Bab 22. Bocah Nakal

1023 Words
Rivaille menarik lengan Tiffa dengan pandangan mata yang begitu menuntut. Warna mata biru itu tampak palsu. Dan semua tatapan Tiffa tampak palsu bagi Rivaille. Juga senyumannya. "Kau memberi mantra padaku?" Tanyanya yakin sekali Tiffa memantrainya. Deretan gigi putih Rivaille bergemeretak menahan emosi. Rasa rindu yang berkecamuk di dalam dadanya membuat Tiffa sulit sekali berpikir. Rivaille dan Aredric memang satu jiwa yang sama. Tapi sifat mereka sangat berbeda. Aredric yang Tiffa kenal tidak mungkin berani bertanya dengan nada dingin padanya. "Kita bicara di tempat lain." Rivaille pun membawa Tiffa masuk ke dalam kamarnya. Tanpa aba-aba, Tiffa yang memang bergerak cepat dan sulit sekali diprediksi oleh Rivaille itu mendorongnya sampai ke atas ranjang. Sprei putih, selimut merah dan juga bantal bulu angsa yang lembut itu kembali berantakan. Rivaille dibuat seperti patung ketika wanita yang seharusnya memiliki keriput itu menindih tubuhnya di atas ranjang. Oh? Apakah ini akan jadi pagi pelepasan perjakanya? Rivaille senang-senang saja jika memang gurunya akan mengajari pelajaran reproduksi. Seperti teriakan ayahnya tadi, persetan dengan Heddwyn. "Diam seperti ini sebentar." Rivaille dibuat melayang dengan bisikan itu. Ribuan kupu-kupu seperti memenuhi perutnya dan adrenalinnya terpacu. Adegan romantis yang penuh keintiman di pagi hari. Senang rasanya kerusuhan pagi ini yang dibuatnya bisa membangunkan malaikat ganas ini. Sudah lama rasanya Tiffa tidak merasa sesenang ini. Pria yang selama ini berusaha ia hidupkan kembali ternyata telah ada di dunia dan hidup cukup lama. Bertaruh nyawa dan menggila seorang diri, lalu pria ini sekarang sudah cukup dewasa. Sudah berapa masa dilewati sampai Tiffa lupa tepatnya berapa tahun. Bibirnya mengecup dahi Rivaille lalu ke hidung. Kemudian beralih pada kedua pipi lalu terakhir pada bibir tipisnya. Kecupan itu rupanya membuat Rivaille tersentak sedikit. Karena takut Rivaille akan memberontak, sengaja Tiffa memberikan mantra froze pada Rivaille juga. Tapi tangan Rivaille yang tiba-tiba bergerak menarik lehernya langsung mengurungkan niatnya. Rivaille hilang arah dan kedua kakinya terasa mengencang karena tangannya yang nekat menarik leher sang guru untuk kembali saling menempelkan bibir. Yang membuatnya takjub adalah, Tiffa tidak menolak ciuman itu. Kecupan lembut yang perlahan bertambah dengan sedikit lumatan. Banyak yang Tiffa rasakan saat bibir mereka bersentuhan dari pria yang selama ini dicarinya. Perasaannya begitu dalam pada Aredric yang telah lama meninggalkannya. Yang telah lama mengisi relung hatinya. Dan masih bertahta di dalam sana sampai saat ini. Tiffa segera menghentikan kegiatan pagi itu dan sukses memberikan mantra froze pada Rivaille. Senyumnya mengerling nakal dengan senyuman yang membuat para kaum adam kehilangan kewarasan. "Kau masih terlalu muda untuk hal ini, bocah nakal." Rivaille terhenyak. Tidak ayahnya, pamannya, bahkan ibunya masih saja memperlakukannya seperti anak-anak. "Mantra apa ini?" Tanyanya masih kesal diejek anak kecil. Hey! Anak kecil mana yang berumur empat abad? "Kau akan mempelajarinya nanti." Tiffa kali ini turun dari ranjang dan mengamati kamar Rivaille. Susunan bukunya dan juga tatanan kamarnya. Untuk ukuran kamar, kamar ini terlalu biasa dan membosankan. Tapi Rivaille sedikit berjengit ketika Tiffa melangkah ke arah rak buku. Takut pintu rahasianya terendus oleh Tiffa. "Setelah aku diangkat menjadi raja, kau bisa langsung aktif mengajariku." Rivaille berusaha untuk tenang sambil mengalihkan perhatian wanita itu. Tiffa menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Itu adalah wajah batu yang pertama kali Rivaille lihat dari sosok Tiffa. Ia mengira memang seperti itu ekspresi aslinya. Ketika wanita itu berjalan kembali ke arah ranjang, Rivaille menatap ke arah lain karena wajah cantik Tiffa membuatnya gila sekali. Dilihat dari sisi manapun tetap saja cantik. Tiffa duduk di tepi ranjang dan melipat kakinya dengan pose memancing reptil buas. "Kalau kau berjanji untuk tidak menggangguku selama tiga hari, aku akan menjadi gurumu. Kalau tidak…." "Deal." Setelah penobatannya naik tahta sebagai raja selesai, Rivaille akan bertugas untuk mengatur pertahanan kerajaan dari pasukan yang ada. Lalu mengurus berbagai macam persiapan untuk menyerang kerajaan lain dalam waktu dekat. Ya. Mereka sudah terlalu lama mendekam di dalam lembah dan saat ini sudah saatnya Heddwyn memperluas daerah kekuasaan. Tapi masalah utama yang harus Rivaille hadapi adalah wanita ini. Rasanya tidak ada hewan buas manapun yang cocok untuk mendeskripsikan seperti apa Tiffa saat ini. Walaupun tampak biasa saja dari luar, tapi siapa yang mengira bahwa Tiffa mampu membalikkan kastil Heddwyn dengan satu jentikan jari saja? Lalu rencananya rentan sekali ketahuan olehnya. Rivaille berharap Eredith segera kembali dengan banyak informasi mengenai Tiffa sebelum terlambat. Tiffa masih saja tersenyum walaupun Rivaille enggan menatapnya. Semua yang ada di kerajaan Heddwyn tampaknya hasil perbuatan pria muda ini. Ruang bawah tanah dan juga lorong rahasia. Manis sekali melihat Rivaille yang berbohong dan sedikit panik ketika ia berdiri di depan lorong rahasia. Mantra darah memang sulit ditembus. Tapi walaupun samar, Tiffa bisa merasakannya. Dimana posisinya dan seberapa besar tempat yang disembunyikan. Rupanya Rivaille tengah merencanakan sesuatu tanpa sepengetahuan keluarganya. 'Dasar anak nakal. Awas saja kau nanti.' Batin Tiffa sudah siap menjahilinya nanti. "Jangan bertingkah konyol selagi aku hibernasi. Aku bisa menyiksamu jika kau berani." Rivaille mulai mengira-ngira sendiri hukuman apa yang akan Tiffa berikan padanya jika melanggar. Ia lantas menelan ludahnya sedikit sulit mengingat kejadian gila di depan ayahnya kemarin. Ia lupa bahwa wanita ini aslinya sangat m***m. Jangan sampai Tiffa menggerayangi tubuhnya lagi dengan mantra laknaT itu. "Aku mengerti." Tiffa tersenyum manis sekali lalu melepaskan mantranya dari Rivaille. Ia sekarang harus berhati-hati karena Aredric yang sekarang jelas sedang bersiap melakukan sesuatu. Tiffa sudah bisa menebak akan seperti apa Heddwyn setelah bocah itu naik tahta. Rivaille yang mengira Tiffa tidak tahu tentang sesuatu tentang tempat rahasia itu sedikit percaya diri. Tapi pikirannya sekarang bercabang dan mulai tergoyahkan setelah melihat pesona Tiffa. “Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku….” Tiffa segera kembali ke kamarnya. Disana telah ada Vian tentunya yang sudah duduk menyandar khas bapak mafia. Melipat kaki dan dagunya terangkat tinggi. Ia menatap kedatangan Tiffa dengan ekspresi serius sekali. "Bocah itu yang membuat barier di bawah tanah. Jalan menuju ke ruang bawah tanah ada di kamarnya dan … mantra darah tingkat tiga." Vian cuek saja. Melihat kakaknya berjalan ke arah jendela lalu melamun disana seperti kebiasaannya ketika di Amerika. Padahal seharusnya sang kakak tampak senang, bahagia dan merasa seperti vampir paling beruntung sedunia setelah bertemu kekasihnya. Tapi ekspresinya datar saja saat ini. "Apa dia tikus pondok? Kenapa tidak ada yang tahu ada ruang bawah tanah di bawah kastil ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD