Bola-bola api merah terus saja berjatuhan bagai hujan. Elunial tidaklah bodoh untuk berhenti dan meminta ampun pada kakaknya. Bola api sebesar bola tenis itu memang tampak tak berbahaya, tapi daya ledakannya seperti buah semangka yang dijatuhkan dari ketinggian.
Dan Elunial sudah merasakannya dulu sampai hampir gila rasanya menyembuhkan bekas luka bakarnya. Sebulan penuh ia dirawat kakak keduanya di dalam kamar. Alasannya sepele saja. Elunial tidak sengaja menuangkan cangkir darah kakak pertamanya dengan kakak keduanya dengan darah kambing.
Padahal niatnya ingin mengusili Eredith, tapi kenapa malah salah sasaran dan hampir menimpa kakaknya.
“AMPUN KAK! AKU TIDAK AKAN MENGUSILIMU LAGI! AKU JANJI! AKU BERSUMPAH! PAMAN GRIFFIN JAMINANNYA!”
Griffin di dalam peti mati mungkin akan bangkit lagi jika mendengar keponakannya menggunakan namanya lagi sebagai jaminan. Tapi sayangnya permohonan ampun Elunial tidak didengar oleh Rivaille.
Karpet merah yang membentang di sepanjang koridor menyusahkan Elunial ketika berlari. Terkadang kakinya terpeleset dan hampir saja terkena bola api kakaknya. Persetan dengan hubungan saudara sedarah, Elunial merasa seperti kakak pertamanya tidak menyayanginya sama sekali.
BLAARR!
BLARR!
Serangan demi serangan berhasil Elunial hindari. Ia merasa kakaknya ini tengah menikmati pemandangan adiknya yang tengah berjuang bertahan hidup. Padahal Rivaille sengaja melakukan itu karena memang sedang bosan saja.
“Oh s**t!”
Karena kelelahan, Elunial memilih untuk pasrah saja dan menempel pada tembok sambil mencicit ketakutan. Sang kakak kini telah tiba di hadapannya. Eredith yang melihat ekspresi Elunial pasti akan tertawa terbahak-bahak.
“Kak, aku janji tidak akan menjahilimu lagi. Kali ini lepaskan aku. Bolehkan?”
Rivaille di mata adiknya seperti monster gila yang tengah kerasukan. Kenapa juga Elunial bisa punya kakak segila Rivaille? Menyalahkan ibunya juga tidak berani. Ini pasti karena gen dari ayahnya yang siaL itu. Atau bisa jadi sel laknaT dari para tetua.
Elunial akan mengutuk siapa saja yang menurunkan sifat menjengkelkan itu pada kakaknya nanti.
“Kau tidak akan memberitahukannya pada ibu.”
“Hah?” Elunial melongo sesaat.
‘Dia kenapa lagi?’ Batinnya merasa ikut gila. Lagipula itu pertanyaan atau pernyataan? Elunial yang memang kecerdasannya tidak seperti kakaknya persis seperti kera bodoH saat ini.
“Kau tidak akan memberitahukan apapun pada ibu.” Ucap Rivaille lagi. Elunial masih mencerna perkataan kakaknya. Memberitahukan apa? Demi langit dan bumi, ia bahkan lupa apa yang mereka bicarakan tadi.
Tapi delikan mata kakaknya semakin membuat Elunial semakin sulit berpikir.
“Hiiiyyy! Tidak akan! Aku tidak akan bicara apapun pada ibu! Aku janji!” Pekiknya lagi. Kakinya beringsut mundur karena kakaknya yang mendekat satu langkah ke arahnya.
“Bagus.”
Rivaille yang seenak jidatnya itu langsung pergi. Meninggalkan Elunial yang semakin bingung. Apakah kakinya masih berpijak pada tanah atau sudah melayang. Rasanya mengerikan sekali menghadapi kakaknya yang marah.
Sreett!
“Elunial!”
Sang ayah datang terlambat. Kastil mereka siap roboh sekarang.
Tenggorakn Elunial terasa kering sekali karena berteriak sejak tadi. Tiba-tiba kakaknya pergi, lalu tiba-tiba ayahnya yang datang. Semakin lama Elunial seperti jadi sasaran kekesalan orang-orang pagi ini.
“Apalagi Yah? Aku sedang tidak ingin mendengar ceramahmu pagi ini.” Ucapnya acuh.
Tapi Iefan juga acuh saja dan menarik teling Elunial untuk mengikutinya menghadap di ruang rapat.
Elunial bersumpah tidak akan mengganggu kakaknya lagi apapun kondisinya dan sebisa mungkin menghindarinya jika tidak ada Eredith.
Disisi lain, Vian tampak jengkel sekali berjalan menuju kamar tamu karena merasakan kakaknya kembali terbangun dari hibernasi. Gara-gara kelakuan tidak jelas anak siaL itu, Tiffa sudah pasti akan terbangun.
Pasalnya suara ledakan itu terdengar bertubi-tubi dan tentu saja Tiffa mengira kerajaan tengah diserang.
“Kali ini siapa?”
Vian menggaruk kepalanya seraya menutup pintu. Padahal baru saja ia membuka pintu dan sang kakak sudah berdiri menghadapnya.
“Tenang. Ini hanya ulah anak-anak nakal itu.” Ucapnya sambil mendorong kedua pundak kakaknya agar kembali duduk di atas ranjang.
“Bagaimana dengan Aredric? Apa dia terluka?”
Vian ingin sekali memukul kakaknya. Tapi karena ia sayang kakak dan sangat over-protective, ia menahan diri. Mungkin jika bumi terbelah dua baru kakaknya sadar jika adiknya ini sangat ingin diperhatikan.
“Ya. Dia sangat baik-baik saja. Menggunakan mantra api merah selama 15 menit untuk menghancurkan koridor. Dia sehat dan tampak prima.” Kata Vian yang mendadak seperti dokter.
“Syukurlah kalau begitu.” Vian malas sekali melihat kakaknya pagi ini.
“Kembali hibernasi. Dia tidak akan mati jika hanya kau tinggal selama tiga hari.”
Vian tiba-tiba berdiri dan langsung ada di depan pintu dengan tangan yang menahan kakaknya untuk pergi. Demi tuhan Aredric hampir menghancurkan kastil belakang dan Tiffa mengkhawatirkannya.
Seharusnya ia kasihan pada Iefan.
“Lepaskan aku, Vian. Aku harus menemuinya.”
Hal konyol apa sampai Tiffa berkewajiban untuk menemui Rivaille.
“Tidak. Kembali ke kamar sekarang. Dia tidak bisa ditemui saat ini karena sedang disidang.” Ucap Vian sengaja berbohong.
Tapi Vian langsung memaki kasar ketika sebuah cahaya biru merambat dari tangan sang kakak sampai ke tangannya juga.
“Tiffa! Kau-”
“Kau tunggu disini, Vian.”
Surai putih kakaknya pun menghilang dan hanya menyisakan kibaran gorden putih tipis yang diterpa angin lembut.
“SIAL!” Teriak Vian murka sekali.
Mantra biru yang membekukan tubuh. Vian tidak akan bisa menggerakkan anggota tubuhnya selama satu jam ke depan. Terkutuklah kakaknya yang b***k cinta itu.
-Kamar Rivaille-
Wajah Tiffa memang masih terlihat pucat sekali ketika ia berlari cepat menuju kamar Aredric. Dan mulai sekarang ia harus memanggilnya Rivaille karena di masa ini, Aredric bereinkarnasi menjadi sosok Rivaille.
Kemeja putih yang belum sempat ia ganti sejak kemarin itu tampak tipis sekali ketika terkena sinar matahari. Tiffa berhenti sejenak untuk melihat pemandangan lembah dari koridor. Sudah lama sekali rasanya tidak melihat pemandangan itu.
Ia juga meraba telapak tangannya yang sudah tidak sekasar dulu ketika masih sering berperang melawan vampir lain. Banyak sekali perubahan yang terjadi pada tubuh Tiffa seiring dengan berjalannya waktu.
Tiffa malas sekali mendengar ocehan Vian yang menyuruhnya untuk hibernasi. Ia dengar dengan jelas sampai hafal diluar kepala.
Ribuan tahun ia lewati sebagai siksaan dan hukuman atas kematian Aredric, lalu sekarang ia kembali dipertemukan. Rasanya seperti mimpi.
Tiba-tiba ia merasa Rivaille merasakan keberadaannya di sekitar kamarnya. Bibir tipis yang terlihat pucat itu tersenyum kecil.
“Kau sudah bangun?”
Tiffa tidak perlu mengajarkan Rivaille untuk bergerak cepat saat ini. Dari respon dan gerakannya saja sudah cukup untuk saat ini. Rivaille sekarang sudah di depan matanya.
“Kau terlalu berisik.”
Rasa panas di d**a Rivaille semakin terasa panas ketika mendengar suara lembut sang guru. Ia sempat heran sendiri bahkan terpaku ketika telapak nan lembut itu menyentuh pipinya.
“Kau menggunakan mantra apa padaku?”