Kayla kembali ke ruang fakultas. Bu Alea yang melihat kedatangan Kayla pun mengernyitkan keningnya. Dia menghampiri Kayla lagi.
"Ada perlu lagi?"
Kayla mengangguk. Dia bingung nama panggilan dosen pembimbingnya tadi siapa. Apakah pak Alby? Felix? Atau pak Diaz? Ketiga kata dari nama dosennya itu semuanya bisa dijadikan nama panggilan.
"Maaf sebelumnya, Bu. Saya mau nanya. Kira-kira ruangan pak Alby Felix Ardiaz itu di mana ya bu?" Dari pada salah, Kayla pun memutuskan untuk menyebut nama lengkapnya saja.
"Oh Pak Felix, beliau ruangannya ada di kantor dekan lantai dua. Bersebelahan dengan ruangan Pak Anjar. Kamu tau kan?"
"Iya, Bu, saya tau. Makasih ya, Bu." Kayla mengangguk karena dia pernah mengambil mata kuliah yang diampu oleh pak Anjar. Dan dia pernah menyerahkan tugas ke ruangan dosen itu. Jadi pastinya dia tahu ruangan di sebelahnya.
"Nah ini kebetulan ada Pak Felix, dosen pembimbing skripsi kamu."
Mendengar perkataan Bu Alea itu, Kayla langsung membalikkan badannya. Matanya terbelalak begitu melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini. Dunianya terasa runtuh seketika. Orang yang paling tidak ingin ditemuinya tiba-tiba ada di hadapannya. Bahkan yang lebih gilanya lagi dia adalah dosen pembimbing Kayla. Dialah laki-laki yang menghabiskan malam bersama Kayla.
"Ini Mikayla Zihan Bagaskara, Pak, mahasiswi bimbingan skripsi Bapak. Pindahan dari bimbingan Pak Bahri."
Kayla bahkan tak begitu memperdulikan ucapan Bu Alea. Dia berpegangan di sisi meja karena tubuhnya yang gemetaran.
'Dia? What the... Hell!
Kayla mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya dari sekian banyak manusia di muka bumi. Mengapa harus laki-laki yang merenggut keperawanannyalah yang menjadi dosen pembimbing skripsinya.
Kayla mencoba menatap wajah laki-laki itu. Dia ingin mengetahui reaksi laki-laki itu saat bertemu dengannya. Namun. dia tidak bisa membaca arti tatapan laki-laki yang sialnya adalah dosen pembimbingnya itu.
Kayla tidak tahu harus bersikap seperti apa. Di satu sisi dia ingin menghindari laki-laki itu dan melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka. Tapi di sisi lain, hal itu tidak mungkin terjadi. Karena bagaimana dia bisa menghindar jika laki-laki itu merupakan dosen pembimbingnya. Paling tidak dia harus berurusan sampai skripsinya telah selesai disidangkan dan revisi. Dan tentunya hal itu tidaklah secepat keinginannya.
"Oh,"
Kayla menaikan alisnya melihat tanggapan Felix yang hanya berupa kata oh saja. Namun dia seperti bisa melihat tatapan mata Felix terasa begitu tajam dan menusuk. Kayla bahkan harus menelan ludahnya begitu merasakan aura negatif. Entah mengapa dia merasa kalau bimbingannya tidak akan berjalan mulus kalau dosennya adalah laki-laki itu.
"Kamu bisa temui saya di ruangan jam 12 nanti," ujar Felix kepada Kayla.
Kayla pun hanya bisa menganggukan kepalanya. Dia meremas jari-jari tangannya membayangkan seperti apa hari-harinya ke depan setelah tahu kalau dosen pembimbing skripsinya adalah laki-laki yang telah mengambil keperawanannya.
'Sial! Kenapa harus dia?'
Kayla keluar dari ruang Fakultas dengan pikiran yang berkecamuk. Ingin rasanya dia kembali ke dalam dan minta diganti dosen pembimbing. Tapi apa alasannya? Karena pihak Fakultas tidak mungkin mengganti dosen pembimbing yang telah ditetapkan jika tidak ada permasalahan apapun. Sedangkan Kayla tidak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Sial!!!" desis Kayla. Hanya karena kesalahan semalam itu kini nasibnya di pertaruhkan.
***
Kayla dengan malas melangkahkan kakinya menuju ruangan Felix. Andai dia boleh memilih sebenarnya dia tidak ingin menemui laki-laki itu. Tapi apa boleh buat, mau tak mau dia harus bertemu dengan dosen pembimbingnya itu juga.
"Oke Kayla, anggap aja lo gak kenal sama dia. Anggap gak pernah terjadi apa-apa di antara kalian"
"Rileks..."
Kayla mencoba menyugesti dirinya sendiri untuk melupakan malam itu. Dia menghirup napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya. Begitu berulang-ulang hingga akhirnya dia telah sampai di depan ruangan Felix.
Kayla ragu untuk mengetuk pintu ruangan di hadapannya. Dia bimbang apakah harus masuk atau tidak. Tapi jika dia tidak masuk, maka skripsinya pun akan bertambah lama selesainya.
Dengan keraguan yang meliputi hatinya, dia menggerakan tangannya untuk mengetuk pintu ruangan itu. Tapi baru saja dia ingin mengetuknya, pintu itu sudah terbuka lebih dulu. Muncullah sosok laki-laki yang merupakan dosen pembimbingnya itu.
Mata mereka tak sengaja bertatapan. Kayla baru sadar kalau dosennya ini masih terbilang tampan dengan hidung mancungnya, rahangnya terlihat sangat kokoh dengan ditumbuhi bulu-bulu halus di dagunya. Apalagi bibir tebalnya terlihat seksi. Dan sialnya Kayla pernah dicium bibir itu.
"Ehem!"
Kayla tersadar begitu mendengar suara deheman Felix. Dia menggelengkan kepalanya karena bisa-bisanya mengagumi sosok yang telah merenggut kesuciannya. Jelas-jelas Abizar lebih dari dosennya itu.
"Masuk.'
Kayla lagi-lagi mendengus saat mendengar kata singkat yang dikeluarkan dosennya itu. Felix lebih dulu kembali masuk ke ruangannya dan duduk di kursi miliknya. Sementara Kayla menyusul dengan langkah pelan.
Kayla menggerakkan kakinya menghampiri meja dosen pembimbing barunya itu. Dia menunduk saat tak sengaja menatap mata Felix. Entah kenapa dia bisa melihat kalau Felix sedang menatapnya intens.
'Rileks Kayla, anggap aja lo gak ingat apa-apa. Dan semoga dia juga lupa wajah lo' Kayla menarik napasnya lalu menghembuskannya lagi. Dia mengeluarkan skripsinya yang dijepit dalam sebuah map.
"Ini bab 1 punya saya, Pak. Dan ini SK judul skripsi saya buat bapak simpan."
Kayla mencoba berbicara biasa saja. Seolah mereka tidak pernah ada apa-apa. Padahal dalam hatinya dia menahan gugup mati-matian. Biar bagaimanapun dia berhadapan dengan dosennya saat ini. Berbeda dengan keadaan malam itu.
Dia bisa melihat kening Felix bertaut. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, Kayla bisa bernapas lega saat Felix menerima SK itu dan menyimpannya. Setelah itu barulah dia membuka lembaran skripsi milik Kayla.
"Dari bimbingan pak Bahri gimana?"
Kayla menghela napas lega karena sepertinya Felix tidak ingat dengannya. Terbukti dengan laki-laki itu yang tidak menyinggung persoalan malam itu. Kalau begini rasanya Kayla bisa lebih rileks.
"Setelah beberapa kali revisi, beliau menyetujui bab 1 saya, Pak, saya diminta untuk melanjutkannya," jawab Kayla. Dia sudah tidak setegang tadi. Dia bisa melihat Felix mengangguk.
"Oke, tapi menurut saya masih ada beberapa hal yang perlu kamu perbaiki."
Kayla membelalakkan matanya saat dosennya itu mengambil polpen dengan tinta berwarna merah. Lalu dengan tak berperasaan dia mencoret bagian-bagian yang menurutnya kurang pas. Bahkan coretannya lebih banyak dari pada coretan pak Bahri. Sepertinya Kayla malah mendapatkan dosen yang lebih sulit dari pak Bahri. Ditambah dia memiliki pengalaman yang tak akan terlupakan bersama dosen itu.
"Silahkan kamu perbaiki, dan bawa kesini lagi nanti."
Felix menutup map skripsi Kayla dan menyerahkannya kembali. Kayla pun menerimanya dengan wajah lesu. Lagi dan lagi dia masih berkutat di bab yang sama. Kapan maju-majunya coba?
"Baik pak, kalau gitu saya permisi dulu," pamit Kayla. Dia bangkit berdiri dari kursi yang didudukinya tadi. Lalu dia pun melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan itu. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan tubuhnya membeku. Saat mendengar suara Felix.
"Maaf untuk malam itu."
Kayla merutuk dalam hati. Dia kira Felix tidak akan mengenalinya. Tapi rupanya dia salah. Laki-laki itu mengingatnya.
"Saya gak ngerti maksud Bapak apa. Saya permisi, Pak."
Kayla sengaja berkata seperti itu dan langsung keluar dari ruangan Felix. Dia tidak ingin membahas lagi soal kejadian malam itu..
Bagaimana dia bisa bimbingan dengan tenang tanpa mengingat malam itu? Bagaimana dia bisa melupakan wajah laki-laki yang sudah membuatnya kehilangan keperawanan? Kayla terlalu pusing dengan apa yang dia alami hari ini. Dia pun memutuskan untuk pulang dan istirahat di rumah. Hari ini dia tidak mood untuk merevisi skripsinya.