Bab 41. Membujuk Eredith

1026 Words
Dan sialnya Aredric yang sekarang belum bisa melakukan itu karena Tiffa merasa aneh saja. Walaupun Aredric yang sekarang jauh lebih sexY dan menggairahkan. “Kau harus profesional, Tiffa. Kau yang kabur seperti ini adalah bentuk ketidakprofesionalan.” Rivaille mengikutinya pergi. Tiffa sekarang menyesal mengajaknya berlatih. “Ya. Kau bisa memecatku sekarang dan aku akan segera mengemasi pakaianku.” Ucapnya masih marah. Rivaille menahan senyumannya. “Aku tidak akan memecatmu. Tapi kau perlu mengemasi pakaianmu sekarang.” Tiffa menghentikan langkahnya. “Kau mengusirku?” Tanyanya dengan ekspresi tidak percaya sekali. “Ya. Aku mengusirmu untuk pergi dari kamar tamu dan pindah ke kamarku.” Grep! Rivaille berhasil menangkap tangan Tiffa yang melayang untuk memukul kepalanya. Wajah tersipu itu membuatnya ketagihan. Reaksinya imut sekali bagi Rivaille. “Kalau begitu aku mengundurkan diri jadi gurumu.” Tiffa tampak putus asa menghindari Rivaille sekarang. “Sayang sekali kau tidak bisa melakukannya. Aku bahkan belum menerima surat lamaran kerja darimu.” Rivaille tampak tersenyum senang ketika mulut Tiffa terbuka tertutup karena sedang mencari kata yang pas saat ini. “Kalau begitu aku bisa langsung pergi dari sini.” Ucapnya emosi lalu kembali melenggang pergi. Ia sedikit geli dengan sifatnya yang sekarang. Bukankah ia sekarang seperti gadis belia yang sedang marah karena kekasihnya tidak membelikannya mobil baru? “Lalu meninggalkanku seorang diri disini?” Tanyanya langsung menghentikan langkah kaki Tiffa. Tiffa lagi-lagi dibuat kalah oleh Rivaille. Reinkarnasi Aredric ini rupanya sangat pandai bersilat lidah. Bahkan ia sampai kalah berkali-kali darinya. “Kalau begitu berhenti bersikap menyebalkan!” Ucapnya sedikit membentak. Rivaille mengangguk dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Tangan kanannya terangkat dan tangan kirinya di depan d**a seperti gerakan bersumpah. “Aku janji.” Tiffa menatap Rivaille sebentar lalu berusaha untuk menenangkan emosinya. “Kalau begitu kita lanjutkan latihannya besok.” Kata Tiffa sambil berkacak pinggang. “Tapi kau bahkan belum mengajari-” Dan Rivaille tidak berani melanjutkan perkataannya karena jari telunjuk Tiffa yang sudah teracung padanya. Setelah perdebatan singkat itu, Rivaille pun mengantar Tiffa ke kamarnya. Tapi ternyata mereka berdua berpapasan dengan Elunial yang tampaknya menunggu seseorang disana. “Aku butuh bicara denganmu Kak.” Ucapnya langsung sambil menatap Tiffa dengan tatapan tajam. Tapi Tiffa sudah memakluminya. “Bicaralah.” Elunial menggeleng. “Berdua saja. Secara pribadi. Dan tidak ada yang boleh mendengarnya. Hanya kau dan aku.” Tiffa yang tadinya sudah membuka pintu kamarnya lantas menoleh dengan dahi yang berkedut emosi. “Sepertinya kau punya masalah denganku Nak.” Elunial yang tadinya berani dan seperti tak kenal takut itu langsung bersembunyi di belakang kakaknya. Itu hanya gertakan saja dan Elunial sudah ketakutan. “A-aku tidak ada urusan denganmu!” Teriaknya sambil menunjuk wajah Tiffa dengan kasar. Rivaille sebenarnya malas sekali meladeni Elunial. Karena sifatnya masih anak-anak. “Ck! Terserah padamu.” Ujar Tiffa tidak selera juga meladeni Elunial. Ia pun masuk ke dalam kamarnya. Setelah Tiffa lenyap dari hadapannya, Elunial mengajak sang kakak untuk bicara di kamarnya. “Sudah tiga hari Kak Ere tidak pulang. Sebaiknya Kakak cari dan bujuk dia agar mau pulang.” Rivaille tidak langsung mengiyakan. Matanya kini sibuk mengamati kamar adiknya. Jika diingat-ingat, ini pertama kalinya ia bermain ke kamar adiknya. Ada banyak gambar pesawat dan juga miniaturnya. Semua buku yang memenuhi raknya hanya seputar pesawat. Adiknya ini sudah bisa dibilang maniak jika sampai separah ini. “Aku akan membujuknya. Tapi aku tetap tidak akan mengubah keputusanku.” Ucapnya membuat Elunial duduk lesu di ranjangnya. Semua vampir saat ini tengah membicarakan kakaknya yang telah tergila-gila pada Tiffa. Mereka mengira bahwa Tiffa sudah mencuci otak kakaknya, dimanipulasi dan yang paling parah adalah dipaksa. Dari semua isu itu, semuanya tidak ada yang positif. Dan kakaknya juga tampak tidak mempermasalahkan semua gosip itu. Kesehariannya selalu bersama dengan Tiffa akhir-akhir ini. “Semuanya membicarakan hal yang buruk tentangmu Kak. Bahkan Tiffa juga seperti tidak punya harga diri di kerajaan kita.” Rivaille mengedipkan matanya beberapa kali. “Aku tidak melanjutkan rencana itu karena aku ingin melindungimu dan Eredith. Dan juga Heddwyn.” Elunial menggelengkan kepala bosan. Ia sudah mendengar perkataan itu tiga hari yang lalu sebelum kakak keduanya pergi. “Apa karena Tiffa mengancammu? Katakan saja semuanya.” Ucapnya memohon agar kakaknya bisa sedikit saja berbagi pemikiran dengannya agar ia bisa paham kenapa kakaknya bersikeras seperti ini. Tapi Rivaille tidak melakukan itu. Ia hanya diam dan tidak ingin menegaskan apapun dari semua gosip murahan itu. “Aku akan memberitahukan semuanya setelah Eredith kembali.” Elunial lantas berdecak kesal. Rivaille pun kembali ke kamarnya. -London, Inggris- Sudah tiga harian ini Eredith menghabiskan waktunya di London. Ia masih kesal dengan kakaknya yang bisa-bisanya berbelok ditengah jalan seperti itu. Rencana yang sempurna itu seharusnya akan menjadikan Heddwyn sebagai kerajaan adidaya yang akan ditakuti oleh bangsawan lain. Tapi sehari saja kakaknya bersama Tiffa, presepsinya langsung berubah drastis. Hancur sudah semua rencana itu. Dan yang memuakkan adalah kakaknya malah membela Tiffa dibanding dirinya yang adik kandung. Matanya yang menatap Big Ben itu mendengus kesal. Semua hal di sekitarnya membuatnya kesal. Sampai tak sengaja ia melihat adik kakak di dalam mobil pun ia jijiK. “Mau sampai kapan kau bertingkah seperti anak kecil?” SRAATT! Tiba-tiba seseorang berbisik di telinganya. Eredith langsung melayangkan pukulan ke samping kanannya. Dan sayangnya ia hanya memukul udara kosong. Matanya mencari-cari sosok yang mengganggunya sebelum ia melihat Vian yang berdiri bersandar sambil merokok. Emosinya langsung memuncak detik itu juga. “Pergilah! Jangan menggangguku!” Teriaknya jengkel. Tapi bagi Vian, teriakan Eredith seperti bocah kecil yang merajuk tidak diberi permen. “Semua yang telah diputuskan itu selalu ada alasannya, bocah. Jangan mementingkan keinginanmu saja. Pikirkan juga perasaan yang lain.” Ujar Vian sambil memainkan asap rokoknya menjadi bentuk donat-donat kecil di udara. Eredith masih diam. Ia berpikir pasti Tiffa yang meyuruh Vian untuk membujuknya kemari. Tidak mungkin kakaknya. “Pergilah! Aku tidak mau mendengar ocehanmu.” Vian memasang ekspresi tidak pedulinya. Sengaja matanya berkedip genit pada wanita cantik yang lewat. “Kakakmu berusaha untuk melindungi kedua adiknya. Tiffa sudah melihat masa depan kemarin. Ia lalu mendiskusikannya dengan kakakmu tentang masa depan itu.” Eredith pun menoleh. “Melihat masa depan? Memangnya ada kekuatan seperti itu?” Tanyanya yang jadi kesal karena diabaikan oleh Vian. Pria itu malah sibuk menggoda wanita cantik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD