Part 3

1974 Words
Seperti biasa, Halwa datang lebih awal daripada karyawan lainnya karena tuntutan pekerjaan. Ia meletakkan tasnya di atas meja, melirik amplop putih yang ada di bagian paling atas tas nya dan menarik napas dalam sebelum melangkah menuju ruangan atasannya. Ia sudah memantrai dirinya sendiri bahwa hari ini dia akan benar-benar mengajukan surat pengunduran dirinya pada tim HRD. Apapun jawaban ketua HRD nya nanti, dia yakin dia akan bisa memberikan jawaban yang bagus sehingga surat pengunduran dirinya diterima. Sepuluh menit setelahnya Halwa sudah kembali duduk di mejanya. Ia melihat Mirza datang, selalu sama, tepat pada waktunya. Halwa mengangkat telepon, menghubungi bagian pantry dan meminta kopi untuk atasan mereka. Tak butuh waktu lama, seorang office boy datang dengan nampan berisi segelas kopi hitam yang masih mengepul dan mengetuk pintu setelah mendapat anggukkan dari Halwa. Setelah office boy keluar, lima menit setelahnya—waktu yang Halwa berikan untuk Mirza sejenak menikmati kopinya, barulah ia berdiri dari tempat duduknya. Dengan tablet canggih berharga fantastis di tangan kiri dan pen tablet di tangan kanannya, Halwa mengetuk pintu, menunggu jawaban dari Mirza yang ada di dalam ruangan barulah ia membuka pintu dan masuk ke dalamnya. “Pagi, Sir.” Sapa Halwa dengan nada datarnya. Mirza memandang ke arahnya dan menganggukkan kepala. Hal itu Halwa anggap sebagai isyarat kalau pria itu siap mendengarkan. Halwa mulai menyebutkan jadwal pekerjaan atasannya satu persatu. “Pertemauan dengan…” Semuanya ia sebutkan secara rinci sampai jam kerja kantor berakhir. Jadwal itu sebenarnya Mirza pun sudah punya, hanya saja terkadang ada yang perlu pria itu ubah sehingga nantinya Halwa lah yang harus mengaturnya. Selain Mirza, kepadatan jadwal Mirza juga sudah diberikan kepada supir yang bertugas mengantar jemput pria tersebut. Sepanjang Halwa menyebutkan semua janji pria itu, tidak ada interupsi sama sekali. Hingga setelahnya Halwa akhirnya memilih untuk mundur dari ruangan atasannya. . Pukul sembilan pagi, Halwa mendengar pintu lift berdenting dan suara sepatu yang berjalan mendekat ke tempatnya. Ia mendongakkan kepala dan melihat sosok Elvan Faeyza. Pria berusia awal tiga puluhan, berparas manis dengan kacamata persegi bertengger di wajahnya memberikan senyum ramah padanya. Elvan adalah orang kepercayaan Mirza yang lainnya. Di usianya yang masih muda—lebih tua dari Mirza—pria itu dipercaya untuk memegang kendali atas perusahaan Mirza yang lain yang bernama Abrisam Corp. “Sir Mirza sudah menunggu.” Ucap Halwa yang dijawab anggukkan pria itu. Pria itu mengangguk dan kemudian mengetuk pintu, menunggu jawaban Mirza sebelum masuk ke dalam dan tak sampai lima menit setelahnya, kedua pria itu keluar dari ruangan Mirza dan bersiap untuk pergi ke tempat lain sesuai dengan jadwal. Dan Halwa, menjadikan kesempatan itu untuk pergi ke lantai bawah, menuju kantor HRD berada. Halwa sebenarnya merasa sangat nyaman bekerja di Kralligimiz. Terlebih memiliki atasan seperti Mirza. Sebagai seorang atasan, Mirza adalah pria yang cerdas. Dia pemimpin yang sangat cermat dan teliti. Tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Dia sosok yang serius jika sudah menyangkut dengan pekerjaan dan bahkan seringkali lupa waktu. Namun untuk urusan kesalahan, pria itu bukan orang suka mengandalkan perasaan. Tak peduli siapapun itu, jika orang itu sudah melakukan kesalahan, pria itu tidak akan ragu untuk memberikan hukuman. Mulai dari hukuman ringan sampai berakhir dengan pemecatan. Sebagian orang mengatakan bahwa Mirza adalah sosok yang kejam. Namun hasil kekejamannya itulah yang membuat orang lain percaya bahwa dia mampu. Semua orang di belakang Mirza mengatakan bahwa pria itu hanyalah bungsu manja yang hanya tahu caranya bermain dan menghabiskan uang, tanpa mereka tahu bahwa Mirza itu sebenarnya sudah memiliki perusahaannya sendiri sebelum ia menduduki jabatannya saat ini di Kralligimiz. Sedikit sejarah tentang Mirza Abrisam Levent dan keluarganya. Mirza adalah putra bungsu dari pasangan Caliana dan Adskhan Levent. (Baca Caliana, Bukan Istri Cadangan). Dahulu kala, ayah Mirza meminta ibunya untuk membangun sebuah Production House yang kemudian diberi nama Kralligimiz untuk mantan istri pertamanya. Namun meskipun membuat PH dengan uangnya, ayah Mirza tidak pernah benar-benar mengoperasikannya. Seluruh urusan perusahaan diberikan pria itu pada sang ibu, Helena Levent, sementara Adskhan Levent memilih untuk melebarkan sayap Coskun Company. Setelah Helena Levent pensiun, urusan Kralligimiz diberikan kepada sepupu ayah Mirza bernama Erhan Levent. Namun posisi Erhan di Kralligimiz tidak lama, karena pria itu terbagi fokus antara Coskun, Kralligimiz, Levent Corp (perusahaan milik sepupu ayah Mirza yang lain yang bernama Lucas Levent) dan juga Turkish House. Restoran Turki milik keluarga Erhan sendiri. Alhasil, setelah Adskhan menikah dengan Caliana, Kralligimiz dipimpin oleh Caliana sampai kemudian posisinya diambil alih oleh Carina, keponakan Caliana dan berakhir di tangan Ilker. Putra sulung Caliana-Adskhan, kakak kandung Mirza sendiri. Bertahun-tahun mengoperasikan Kralligimiz, Ilker kemudian menikah. Dan setahun setelah pernikahannya, pria itu memilih untuk mundur dari posisinya dan menghilang dari peradaban. Hingga Kralligimiz kembali di bawah pimpinan Caliana. dan Coskun yang sebelumnya juga diberikan pada Ilker diserahkan pada kakak Mirza yang lain yang bernama Faiqa. Dan sekarang, karena Faiqa sudah ikut dengan suaminya ke Italia, Mirza jadi mengemban tiga perusahaan di atas bahunya. Coskun Company (Perusahaan Konstruksi), Kralligimiz (Production House) dan Abrisam Corp (Perusahaan Properti milik Mirza pribadi). Jadi opini publik tentang ketidakmampuan pria itu nyatanya sangatlah salah. Taruhan mereka bahwa Mirza hanya akan membuat perusahaan bangkrut tidak pernah terbukti. Mereka yang menjual saham karena takut perusahaan tidak akan berkembang setelah diambil oleh Mirza akhirnya merasa menyesal. Namun sayang, mereka tidak bisa lagi membeli saham perusahaan karena selain harga yang meroket tajam, kebanyakan saham sudah diambil alih kembali oleh keluarga Levent lainnya sehingga posisi Kralligimiz yang awalnya 51% Levent 49% umum berubah menjadi 75% Levent dan 25% umum. Selain tidak mengijinkan saham dibeli banyak oleh orang luar, Mirza juga membuat aturan-aturan baru lainnya yang lebih ketat. Sedikit menyusahkan untuk orang luar namun jelas menguntungkan untuk orang dalam perusahaan. Halwa menjadi saksi bagaimana pria itu bekerja keras untuk semua pencapaian ini. Namun setelah keadaan dianggap sudah teratasi, Kralligi kembali berjaya. Sosok Mirza yang sebenarnya—playboy dan petakilan—mulai muncul. Dunia playboynya—meskipun hanya sedikit—mulai masuk ke dalam dunia kerjanya. Saat itulah dimana Halwa mulai peran gandanya. Menjadi sekretaris sekaligus asisten pribadi—yang benar-benar pribadi—dengan tawaran gaji yang fantastis yang tak bisa Halwa tolak. Dan kini, Halwa sudah benar-benar menyerah. Ia lelah. Bukan karena Mirza yang menuntutnya bekerja keras sampai ia tidak punya kehidupan pribadi. Tidak, Halwa tidak keberatan dengan hal itu meskipun hal itu yang ia jadikan alasan pengunduran diri. Namun lebih karena ia merasa cemburu. Ya. Dalah hati terdalamnya ia harus mengakui itu. Ia memang lelah berhubungan dengan para kekasih Mirza. Membuatkan kencan, menyiapkan hadiah dan bahkan menghadapi mereka saat hubungan Mirza dan para wanitanya usai. Tapi lebih daripada itu, Halwa merasa cemburu. Ia sudah jatuh cinta pada sosok Mirza Levent sejak kali pertama ia melihatnya. Sosok Mirza yang pada dasarnya baik dan sangat menyayangi keluarganya, bertanggung jawab dan pekerja keras itu membuat Halwa jatuh cinta. Dia juga bukan orang yang kasar yang semena-mena kepada bawahannya. Dibalik sikap playboynya, Mirza adalah atasan yang memiliki ‘bahasa’ pada para karyawannya. Namun wanita lah yang membuat Halwa harus mengaku kalah. Memikirkan Mirza berganti pasangan—entah apapun yang ia lakukan dengan para wanita itu di luar sana—membuat Halwa memikirkan yang tidak-tidak dan akhirnya cemburu bercokol di dadanya. Sebagai seorang wanita yang sedang jatuh cinta, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tidak bisa menyatakan cintanya, apalagi mengungkapkan kecemburuannya. Apalah dirinya yang hanya seorang karyawan rendahan jika dibandingkan dengan Mirza sang pewaris kerajaan. Yang bisa dilakukannya hanyalah menutup mata dan telinganya. Menunjukkan wajah datar sekalipun ia ingin marah dan menyabar-nyabarkan diri meskipun faktanya tidak demikian. Halwa menarik napas panjang. Ini keputusan akhirnya. Sudah cukup ia menahan diri selama dua tahun terakhir. Faktanya, semakin lama, perasaannya pada pria itu bukannya semakin hilang—meskipun ia tahu semua keburukannya—namun malah semakin membesar. Halwa mengetuk pintu kepala HRD dan masuk setelah mendapat tanggapan dari dalam. Pria yang Halwa duga memiliki tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter, bertubuh agak gemuk namun berparas manis itu mendongakkan kepala. Tangannya yang besar membetulkan kacamata yang melorot di wajahnya sebelum benar-benar memandang Halwa dengan tatapan herannya. “Ada masalah?” tanya pria itu dengan kernyitan di dahinya. Halwa menunjukkan senyum sebisanya dan berjalan mendekat, duduk di kursi yang ada di seberang meja pria tersebut dan kemudian memberikan amplop putih yang sejak tadi dipegangnya. Pria itu menerima amplop tersebut, membacanya sekilas dan kembali mengernyit. “Kenapa?” tanya pria berusia pertengahan empat puluh tahun itu pada Halwa. “Saya hanya ingin mencari suasana baru.” Jawab Halwa. Berusaha bersikap santai meskipun faktanya jantungnya berdebar teramat kencang saat ini. “Ada masalah?” tanya pria itu tak yakin. “Kamu gak suka sama pekerjaan kamu, atau ada masalah pribadi?” tanya pria itu ingin tahu. Halwa hanya bisa memandangnya balik seraya menggelengkan kepala ragu. Beruntung PH ini tidak memberlakukan kontrak kerja pada karyawannya. Selain masa magang selama tiga bulan pertama, selebihnya karyawan langsung diangkat sebagai karyawan tetap. Namun meskipun tidak memberlakukan sistem kontrak, PH tetap membuat kontrak kerjasama dengan para karyawan dimana didalamnya menyebutkan bahwa karyawan baru bisa mundur dari pekerjaannya setelah ada pengganti atau jika keadaan genting, keputusan dikembalikan kepada HRD. Dan saat ini itulah yang terjadi. “Kita berdua tahu kalau pekerjaan kamu bukan hanya sekedar sekretaris Pak Mirza.” Ucap pria itu lagi dengan nada yang bisa Halwa tangkap sedikit kesal. Ya, tentu saja HRD nya tahu pekerjaan lain Halwa diluar Kralligimiz karena pria itu dan juga pengacara Mirza yang membuat kontrak kerja Halwa. Halwa menganggukkan kepala. “Dan saya juga sangat tahu kalau Bapak bisa mencari orang yang tepat untuk menggantikan posisi saya.” ucap Halwa dengan yakin, yang bukannya membuat pria di hadapanya besar kepala, melainkan memberengut kesal. Pria itu melepaskan kacamatanya, meletakkannya di atas surat pengunduran diri Halwa sebelum menyandarkan punggungnya pada kursinya dan menatap Halwa seraya menautkan jemarinya di depan perutnya yang sedikit buncit. “Kita sama-sama tahu kalau mencari karyawan yang bisa diandalkan dan pandai menutup mulut itu sangatlah susah, Halwa.” Keluhnya lagi dengan tatapan dalam. “Tapi bukannya tidak ada.” Debat Halwa lagi yang membuat pria itu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Apa kita tidak bisa bernegosiasi?” ucap pria itu dengan nada membujuk. “Mungkin kamu bisa mengajukan gaji yang lebih besar pada Pak Mirza jika memang pekerjaan yang saat ini kamu lakukan dirasa terlalu berat?” tanyanya di akhir kalimat. Halwa menggelengkan kepala. “Justru karena pekerjaan itulah saya merasa lelah, Pak.” Jawab Halwa jujur. “Saya sangat suka kerja disini, saya tidak keberatan bekerja lembur karena saya tahu gajinya juga sangat sesuai. Tapi yang tidak menyenangkan adalah…” Halwa menggantung kalimatnya yang membuat pria di hadapannya mengangguk mengerti. “Saya tidak tahan jika terus dicaci dan direndahkan. Saya bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan Sir Mirza, tapi tidak termasuk didalamnya saya mendapatkan cacian dan hinaan dari kekasih dan matan kekasihnya.” Ucap Halwa dengan pelan. lagi-lagi pria itu menganggukkan kepala. Halwa bukan karyawan yang suka banyak bicara. Dia juga bukan karyawan yang suka mengeluh. Di mata Pak Bagja—Kepala HRD—Halwa adalah sosok yang tepat untuk bekerja menjadi asisten pribadi Mirxa karena kepribadiannya yang tertutup dan pandai menjaga rahasia. Namun siapa juga yang tidak merasa sakit hati jika diperlakukan secara tak layak? Pak Bagja memandang gadis di hadapannya dengan sorot mengasihani. Setelah berpikir selama beberapa saat, pria itu akhirnya menganggukkan kepala. “Akan saya lihat apa saya bisa mendapatkan orang yang tepat.” Ucap pria itu pada akhirnya yang membuat Halwa menunjukkan senyum lebarnya. “Tapi meskipun saya sudah mendapatkannya, kamu harus tetap melatihnya dan kamu baru boleh pergi setelah dia benar-benar siap dengan pekerjaan kamu.” lanjutnya yang dijawab dengan anggukkan antusias Halwa. Halwa keluar dari ruangan HRD dengan perasaan penuh syukur. Setelah ini, dia hanya perlu memikirkan kemana ia akan menyebar CV nya. Ia tahu bahwa ia belum tentu akan mendapatkan gaji yang lebih besar dibandingkan pekerjaannya saat ini. Tapi ia sadar, bahwa gaji menyesuaikan dengan beban yang harus dipikulnya. Dan ia memilih mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih kecil asalkan ia bisa hidup dengan tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD