“Katakan dimana dia sekarang-”
BRUGH!
Suara pria mengerikan tadi tiba-tiba saja terhenti dan menghilang seperti angin. Aredric terengah hebat. Ia masih ketakutan setengah mati sampai tidak tahu harus bagaimana lagi.
“HAH! HAAHH!”
Aredric tiba-tiba terjatuh ke lantai. Suara pria tadi menghilang dan ia segera berbalik dan menyeret tubuhnya sekuat yang ia bisa agar bisa selamat. Entah kemana, ia hanya bisa meraba-raba tanah saja saat ini.
“A-Aredric… Kau baik-baik saja?”
Suara Tiffa tiba-tiba terdengar dari belakang. Tapi walaupun Aredric tahu itu adalah Tiffa yang menolongnya, ia tidak berani menoleh ke belakang. Kedua tangannya bergetar sampai menggaruk tanah dengan kuku jarinya.
Apakah ekspresinya saat ini tampak baik-baik saja? Baru saja ia dicekik dan terangkat seperti boneka tak berdaya. Lehernya sakit sekali sampai kedua matanya berair karena air mata.
Tiffa menatap nanar punggung Aredric. Ia tahu jelas apa yang dipikirkannya saat ini. Untung saja ia masih sempat menyelamatkannya. Dan tadi itu nyaris sekali sampai Tiffa kesulitan meredakan emosinya sendiri.
Matanya berubah menjadi sorot mata nyalang ketika melihat abu beterbangan di dekat kakinya. Baunya menyengat seperti tulang yang terbakar.
Gara-gara vampir laknat itu Aredric hampir saja tewas. Dan juga penyerangan tiba-tiba ini membuat desa hancur berantakan. Banyak korban juga berjatuhan.
“Disini berbahaya. Ikut denganku ke istana.” Ucap Tiffa terdengar panik. Ia menyentuh pundak Aredric dan membantunya berdiri.
Tapi Aredric tidak mengindahkan ajakan Tiffa. Kemana perginya makhluk tadi? Kenapa Tiffa tiba-tiba sudah di belakangnya untuk menyelamatkannya?
Banyak sekali pertanyaan sampai Aredric tidak punya keberanian untuk sekedar menoleh dan memperlihatkan wajahnya. Tapi ia tidak bisa hanya diam saja saat tahu Tiffa bukanlah manusia sepertinya.
“Makhluk apa kau sebenarnya… Tiffa?” Aredric bertanya pelan. Ia tidak menoleh, atau bahkan membalikkan badannya untuk beradu tatap dengan Tiffa.
Tiffa sendiri terdiam. Ia berdiri dan menyaksikan Aredric yang membelakanginya. Air matanya tumpah karena pada akhirnya Aredric tahu semuanya.
Aredric tahu bahwa ia bukanlah manusia sepertinya. Matanya memerah memperlihatkan bagaimana warna matanya yang berbeda. Ia memeluk lengannya seraya menatap ujung kakinya sendiri.
“Aku tidak berani mengatakannya padamu….” Ucapnya lirih. Air matanya mengalir deras membanjiri pelupuk matanya dan mengalir turun dari pipi.
Tapi intonasi yang bergetar terdengar memilukan itu membuat Aredric ikut meneteskan air mata. Ia masih bisa tahan jika Tiffa mau mengaku sebelum ia tahu semuanya sendiri.
Terlebih lagi, ia tidak akan syok sampai seperti ini. Situasinya akan berbeda dan Aredric sendiri yakin bisa menerima Tiffa apa adanya. Seperti Tiffa yang menerima segala kekurangannya.
Tapi Tiffa menutupinya sendiri dan bertingkah seolah dia dua pribadi yang berbeda. Bahkan sampai berbohong padanya selama ini. Berapa tahun mereka bersama sampai Tiffa tega seperti itu.
Siapa sosok Tiffa yang lain itu? Makhluk mengerikan yang bahkan tidak bisa Aredric bayangkan seperti apa mengeringkannya. Apakah sama seperti makhluk tadi?
Membunuh manusia dengan begitu mudahnya. Mulut Aredric terasa pahit sekali. Sama seperti kenyataan pahit yang sedang ia alami ini.
“Kau tidak pernah berbohong padaku, Tiffa….” Ucap Aredric tersenyum getir.
Tiffa terisak dengan punggung bergetar dan tangan yang membungkam mulutnya erat. Seandainya ia punya keberanian untuk mengatakannya langsung pada Aredric, mungkin saja kejadian ini tidak akan pernah terjadi.
Tapi ia terlalu takut. Ia takut Aredric akan menganggapnya monster walaupun memang benar dirinya adalah seorang monster. Ia takut kehilangannya karena Aredric adalah satu-satunya orang yang membuat hidupnya bermakna.
Pria yang menjadi sandaran untuknya agar lebih menghargai hidup. Tiffa bisa merasakan kebahagiaan bersama Aredric. Ia tidak berani membayangkan bagaimana jadinya jika Aredric menghilang dari hidupnya.
Aredric berdiri dan berbalik perlahan. Ia ingin menyentuh wajah Tiffa. Tangannya ingin meraba bibir itu. Bibir yang selalu berucap manis ketika di hadapannya. Perkataan penuh dusta yang juga keluar dari mulut itu.
“Warna matamu merah… bukan hijau atau bahkan biru… Aku hafal semua nama warna walaupun aku sama sekali belum pernah melihatnya… Tapi kau berbohong untuk hal sekecil itu, Tiffa.” Kata Aredric lagi.
Aredric terpaksa mengatakan apa yang ada di pikirannya. Ia ingin tahu, apakah Tiffa kuat menjadi dirinya yang bahkan tidak bisa melihat sendiri. Itu hanya warna mata saja, belum termasuk kebohongan lain yang Tiffa sembunyikan.
Selama ini Tiffa berlaku baik padanya. Aredric sudah cukup dengan atau tanpa Tiffa membicarakan sedikitpun rahasia itu. Tapi kenapa harus berbohong?
Tiffa tidak bisa berkata apapun lagi. Ia segera menarik tangan Aredric dan menggendongnya segera untuk berlindung di istana. Aredric diam saja tanpa perlu repot menepisnya.
“Aku akan mengatakannya semua padamu. Kumohon jangan tinggalkan aku.” Tiffa memohon pada Aredric.
Aredric tertawa. Semuanya sudah terlalu jelas. Tanpa perlu dijelaskan lagi ia sudah mengerti. Tiffa lantas membawa Aredric ke tempat aman sementara sampai situasi mereda.
Di dalam istana, Aredric bisa mendengar orang-orang berlari kesana kemari. Semua tampak ricuh karena penyerangan oleh makhluk tidak dikenal Aredric. Setiap orang yang berlalu lalang, mereka tampak mengikuti arahan dari Tiffa dengan baik.
Sedangkan Aredric disana, berjalan tertatih dengan lutut lemas akibat tertindih kotak buah tadi. Tapi setelah situasi di dalam istana terdengar tenang, Tiffa juga tak kunjung bercerita.
Membuat Aredric semakin sakit setiap menitnya.
"Aku Dan Vian bukan manusia sepertimu. K-kami bangsa vampir…."
Tiffa menelan ludahnya sudah payah. Ekspresi dingin Aredric membuat Tiffa kehilangan banyak kata di kepalanya. Aredric sendiri menatap ke samping. Tidak ingin menghadap ke arah Tiffa.
"Kenapa mereka mencarimu?" Tanya Aredric. Tiffa tertunduk dengan kedua tangan terkenal kuat. Ia sungguh tidak berani memberitahukannya pada Aredric tentang jati dirinya.
"A-aku vampir yang jahat." Jawab Tiffa sengaja mengecilkan makna kata jahat dalam perkataannya.
Tapi justru Aredric berpikir cepat dengan satu kalimat itu. Awal pertemuannya dengan Tiffa, di kamar rumah lamanya yang lapuk. Seorang wanita yang keluar masuk kamarnya sesuka hati.
Kini Aredric paham kenapa Tiffa bisa menemuinya di dalam gelap. Dan juga kedatangannya yang tanpa suara. Aredric
menyisir rambutnya ke belakang. Apa yang Tiffa pikirkan saat bertemu dengannya kala itu?
Ingin membunuhnya?
"Apa yang kau lakukan pada mereka sampai mereka dendam padamu?" Tanya Aredric lagi. Nada suaranya masih menekan walaupun ia terlihat diam dan tak banyak bicara.
Tiffa menggigit bibirnya kuat. Seakan ia tengah menguatkan tekad untuk mengatakan semuanya. Di sebuah tangga, Aredric hanya mendengar suara berisik di luar istana dan juga tangisan Tiffa.
"Aku telah membunuh banyak orang. Aku bahkan telah membunuh keluargaku sendiri. Sepupu dan pamanku… Aku telah membunuh banyak raja demi kekuasaan… Dan sekarang mereka datang padaku… Untuk menuntut balas." Tiffa berkata dengan nada suara yang begitu dalam.
Nafas Aredric tertahan. Kepalanya menoleh dengan gerakan pelan yang sungguh membuat Tiffa menekankan matanya takut. Mulut Aredric terbuka dan tertutup, tapi tak ada satu patah kata pun yang keluar.
Apa katanya tadi? Membunuh? Membunuh keluarganya sendiri? Lidah Aredric kelu setelah mendengarnya. Semudah itu kah Tiffa membunuh seseorang?
Apakah bagi bangsa mereka, manusia ini seperti semut sehingga mudah saja untuk dibunuh? Aredric ingin tertawa. Tertawa sekuat yang ia bisa. Tapi tubuhnya sudah terlalu tegang dan bergetar karena takut.
Semua masa lalunya yang membunuh seluruh anggota keluarga, sepupu bahkan paman-pamannya. Aredric tentu saja bertambah takut.
Sosok legenda yang dikenal bengis itu ternyata wanita yang dicintainya selama ini. Wanita yang menolongnya dari keterpurukan. Lalu untuk apa semua ini? Hanya sekedar mengasihani atau sedang mengemis meminta pengampunan dosa?
Aredric tidak bisa mengerti itu semua.
"Apakah kau menyesal dengan semua itu?"
Tiffa berjalan mendekat tiba-tiba. Tapi justru suara langkah kakinya membuat Aredric bergerak tiba-tiba juga. Beringsut mundur sambil menahan tangannya di depan. Meminta pada Tiffa untuk jangan mendekat.
Tapi itu cukup membuat Tiffa sadar akan dirinya yang sebagai monster. Sosok makhluk kejam yang ditakuti oleh kekasihnya sendiri.
"... Aku sangat menyesalinya-"
"Bohong!" Aredric tiba-tiba memotong perkataan Tiffa.
Aredric tidak bodoh. Melihat semua orang bertumpu pada Tiffa ketika mereka berbicara jelas sekali bahwa Tiffa telah membangun kerajaannya lagi. Menyesal? Menyesal tapi membangun ulang kerajaan?
Mulut Aredric terkatup rapat. Ia menggelengkan kepalanya lalu tertunduk sambil tertawa getir.
“Dan pada kenyataannya kau masih sama seperti dirimu yang dulu… Aku masih bisa mencoba untuk lupa dengan masa lalumu Tiffa… Tapi kau ternyata tidak berubah!”
Tiffa menangis. Sebenarnya ketika ia untuk pertama kalinya bertemu dengan Aredric, ia masih pada ambisinya untuk membangun kembali kerajaan Yovanka yang jatuh.
Tapi setelah mereka bersama, ia perlahan berusaha untuk lepas dari semua itu. Tapi terlalu sulit. Pada akhirnya ia memilih untuk berbohong dan menjadi orang lain di hadapan Aredric.
Ia bertingkah bagai manusia tanpa dosa setelah jutaan nyawa ia lenyapkan. Lalu sekarang, apa yang berusaha ia jelaskan pada Aredric juga ada campur tangan dari ambisinya.
“Aku menyesal….” Bisiknya masih terus terisak. Sayangnya Aredric tidak percaya dengan kata penyesalan itu. Ia diam saja dengan ekspresi wajah yang mengeras marah.
“Tiffa! Pasukan sudah siap.”
Tiba-tiba Aredric mendengar suara Vian memanggil Tiffa. Ia lantas tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Ternyata Vian juga sama saja. Sisi lain dari kakak beradik yang tidak Aredric ketahui.
Vian tertunduk juga. Melihat kakaknya menangis terisak sebelum ia menatap Aredric.
“Maaf, Aredric….” Kata Vian sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.
Tapi mereka berdua dapat mendengar jelas suara ramai di depan istana. Tiffa menghapus air matanya. Pasukannya sudah siap. Ia bertekad untuk menjelaskan lebih rinci pada Aredric setelah ia berhasil mengamankan desa.
“Tunggu aku disini.” Tiffa pun menyusul Vian pergi. Tanpa menunggu apakah Aredric memperbolehkan atau tidak.
Aredric termenung di tangga seorang diri. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Ia takut pada Tiffa sekarang dan keinginannya untuk pergi semakin memuncak.
Untuk itu ia pun menyeret tubuhnya keluar dari istana. Kakinya mungkin saja retak atau patah karena tertimpa kursi roda tadi. Telapak tangan kanannya juga remuk.
Sekuat tenaga ia keluar dari istana sampai berhasil sampai ke depan pintu gerbang istana. Tapi karena ia tidak bisa melihat, ia tidak tahu jika ada beberapa vampir yang lewat.
Belum sempat Aredric mengambil nafas karena terengah, tiba-tiba dadanya terasa sakit sekali.
“AAARRGGHH!”
“Manusia ini baunya persis seperti wanita itu.”
Aredric dengan sisa kesadarannya meraba dadanya sendiri. Ternyata ada benda yang menembus dadanya sampai ia lagi-lagi melayang di udara karena terangkat.
“AREDRIC!” Tiffa berteriak kalap sebelum mata Aredric kehilangan cahayanya.
Salah seorang vampir menancapkan tombak tepat di jantung Aredric. Dan ia pun langsung tewas seketika.
-Flashback Off-
Rivaille kini meraba dadanya setelah Tiffa bercerita. Itulah kenapa setiap kali ia dekat dengan Tiffa, dadanya terasa panas sekali. Setelah mendengar semua cerita itu, akhirnya ia mengerti bagaimana Tiffa berakhir seperti ini.
“Di masa lalu, kau adalah manusia keturunan Hyrion. Jika saja kau tahu bagaimana cara membangkitkan kekuatan itu, aku telah lama mati di tanganmu.” Ungkap Tiffa menggunakan mantra di atas lantai.
Rivaille menatap simbol yang dibuat Tiffa itu dengan seksama. Itu adalah simbol sederhana yang malah terkesan mirip seperti coretan aneh.
“Hyrion adalah satu-satunya keturunan yang diberi anugerah untuk menaklukkan kami para vampir… Tapi keturunan itu sudah lama musnah… Karena ulahku. Tapi mereka seharusnya sama seperti para vampir, tidak bisa bereinkarnasi.”
Tiffa mengamati perubahan ekspresi Rivaille saat ini. Seperti dugaannya, dia masih terlalu muda untuk memahami apa makna dari semua cerita yang sudah ia ceritakan.
Peperangan yang seharusnya tidak perlu lagi ada di zaman ini. Tiffa berharap cukuplah dirinya yang merasakan bagaimana pahitnya semua itu.
Ia ingin menghentikan Rivaille. Ia tidak bisa membiarkan masa mudanya hancur karena ambisi bodoH itu.
“Peperangan yang aku perbuat di masa lalu akan kembali terjadi di masa ini jika kau melanjutkan semua rencanamu, Rivaille… Kau akan mengulang masa lampau. Dan di masa ini kau yang menjadi aku.” Lanjutnya lagi.
Rivaille tertunduk. Benar apa yang dikatakan oleh Tiffa, semua yang dilakukannya ini akan membuatnya mengulang masa lalu yang mengerikan itu.
Butuh beberapa menit bagi Rivaille untuk berpikir. Namun Tiffa senantiasa menunggu jawaban itu.
“Aku akan menurutimu.” Ucapnya tegas.
Tiffa lantas tersenyum dan membelai kedua pipi Rivaille. Pria yang paling dicintainya sampai kapanpun itu ada dihadapannya. Wajahnya pun sama persis seperti Aredric di masa lalu.
“Maafkan aku tidak bisa mengatakan sejujurnya padamu di masa lalu. Maafkan aku tidak bisa melindungimu dengan baik. Kau boleh membenciku, tapi tetaplah disisiku….”
Rivaille tersentuh sekali dengan permintaan maaf Tiffa yang begitu tulus padanya. Tiffa meminta maaf sepenuh hati dan penuh penyesalan pada jiwa Aredric yang saat ini adalah Rivaille.
Ia mencium kening Rivaille dengan lembut. Lalu kedua matanya, kedua pipinya. Lalu terakhir bibir yang sengaja ia kecup lama.
Rivaille merasakannya. Kasih sayang dan cinta yang begitu besar untuknya. Mungkin saat ini ia seperti cangkang kosong. Tapi ketulusan Tiffa yang masih meletakkan dirinya jauh di lubuk hatinya itu akan mengisi cangkang kosong itu lagi.