stylish saat ini dibandingkan sebagai sekretaris. Tapi memang inilah pekerjaannya. Sekretaris sekaligus asisten—yang benar benar mengurusi hal—pribadi pria itu. Julukannya saja lebih bergengsi, padahal pekerjaannya tak lebih baik daripada seorang asisten rumah tangga. Ya. Ingat, posisi Halwa bukan hanya sekretaris pria itu, melainkan asisten pribadi. Dia adalah pelayan dari seorang raja. Dan Mirza adalah rajanya. Itulah prinsip kerja yang harus dipegangnya. Halwa kembali melihat pilihannya, menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar. Setelah yakin semuanya sempurna, ia keluar dari ruangan khusus itu, berjalan menuju meja Mirza dan memesankan kopi untuk atasannya itu yang selalu harus tersaji tepat saat pria itu datang. Dan setelahnya, ia kembali ke mejanya sendiri, bersiap dengan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris. Tiada hari tanpa kesibukan, dan sedikit hari yang tanpa lemburan. Itulah yang dialami Halwa selama bekerja bersama Mirza. Sama seperti hari ini. Waktu sudah menunjukkan lewat dari jam kerjanya, namun Halwa masih bertahan di mejanya, sibuk dengan laporan yang dibutuhkan ‘Raja’ nya. Ya, dibalik kegemaran Mirza yang suka bersenang-senang dan hobinya yang berganti wanita dalam watu singkat, pria itu memiliki dedikasi yang tinggi pada pekerjaannya. Dia tidak suka mengabaikan pekerjaannya dan menunda-nunda. Dia juga orang yang sangat tegas dalam membuat keputusan dan berhati-hati sebelum menentukan pilihan. Ponsel yang ada di laci Halwa terasa bergetar. Ponsel non android itu memang sengaja diberikan khusus oleh Mirza untuk menangani pacar-pacarnya yang sebagian besar merengek meskipun sudah diputuskan. Halwa melihat nama yang tertera di layar. Seketika ia memutar bola mata, menarik napas panjang sebelum kemudian menekan tombol angkat dengan sedikit keras. “Kenapa Mirza sulit dihubungi?!” pertanyaan bernada marah itu langsung mencecarnya sebelum Halwa sempat mengucapkan salam apapun. “Tuan Mirza sedang sibuk, beliau sedang ada rapat penting, Mba.” Jawab Halwa dengan nada yang dia buat sesopan mungkin. Terdengar dengusan dari seberang sana. “Alah, alasan. Bilang aja kalau dia lagi jalan sama cewek lain, iya kan?” tuntut wanita itu dengan geram. Halwa kembali menarik napas panjang. Ia sudah teramat lelah dengan pekerjaannya, matanya sendiri sudah tidak bisa lagi melihat layar dengan jelas. Dan sekarang, tuduhan yang diberikan wanita itu membuatnya kesal. “Beliau tidak akan janji dengan wanita manapun. Beliau benar-benar sedang sibuk saat ini.” ucap Halwa masih dengan kesopanan dan kesabarannya yang tersisa. “Aku gak mau tahu, suruh dia angkat telepon aku kalau enggak aku bakal datang ke tempatnya sekarang juga.” Satu… Dua… Halwa menghitung dalam hati sebelum kembali berbicara. “Saya sampaikan sama beliau, Mba.” Ucapnya dengan sopan. “Gitu dong, kacung aja songong.” Lantas tanpa basa-basi, telepon itu diputus. Halwa melirik ponsel yang layarnya menggelap dalam hitungan detik. Demi Tuhan, dia bekerja untuk mencari nafkah, bukan untuk mendapatkan penghinaan seperti ini. Dan lagi, ini bukan kali pertama dirinya mendapatkan ejekan semacam ini. Dosa apa yang sudah dia lakukan dimasa lalu sampai membuatnya harus bekerja dengan menahan emosi seperti ini? Rasanya semenjak kecil sampai ia tumbuh dewasa, sejak ia TK sampai ia lulus sarjana, ia tidak pernah dengan sengaja menyakiti orang lain, entah dengan ucapan atau tindakannya. Ia orang yang suka mencari aman dan memilih untuk menjauh jika ada suatu hal yang dirasanya akan menghasilkan keributan. Tapi kenapa sekarang keributan itu seolah menjadi makanannya sehari-hari? Halwa memijit kepalanya dengan kedua tangannya. Jemarinya yang lentik menekan-nekan dahinya untuk menghilangkan kepenatan dan rasa pusing yang sudah sejak pagi dirasakannya. Keinginan untuk berhenti bekerja dengan Mirza kembali muncul begitu saja. Ya. Sebenarnya Halwa sudah tidak tahan lagi untuk bekerja dengan pria itu. Sejujurnya ia ingin merasakan jam kerja yang normal, istirahat yang cukup dan menikmati hari libur yang semestinya. Dia juga ingin menghindari membohongi orang-orang dan menyakiti mereka secara sadar, meskipun rasa sakit yang mereka alami bukan sepenuhnya salahnya, tapi tetap, dia adalah perantara dari rasa sakit itu. Tapi ia tidak memungkiri, dia masih membutuhkan pria itu dan uangnya sampai beberapa waktu ke depan. Minimal sampai tabungannya cukup untuk ia gunakan membiayai sekolah adiknya di kedokteran. Halwa meraih ponselnya sendiri, membuka aplikasi m-banking yang install di dalamnya, mengecek saldo yang dimilikinya. Masih ada puluhan juta yang ia butuhkan sampai ia siap untuk lepas dari Mirza dan hidup dengan gaya normal yang diinginkannya. Halwa meletakkan ponselnya dan kemudian bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju ruangan Mirza, mengetuk pintunya dari luar. Tanpa menunggu jawaban atasannya, ia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Mirza tampak tengah terfokus pada layar persegi di depannya. Sosok tampan itu tengah menyangga dagu dengan lengan kirinya sementara tangan kanannya tak melepaskan mouse dengan telunjuk yang bergerak tak kentara. Jas yang tadi dikenakannya kini tergantung di gantungan jas dibelakang meja pria itu. Dan dasi yang tadi terikat rapi di lehernya kini sudah menjuntai tak jelas disertai dengan dua kancing kemeja teratas yang terlepas. Berantakan, namun tampan, itulah sosok Mirza di hadapan Halwa. Urakan, namun menawan adalah sebutan lain yang cocok untuknya. Dibalik sikap playboy dan tengilnya, Mirza adalah sosok pria yang cerdas dan sangat bisa diandalkan. Dia juga sosok pemimpin yang penuh pengertian dan memperhatikan kesejahteraan karyawan. Sulit sebenarnya untuk tidak jatuh dalam pesona seorang Mirza. Dan itulah alasan terbesar kenapa Halwa ingin menjauh darinya. Karena ia tahu, kisah Cinderella itu bukanlah untuknya. “Ada sesuatu?” tanya Mirza tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar di depannya. Pertanyaan yang membuat Halwa tersentak karena terlalu larut dalam lamunannya. “Mba Zeline meminta Anda untuk mengangkat teleponnya, Sir.” Ucap Halwa seraya mengulurkan ponsel non android kehadapan Mirza. Mirza menghentikkan gerakan jarinya di mouse dan kemudian melirik ponsel yang ada di depannya. Sudut mulutnya terangkat, dan pria itu kemudian mendongak. Mata itu, memiliki tatapan yang bisa berubah dalam hitungan detik. Nakal di detik pertama, tegas di detik kedua dan menyeramkan di detik ketiga. Dan saat ini, pria itu menatap Halwa sorot mata jahil dengan sudut mulut terangkat. “Tanyakan padanya, apa yang dia mau. Dan berikan. Bukankah biasanya sesederhana itu, Nona Halwa?” ucap Mirza dengan nada mengejek. Halwa hanya menarik napas panjang. “Batas maksimal, Sir?” tanya Halwa kemudian. Mirza menyebutkan angka yang membuat Halwa ingin menangis mendengarnya. Ia kemudian menganggukkan kepala, meraih kembali ponsel itu dan berjalan meninggalkan ruangan Mirza dengan cepat. Saat ponsel itu kembali berbunyi, dia sudah mendapatkan jawaban yang bisa ia berikan pada penghisap uang berkedok wanita cantik itu. Halwa menjatuhkan tubuhnya di atas kursi, dengan segera meraih ponselnya dan kemudian menghubungi Puri. Halwa : Udh gk tahan. Gue bener-bener mau out dari sini. Puri : Ya udh, ajuin surat resign, abis itu say goodbye sama si pangeran. Mendapat jawaban cepat dari Puri membuat Halwa terkekeh sendiri. Baiklah, mungkin memang sudah waktunya dia untuk mundur dan menjalani kehidupan pribadinya sebagai orang normal. Ingat usia, bekerja bersama Mirza membuatnya tak memiliki kehidupan pribadi. Bagaimana bisa dia menikah sementara ia sendiri tak bisa memiliki waktu untuk berkencan. Halwa membuka file lain yang sudah ia siapkan sejak lama di komputernya. File berjudul ‘SUrat Pengunduran Diri’ itu sudah siap ia cetak dan akan ia kirim ke pihak HRD esok hari. Tentang tabungannya? Ia masih bisa mengumpulkannya sampai HRD menemukan sosok penggantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD