Bab 20. Aroma yang Dikenal

1049 Words
Iefan dan Melvern saling melirik karena tidak mengerti dengan apa yang Vian katakan. Sejujurnya Iefan lebih tidak mengerti apa yang dilakukan vampir zaman dulu. Terutama Vian yang usianya bahkan lebih tua darinya. Pengalamannya tidak bisa diremehkan. “Maafkan aku, Tuan Yovanka. Tapi aku tidak mengerti. Apakah Lucifer musuh bebuyutan Nona Yovanka dulu?” Melvern bertanya sedikit ngeri dengan perubahan ekspresi Vian. Suasana langsung berubah drastis sampai tak terdengar lagi suara burung berkicau di gazebo belakang istana. Gelas vintage dengan ukiran halus berbentuk daun sulur dan burung bangau yang dipegang Vian tiba-tiba telah berubah menjadi abu. Emosinya tidak bisa lagi dikontrol mengingat bagaimana Lucifer memberikan kutukan itu pada kakaknya. Hari dimana untuk pertama kalinya Vian melihat kakaknya hampir mati mengenaskan. “Maafkan aku, Queen Heddwyn. Aku merusak cangkir cantikmu.” “O-oh! Tidak apa-apa, Tuan Yovanka.” Ujar Melvern terkejut sekaligus ngeri melihat cangkir porcelain di tangan Vian berubah menjadi abu. Sedangkan pria itu tampak mengelap tangannya yang berlumuran darah dengan santai. Cangkirnya menghilang, tapi tidak dengan isinya. Iefan sekarang menjadi ragu. Apakah tidak apa-apa membiarkan pria itu dengan kakaknya yang mengawasi Rivaille? Dia ragu istananya akan tetap utuh saat bangun dari hibernasi nanti. Beban pikirannya semakin bertambah sekarang. Salahnya juga kenapa sampai membawa dua vampir mengerikan itu ke istananya. -Kamar Tamu- Rivaile belum beranjak dari kamar tamu lantaran dia menemukan satu pekerjaan baru yang cukup membuang waktunya sampai tiga hari kedepan, yaitu menggambar. Sebuah buku dan sebatang pensil sudah ada di tangannya. Sketsa yang dibuat dengan Tiffa yang tengah hibernasi sebagai objek utamanya. Semuanya sengaja Rivaille buat sehalus mungkin dengan goresan pensil di atas kertas. Mulai dari rambutnya, bahkan sampai bulu mata lentik Tiffa juga tidak lepas dari pandangan Rivaille. Sesosok wanita yang tengah tertidur itu bagai malaikat dengan nuansa sedih nan kesepian. Itulah yang tergambar di atas kertas Rivaille. Membayangkan betapa membosankannya menunggu Tiffa bangun sampai tiga hari rasanya seperti menunggu dunia kiamat. Lama sekali. Padahal Rivaille sendiri tidak tahu akan mengatakan apa jika Tiffa sudah bangun nanti. Tangan Rivalille terhenti karena mulai bosan. Calon raja muda yang sedang bosan itu butuh sesuatu yang menarik saat ini. Mata merahnya membuka tutup dan kepalanya bertopang pada punggung tangannya. “Ck! Terlalu lama.” Ungkapnya kesal sendiri. Apakah ia perlu menendang ranjang sampai terbalik agar Tiffa bangun? Masalah satu lagi yang harus ia hadapi adalah vampir menjengkelkan itu. Setelah ini, pria itu pasti akan menunggu disini sampai matahari kembali terbit besok. Dan itu artinya, kesempatan Rivaille untuk melukis Tiffa semakin tipis. Sreet! Rivaille kaget sekali saat tiba-tiba Tiffa bergerak di atas ranjangnya. Dan tiba-tiba pula Rivaille bergerak cepat dan berdiri tepat di samping ranjang. Malaikat tidur itu tampaknya sangat menikmati hibernasi sampai bergerak dalam tidur. Andai saja Tiffa tahu bahwa Rivaille seperti tengah menunggu bintang jatuh menunggunya terbangun. Dan seandainya Rivaille tahu bahwa Tiffa sedang menari dengan riangnya karena bisa mencium aroma Rivaille dimana-mana. Sebagai vampir tertua, Tiffa bisa tetap mengandalkan panca indranya saat hibernasi. Berbeda dengan vampir biasa, biasanya mereka akan pasif selama hibernasi dan tidak akan bisa mengatasi bahaya. Tapi sudah hampir setengah jam aroma Rivaille tidak hilang dari penciumannya dan bahkan semakin tajam. Itulah kenapa Tiffa betah sekali hibernasi saat ini. Lupakan aroma menyengat Vian itu. Nanti ia akan menyuruh Vian untuk sering-sering mandi mawar agar aromanya tidak menyengat. Rivaille yang selalu penasaran itu sudah duduk di tepi ranjang dan dengan tangan yang gatal ingin menyentuh rambut Tiffa. Ingin rasanya ia memotong rambut indah itu dan mengoleksinya menjadi koleksi pribadi. ‘Kenapa ekspresinya seperti itu ketika pertama kali melihatku?’ Ya, Rivaille tidak akan lupa dengan reaksi fans fanatiknya kemarin. Dan kenapa juga ia merasa dadanya sedikit panas setiap kali ia memandangi wajah Tiffa. Semua itu masih menjadi tanda tanya besar saat ini. Karena merasa percuma menatap vampir hibernasi, Rivaille memilih untuk pergi ke kamarnya. Tapi na’asnya ketika sampai di depan kamar, sudah ada adik bungsunya yang menaik turunkan alisnya. Elunial berjalan sedikit melompat dan Rivaille bersumpah senyumannya itu seperti manusia kehilangan akal. “Kakak habis dari mana?” Tanya sambil menggosok hidungnya sedikit. Rivaille malas sekali menanggapi adiknya yang satu itu. “Bukan urusanmu.” Tapi bagi Elunial, perkataan pedas dan respon dingin kakaknya itu menarik minatnya sekali. Sengaja ia mengendus pakaian kakaknya sampai sang kakak menghentikan langkahnya. “Aku seperti kenal dengan aroma ini.” Rivaille melirik, lebih tepatnya mendelik sedangkan Elunial segera menjauh sampai menempel pada jendela. Mulutnya tidak tahan untuk mengusili kakaknya. Sayang sekali Eredith pergi tadi malam dan Elunial tidak ada teman bermain untuk melampiaskan keusilannya. “Aku tidak akan bilang pada ibu. Tapi ada syaratnya.” Elunial semakin menjauhkan jarak dari kakaknya karena aura merah yang keluar dari telapak tangan kakaknya. ‘Wuaah… Moodnya parah sekali pagi ini.’ Batinnya ngeri. Jika diteruskan, sudah pasti rohnya akan tercabut paksa. Elunial pun terpaksa berlari pergi menuju gazebo karena takut kakaknya akan mengiris tubuhnya tipis-tipis seperti chips kentang. “Haahh… Kalau tahu membosankan seperti ini, lebih baik aku ikut dengan Kak Ere. UAAHH!” BLARRR! Sebuah bola api menghantam dinding dan hampir saja membuat tubuhnya hangus. Koridor menuju taman belakang sukses berlubang dengan asap terbakar yang membuat satu kastil heboh sekali. Elunial menoleh ke belakang dan bola matanya hampir keluar karena kaget. “K-Kakak!” Pekiknya secepat mungkin kabur. “Elunial….” “Hiiiiyyy! A-ampun Kak! Aku tidak akan mengganggumu lagi! Lepaskan aku!” Teriaknya heboh. Rivaille hanya berjalan pelan mengikuti Elunial yang berlarian di koridor. Tapi bola api merah yang berterbangan membuat suasana koridor seperti tengah hujan meteor. Gorden sampai kusen jendela terbakar sempurna. “ADA APA INI?” Iefan dan Melvern langsung mendatangi lokasi. Dilihatnya pelayan wanita bersembunyi ketakutan di dekat meja kecil menghindari bola api ganas itu. “T-Tuan Muda mengamuk!” Pekiknya hampir membuat Melvern oleng. “RIvaille?!” Iefan ikut memekik sekaligus jengkel. “Oh anakku….” Dan Melvern segera berpegangan pada dinding. Apalagi yang terjadi? Kastil sungguh bisa roboh jika Rivaille dibiarkan menggila seperti ini. Iefan dengan bodohnya memilih untuk memeluk sang istri hampir meraung seperti orang gila. “Kita liburan ke Everst besok, okay?” Ucapnya mulai tidak waras. “Aku tendang kau dari sini sampai Everest! Cepat hentikan Rivaille!” Melvern gemas sendiri. Iefan dengan ogah-ogahan berlari mengejar kedua anaknya yang bertikai itu. Lubang-lubang di koridor yang seperti baru saja tertimpa bencana itu perlahan mengikis kewarasan Iefan. Persetan dengan kastil. “PERSETAN DENGAN HEDDWYN!” Teriaknya kalap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD