Bab 23. Dongeng Orang Zaman Dulu

1015 Words
Tanya Vian sanksi dengan bangsawan Heddwyn. Bodohnya sampai tulang ekor. Tiffa duduk di tepi ranjang. Tolong jangan tanyakan hal itu padanya. Ia lebih tidak mengerti lagi dengan bangsawan vampir yang mulai mengalami kemunduran seperti ini. Ia bukan dewa, tapi berada di kastil ini sehari saja Tiffa seperti dewa karena perbedaan kekuatan. "Selama kau tidak ada di kamar, bocah itu menyelinap masuk." Vian mulai tidak mengerti kenapa bocah itu bisa masuk ke dalam kamar semudah itu. "Aku memasang barier saat kau hibernasi. Tidak mungkin dia bisa mendekat." Ya. Tapi sayangnya Vian lupa jika Tiffa sudah memberikan mantra barier itu pada Rivaille kemarin. Dan sekarang apa rencana mereka di kerajaan ini? Diam mengamati atau ikut campur saja? Tiffa takut salah mengambil langkah. "Setelah penobatan nanti, akan ada sesuatu terjadi. Cari vampir yang bisa membaca masa depan di kastil ini. Jika tidak ada, pergi keluar dan bawa kemari." Tiffa memberi perintah pada Vian. "Benar, ada baiknya kita berjaga-jaga disini jika sesuatu terjadi." Ucap Vian setuju dengan saran kakaknya. Lantaran mereka berdua tidak tahu apa yang ada di dalam ruang bawah tanah. Jika bukan sesuatu yang besar, untuk apa sampai menutupinya dengan mantra darah bukan? "Asal kau tahu saja, Vian. Rivaille tahu kondisiku saat ini. Jika dia tahu kita sudah tahu semua rencananya, kemungkinan terburuk kita akan bertarung disini." Vian sempat mengira telinganya salah dengar. "What? Dia sudah tahu kau sedang sekarat?! Lebih baik aku habisi saja bocah i-" Vian terdiam. Tiffa tidak lagi ingin menambah masalah. Mata iblisnya yang ditampakkan membuat Vian kehilangan kata-kata untuk membela diri. Untuk sekarang ini baik Vian dan Tiffa tidak punya pilihan lain selain mengumpulkan tenaga dan bersiap-siap. 'Aredric… Apakah ini sungguh dirimu?' -Moscow- Di sebuah terowongan jembatan bekas jalur kereta yang sudah terbengkalai. Malam bersalju di tengah badai mengharuskan semua manusia mendekam di dalam rumah. Tapi tidak untuk sekumpulan pria dan wanita yang berkumpul di bawah kolong jembatan ini. Mata merah menyala dan gigi taring yang runcing bagai baru saja di asah itu menggeram marah. "Dia sudah pindah." Ucap wanita yang mengenakan jaket bulu putih tebal. Beberapa pria yang juga sama mengenakan jaket tebal itu berdiri membuat lingkaran seperti tengah berdiskusi. Salah satu pria yang memiliki banyak tindik di wajahnya itu menggeram marah. "Tidak ada petunjuk kemana dia pergi?" "Ada bangsawan lain yang mengejarnya ketika kami mencari tahu. Gedung tempat vampir itu tinggal telah diserang. Tapi sayangnya tidak ada saksi yang bisa menjelaskannya." Wanita itu kembali menjelaskan. Matanya tidak berani melirik atau menatap ke arah lain karena takut dicap penipu. "McQueen, ini vampir pengguna mantra penghapus ingatan." Pria berambut pirang yang berdiri di samping pria bertindik tadi tiba-tiba menyahut. Suasana redup dengan lampu bohlam kuning yang remang-remang menjadi satu-satunya cahaya yang menerangi sekumpulan itu. Berbagai macam ras dan keahlian para vampir disana berkumpul menjadi satu. Pria yang dipanggil McQueen tadi terhenyak karena semakin banyak vampir yang punya anugerah kekuatan yang unik. Ekspresi wajahnya yang tampak marah itu membuat seluruh vampir disana ketakutan sekali. "Teruskan mencari keberaraannya, Louisa. Keturunan Yovanka harus musnah dari muka bumi. Demi yang maha agung Xandes!" "DEMI YANG MAHA AGUNG XANDES!" Semua vampir langsung membubarkan diri setelah menyuarakan dan mengagungkan Xandez. Hanya McQueen yang tersisa disana seorang diri. Lampu bohlam yang tadinya menyala kini telah padam seutuhnya. Di dalam kegelapan, mata merah menyala itu tampak kontras dengan kegelapan. Geraman murka dan teriakan keras memancing serigala liar melonglong. Teredam oleh kedapnya badai besar dan menyisakan kebencian yang teramat sangat di bawah terowongan. -Heddwyn Castle- Rivaille masih berkutat di dalam kamarnya untuk menyusun strategi berperang setelah ia menjadi raja nanti. Peta yang terbentang di atas meja sudah banyak lingkaran merah setelah Rivaille menandainya. Tuk tuk Dikeheningan itu, terdengar suara pintu kamar yang diketuk pelan. Rivaille bisa merasakan siapa yang ada di depan pintunya itu memicingkan matanya tajam ke arah pintu. "Masuk." Pintu pun terbuka dan muncullah Eredith dengan wajah pucat sekali. Rivaille tentu saja langsung mengerutkan alisnya semakin dalam karena tidak biasanya sang adik menampilkan ekspresi seperti itu. "Kak, aku kembali." Eredith memasuki kamar sang kakak. Tubuhnya sedikit merinding ketika ia meletakkan sebuah buku di atas kertas peta kakaknya. Rahangnya terasa kaku sekali saat berusaha menjelaskannya. Ia berjalan menuruni lembah dengan kedua lutut yang lemas. Berharap kakaknya bisa segera mengambil tindakan setelah tahu informasi yang ia dapatkan. "Ini adalah buku yang aku curi dari kerajaan Velenad di Australia. Aku menghubungi koneksiku yang ada di Coober Pedy dan menemukan ini. Bacalah Kak… A-aku tidak sanggup menjelaskannya." Rivaille mengambil buku itu sedangkan Eredith duduk di kursi sambil menutup mulutnya dengan tatapan khawatir menatap sang kakak. Ia menatap sampul buku berwarna cokelat yang dilapisi kulit tua. Ketika tangannya bergerak untuk membuka isinya, Rivaille menahan nafasnya karena halaman pertamanya yang menampilkan sebuah sketsa dua orang disana. Eredith juga sudah bisa menebak bahwa kakaknya akan sangat terkejut dengan isi dari buku itu. “Aku sudah mencari tahu semua itu dari banyak buku disana. Dan semuanya menjelaskan hal yang sama seperti di buku ini.” Eredith merasakan tangan gemetar sekali. Rivaille sendiri tidak bisa berkata-kata sampai secara tidak sadar matanya berubah menjadi hitam. Apapun yang ia lihat di dalam buku itu, Rivaille mengenalinya sekali siapa sosok itu. “Dulu, sebelum kaum vampir tercipta. Ada sebuah kisah dongeng yang menjadi legenda di kalangan orang-orang terdahulu. Tiga keturunan Cleis, Losirous, Xandes dan Yovanka. Mereka tiga bersaudara dari satu ibu yang diusir dari kayangan… Demi tuhan aku berani bertaruh wanita itu adalah orang yang sama seperti di gambar sketsa itu.” Eredith merasa tubuhnya menggigil sekali karena ketakutan setengah mati dengan semua informasi yang ada di dalam buku itu. Rivaille sendiri berusaha untuk tidak percaya. Tapi sosok di dalam sketsa itu sungguh Tiffa. Wanita yang memegang sebuah pedang samar dan juga seorang pria di belakangnya. Vian Yovanka. “Ceritakan padaku dongeng itu.” Rivaille meminta pada adiknya untuk tetap disana dan menceritakan secara detail tentang keturunan Cleis ini. Tidak memperdulikan Eredith yang sudah ketakutan sampai menggigil. “Cerita masih simpang siur dari yang aku baca di banyak buku dan banyak sumber yang masih tidak jelas. Tapi dulu sebelum kemusnahan dan peperangan besar terjadi, Yovanka menguasai hampir seluruh kepulauan. Sedangkan kedua saudaranya yang lain tidak jelas keberadaannya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD