3. Offer or Threat?

1374 Words
Semenjak kejadian di ruangan Felix itu, Kayla tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di kampus. Dia seakan malas pergi ke kampus untuk bimbingan. Apalagi mengingat Felix yang jelas-jelas menyadari kalau mereka pernah tidur bersama. Seandainya Felix tidak ingat malam itu, mungkin dia akan sedikit lebih tenang. Dia bisa berusaha melupakan semuanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Tapi kalau Felixnya saja ingat dia harus bagaimana? Dia benar-benar merasa serba salah sekarang ini. Ternyata begini rasanya pernah terlibat hubungan semalam dengan sang dosen. Rasanya dia marah, kesal, dan malu secara bersamaan jika bertemu dengan dosennya itu. "Kak Kay gak ke kampus?" Kayla menoleh ke arah adik perempuannya yang langsung duduk di sampingnya. Adiknya itu mengambil toples cemilan yang ada di pangkuan Kayla. Lalu dia pun memasukan cemilan itu ke dalam mulutnya. "Enggak, ih Qila itu 'kan punya kakak," kesal Kayla saat Aqila main ambil saja cemilannya. Dia pun merebutnya kembali. "Minta dikit doang juga," sungut Aqila. "Dikit kamu itu mah yang ada langsung habis tu isi toples!" "Hehehe kakak tau aja. Oh iya tumben kakak gak ke kampus?" "Lagi males." "Aqila aduin sama Bunda nih kalau kak Kay males." "Dasar tukang ngadu!" "Bodo!" Aqila menjulurkan lidahnya ke arah Kayla. Sementara Kayla tak peduli. Drrrtttt drrrtttt Kayla dan Aqila refleks menoleh ke atas meja. Di sana layar ponsel Kayla menyala karena ada sebuah panggilan masuk. Kayla pun meraih ponselnya itu dan mengernyit heran saat menemukan nomer telepon asing tertera di sana. "Siapa kak?" tanya Aqila penasaran karena Kayla yang tak langsung menjawab ponselnya. "Ga tau, gak ada namanya" kawab Kayla. "Angkat aja. Siapa tau kak Abizar." Kayla pun menuruti saran dari adiknya. Dia mengklik ikon panggilan yang berwarna hijau lalu mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Baru saja dia ingin menyapa namun orang di seberang sana sudah berbicara lebih dulu. "Ha-" "Saya tunggu revisi skripsi kamu hari ini juga!" Kayla mengernyit saat terdengar nada tut yang berarti panggilan telah terputus. Dia pun memandangi ponselnya itu dengan tatapan horor. Itu tadi yang menelponnya siapa? Tapi mengingat dia mengatakan tentang skripsi Kayla, jangan-jangan... Kayla menggelengkan kepalanya saat pemikiran itu terlintas di kepalanya. Tidak mungkin kalau yang menelepon tadi Felix kan? Tapi mengingat suara berat itu, tubuhnya semakin melemas karena yang menelponnya barusan memanglah dosen pembimbingnya itu. "Dari mana dia dapat nomer gue?" lirih Kayla bingung. Seingatnya dia tidak meninggalkan nomer ponsel pada Felix. Tapi tau-tau saja dosennya itu menghubunginya. Apakah tidak aneh? "Siapa kak?" tanya Aqila. Dia mengernyitkan kening ketika melihat reaksi Kayla yang menjadi resah setelah menerima panggilan barusan. Padahal panggilan itu pun tak berlangsung lama. Dan kakaknya belum bicara sedikitpun. "Bukan siapa-siapa," sahut Kayla cepat. Dia melirik jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 3 sore. Dia ingin mengabaikan telepon dari Felix tadi. Bukan karena revisinya tidak selesai. Tapi lebih kepada Kayla tidak siap bertemu dosennya itu. Kayla lagi-lagi mengernyit saat menerima sebuah pesan chat dari nomer yang tadi. Dia tidak bisa melihat photo profil dosennya itu karena kemungkinan di-setting hanya untuk kontak saja. Sedangkan dia tidak mensyimpan nomer dosennya itu. Saya cuma punya waktu sampai jam 4. Isi pesan barusan membuat Kayla menghela napas beratnya. Sepertinya mau tak mau dia harus pergi ke kampus hari ini. Dia beranjak dari duduknya untuk pergi ke kamar mengambil keperluannya. Setelah itu pun dia bergegas untuk pergi ke kampus sebelum mendapatkan telepon atau pesan dari dosennya itu lagi. "Mau kemana kak?" yanya Aqila saat melihat Kayla yang sudah siap ingin pergi. "Ke kampus." "Loh tadi katanya gak ke kampus?" "Kakak berubah pikiran. Udah dulu ya. Kamu bilangin Bunda kakak pergi," pamit Kayla. Dia pun mengeluarkan motor maticnya dari garasi. Lalu menjalankannya menuju kampusnya. Setelah hampir dua puluh menit dalam perjalanan, kini Kayla sudah tiba di kampusnya. Dia langsung saja bergegas menuju ruangan Felix mengingat waktu tinggal setengah jam lagi sebelum jam empat. Dia pun menggerakkan tangannya mengetuk pintu dihadapannya itu. Hingga tak lama kemudian dia mendengar suara Felix menyuruhnya masuk. Kayla masuk dengan perasaan gelisah. Dia takut Felix akan membahas kejadian malam itu lagi. Tapi untunglah Felix langsung memeriksa skripsinya. Kayla bisa melihat kening dosennya itu naik-turun saat membaca hasil ketikannya. Dia meremas jari-jari tangannya untuk menghilangkan rasa gugupnya. Dia juga berdoa semoga kali ini tidak banyak revisian lagi. "Ini kenapa jadi seperti ini? Saya kemarin menyuruh kamu memperbaiki definisi operasionalnya. Bukan malah mengganti dan menghilangkannya. Balikin kayak semula aja," ujar Felix. Dia menutup map skripsi itu dan mengembalikannya kepada Kayla lagi. Kayla mendengus tak kentara. Dia kesal tentu saja. Kemarin siapa yang menyuruhnya mengganti? Tapi sekarang siapa pula yang menyuruhnya mengembalikkan seperti awal? Kalau boleh Kayla ingin menenggelamkan diri di dasar tanah saja kalau begini. Soal kejadian mereka yang tidur bersama saja sudah membuatnya cemas, takut, kesal dan malu. Kini dosennya itu malah seenaknya terhadap hasil tulisannya. Benar-benar tidak bisa dipercaya. "Baik, Pak." Meskipun kesal, tapi apa yang bisa Kayla lakukan selain menurut kan? "Maaf ya, Pak, kalau gak ada yang lain lagi saya permisi," ujar Kayla lebih dulu saat dia melihat dosennya itu seperti ingin membuka suara lagi. Dan Kayla yakin kalau itu tidak jauh-jauh dari apa yang mereka lakukan malam itu. "Tunggu!" tahan Felix. Dia memegang tangan Kayla karena Kayla yang berusaha berdiri dari tempat duduknya. Kayla pun refleks mengarahkan pandangannya ke arah tangan mereka. "Duduk, saya mau bicara!" Kayla meneguk ludahnya mendengar suara berat Felix yang seolah tak ingin dibantah. Dengan terpaksa dia pun kembali duduk di tempatnya tadi. Felix pun melepaskan tangannya dari tangan Kayla. "Berhenti bersikap seolah-olah kamu gak mengenali saya. Karena saya jelas tau kamu masih ingat." 'Tuh 'kan bener dia ngomongin masalah itu' batin Kayla. "Maksudnya, Pak?" Kayla tak mengindahkan ucapan Felix itu. Dia masih berusaha untuk tetap berpura-pura lupa. "Mikayla Zihan Bagaskara!" Kayla meneguk ludahnya dengan susah payah. Kenapa sih dosennya itu terlihat begitu menakutkan apalagi tatapan matanya yang seakan bisa menembus jantung Kayla. "I-iya, Pak." Kayla tergagap menjawab panggilan dosennya itu. Dia mengangkat wajahnya dan bertatapan dengan dosennya itu. Dia menerka-nerka berapa usia dosennya itu sebenarnya. "Akui kalau kamu memang mengingat saya, atau kamu mau saya ingatkan kejadian malam itu lagi?" Kayla merinding mendengar itu. Apa tadi katanya mau mengingatkan kejadian semalam? Dengan apa? "Saya beneran gak tau Bapak ngomong apa," kilah Kayla lagi. Namun sepertinya dia telah melakukan pilihan yang salah. Karena dia bisa melihat tatapan Felix yang menggelap. Lalu dosennya itu pun berdiri dari tempat duduknya. Dia melangkah menghampiri Kayla. Dia tundukkan wajahnya di depan wajah Kayla. "Jadi kamu memilih untuk saya ingatkan lagi? Baiklah!" putus Felix. Setelah mengucapkan hal itu dia mendongakkan dagu Kayla dan menyentuhkan bibirnya di atas bibir Kayla. Dilumatnya bibir tipis itu meskipun Kayla tetap diam dan tak membalas. Kayla terbelalak kaget dengan apa yang dilakukan dosennya itu. Dia mencoba mendorong Felix, namun laki-laki itu sigap merangkum tangannya. Dia menggigit bibir bawah Kayla sehingga Kayla refleks membuka bibirnya. Kesempatan itu dia pergunakan untuk lebih mengekplorasi mulut Kayla. Kayla mengerjap dan masih berusaha memberontak. Mungkin malam itu dia menerima karena dalam pengaruh alkohol. Tapi tidak dengan saat ini yang dia jelas-jelas masih sadar betul. Dia tidak mengerti kenapa dosennya itu tiba-tiba bersikap seperti ini. Hal ini tidak selayaknya terjadi antara dosen dan mahasiswanya. Dengan sisa kekuatannya Kayla menggigit bibir Felix dengan kuat. Hingga dosennya itu menghentikan kuluman bibirnya. Hal itu pun dipergunakan Kayla untuk kabur dari kungkungan dosennya itu. "Mungkin malam itu saya memang takluk sama Bapak. Tapi bukan berarti saya mau mengulanginya lagi! Apa yang bapak lakukan ini sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang dosen!" hardik Kayla. Dia menampar wajah Felix untuk meluapkan kemarahannya. "See, kamu ngaku juga kalau kita pernah tidur bersama," ujar Felix dengan senyum meremehkan. Kayla yang mendengarnya pun terdiam. Dia termakan jebakan Felix untuk mengakuinya. "Sial!" Kayla mengumpat. Sepertinya sekarang dia tak perlu berpura-pura lagi. Entah seperti apa nasib skripsinya nanti. "Kamu tenang saja, bimbingan skripsi kamu aman sama saya. Asalkan kamu mau menuruti permintaan saya." Kayla menatap curiga Felix. Entah kenapa dia merasa ada bau-bau yang tak enak dengan apa yang akan diucapkan Felix ini. "Kalau saya gak mau?" "Ya itu terserah kamu. Tapi siap-siap aja kamu gak bisa ikut wisuda tahun ini." "Bapak gila! Bapak mau ngancem saya?" marah Kayla. Sepertinya Felix memanfaatkan apa yang telah terjadi di antara mereka untuk membuat Kayla menuruti kemauannya. "Terserah kalau mau menyebut ini ancaman. Yang jelas saya hanya mau memberi kamu penawaran." Dan perkataan Felix selanjutnya membuat Kayla benar-benar marah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD