Ratusan ribu tahun. Itu waktu yang sangat lama dan bahkan mustahil bagi Rivaille untuk melewatinya. Selama itu pula Tiffa menangisi dirinya dan membawa penyesalan seumur hidupnya.
Bahkan setelah semua penderitaan itu, ia masih harus menerima nasib kutukannya sepanjang hidup.
“Atas nama Aredric, aku memaafkanmu, Tiffa.”
Tiffa lalu menangis dan memeluk Rivaille dengan erat.
Setelah semua cerita dan masa lalu selesai diceritakan, mereka berdua tidak sadar jika matahari telah lama meninggi di langit.
Rivaille dan Tiffa masih terbaring menyamping. Saling memandangi wajah masing-masing dengan obrolan ringan yang masih seputar masa lalu.
“Jika di masa lalu aku butA dan cacaT, di masa ini sepertinya aku punya banyak kelebihan.” Tiffa tertawa mendengarnya.
“Aku bahkan tidak menyangka kau berhasil reinkarnasi di zaman ini. Walaupun ratusan ribu tahun aku menunggumu.” Rivaille tersenyum kecil.
“Akhirnya aku bisa dengan jelas melihat wajahmu... Aku yakin Aredric akan berkata seperti itu.” Ucapnya sedikit aneh.
Tapi Tiffa yang tertawa menjadi hiburan juga untuknya. Ia yang biasanya melihat wanita itu dengan wajah angkuhnya, ekspresi datarnya bahkan ekspresi sedihnya.
Dari semua ekspresi itu, tentu saja Rivaille suka yang sekarang. Bahkan suara tawanya saja ia suka.
“Hentikan, kau jadi aneh. Aredric di masa lalu tidak berekspresi seperti itu.” Rivaille menghela nafasnya saja.
Setelah Rivaille sepakat pada Tiffa untuk tidak menjalankan rencananya, ia meminta pada kedua adiknya dan juga seluruh pasukan Heddwyn untuk kembali.
Membiarkan kastil Alereria kosong. Kedua adiknya tentu saja memprotes keras. Terutama Eredith yang sampai pergi meninggalkan istana untuk menenangkan diri.
“Cari Eredith dan jaga dia selama dia jauh dari kastil.” Vian menampilkan senyumnya kali ini.
Walaupun senyuman itu tampak menjengkelkan di mata Tiffa, tapi ia senang adiknya sudah kembali dengan mood senangnya.
“Aku pergi sekarang.” Ucap Vian segera menghilang dari pandangan Tiffa.
Situasi di kerajaan Heddwyn masih bersitegang selama tiga harian ini. Elunial juga menjadi pendiam dan menjauhinya. Lalu para pemimpin pasukan juga terus menekan Rivaille untuk melanjutkan peperangan.
Tapi keputusan Rivaille tidak goyah sedikitpun. Ia sadar bahwa keluarganya akan dalam bahaya jika ia melanjutkan semua rencana itu.
Tiffa lalu pergi ke taman belakang untuk menenangkan diri. Tapi Rivaille tak sengaja melihatnya dan segera menghampiri Tiffa.
“Sedang apa disini?” Tiffa tidak menoleh.
“Menurutmu?” Rivaille mulai suka dengan interaksi diantara mereka.
“Kenapa kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan?”
“Kau juga.”
Mereka berdua akhirnya diam sambil menahan senyum masing-masing. Tatapan mereka kini memandang danau berwarna hijau di hadapan mereka.
“Aku akan mengajarimu cara menggunakan mantra sesuai dengan kekutanmu saat ini.” Kata Tiffa yang sedikit membuat Rivaille heran.
“Seharusnya kau sudah mulai mengajariku sejak beberapa hari yang lalu.” Ujar Rivaille masih ingat Tiffa berjanji akan mengajarinya setelah bangun dari hibernasi. Tiffa tersenyum kecut.
“Aku tidak niat mengajarimu kemarin.” Rivaille memutar matanya malas.
“Kalau begitu, kita mulai latihannya sekarang.” Kata Rivaille yang terdengar seperti memerintah Tiffa.
Mereka berdua lalu pindah ke tempat luas yang dimana tanah lapang di tengah-tengah kastil menjadi spot untuk mereka latihan.
“Baiklah, aku sudah tahu tentang telekinesismu itu. Ada berbagai macam mantra yang cocok denganmu. Tidak dengan api tentunya.”
“What? Kenapa? Aku sudah menguasai mantra api sejak lama.” Rivaille langsung protes.
Kenapa Tiffa tidak menyarankannya untuk menggunakan mantra api. Padahal ia bisa menggunakannya dengan baik sampai saat ini. Tapi Tiffa tersenyum mengejek dan sengaja membuka telapak tangan kanannya.
Tiba-tiba sebuah bola api merah yang ukurannya benar-benar tidak masuk akal tercipta dari telapak tangan Tiffa. Rivaille bahkan sampai mendongakkan kepalanya karena terkejut dengan ukurannya.
“Jika kau bisa menggunakannya, seharusnya bola apimu seukuran ini.”
“Cih!” Rivaille berdecih jengkel. “Itu karena kau vampir tua berusia jutaan tahun. Itulah kenapa ukurannya tidak masuk akal.” Celetuknya membuat Tiffa melotot tidak terima.
“Usiaku baru sekitar ratusan ribu. Belum jutaan!” Rivaille memutar matanya malas.
Tapi karena Tiffa melihat anak muridnya ini tengah meremehkannya, Tiffa lantas menghilangkan bola api itu dan memicingkan matanya kesal.
“Jadi kau ingin diajari atau tidak?” Tanyanya seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. Rivaille tersenyum tentunya.
“Tentu saja mau. Tapi… Bisakah kita belajar hal-hal yang dasar dulu? Seperti, cara menggigit manusia, mungkin?”
Tiffa langsung kehilangan kata-kata setelah Rivaille mengirimkannya sinyal m***m ke arahnya. Apa maksudnya dengan cara menggigit? Tiffa langsung memijat keningnya.
“Shh… Dengar, bocah nakal. Aku ini tidak suka bermain-main jika sedang berlatih. Itu berbahaya!” Ujarnya langsung.
Tapi mulutnya mendadak terasa masam karena ekspresi Rivaille yang seakan tidak mendengarkan perkataannya. Dan itu cukup menyebalkan bagi Tiffa.
“Justru karena berbahaya. Untuk itulah aku ingin kau mengajariku hal-hal yang dasar dulu.” Rivaille bersikeras.
Tiffa sebenarnya tidak tahu kenapa bocah yang usianya tidak sampai seujung kuku ini ternyata sangat m***m sekali.
Padahal semalaman penuh mereka satu ranjang berdua. Tapi tampaknya bocah itu tidak juga puas dengan itu.
“Tidak. Ikuti perintahku atau tidak sama sekali. Jangan menguji kesabaranku, bocah nakal.”
“Aku bukan bocah.”
“Tapi kau kau justru terlihat seperti bayi di hadapanku!”
“Kau yang menganggapku demikian!”
“What? Memang kenyataannya seperti itu!”
“Dari segi fisik aku sudah dewasa!”
“Arrgghh!”
Tiffa langsung meremas kepalanya dengan gemas. Bisa-bisanya ia ikut terpancing emosi dan tidak mau mengalah seperti ini. Memang Rivaille membuatnya sulit untuk dewasa.
“Kau sudah pernah merintih dibawahku. Jadi aku sudah bukan lagi anak kecil.” Kata Rivaille lagi.
“Hey! Tapi itu di masa lalu!” Tiffa mulai panik.
“Tapi tetap saja kita sudah pernah melakukannya.”
Dan Tiffa kalah telak. Ia jadi menyesal telah menceritakan sampai sedalam itu. Terkutuklah bocah ingusan ini. Salahnya juga karena sudah menceritakan cerita untuk 21 tahun ke atas pada Rivaille.
Ibarat usianya baru seusia bayi yang belajar berguling ke samping, Rivaille masih terlalu muda untuk hal sedewasa itu.
“Haahh… Baiklah, baiklah. Terserah kau saja. Aku malas mengajarimu.”
Tiffa pun pergi karena takut pembahasan akan semakin panas. Sedangkan sesuatu diantara mereka juga akan tersulut dan bertambah panas.
Ia sudah terlampau dewasa tentunya. Selama ratusan ribu tahun ia kehilangan gairah. Lalu baru sekarang itu semua dibangkitkan seperti mumi yang keluar dari dalam peti.
Kalian tanyakan saja pada seluruh makhluk di muka bumi. Siapa yang bisa tahan tidak melakukan hubungan intim selama itu jika bukan Tiffa seorang.