Bab 76. Wejangan

1115 Words
Vian menoleh pada Griffin dan tersenyum kecil. Ia justru senang kakaknya bisa hibernasi lebih lama dari waktu yang ia perkirakan. “Semakin lama kakakku hibernasi, dia akan semakin sehat.” Sayangnya Griffin tidak sependapat dengan Vian kali ini. Ia teringat dengan Rivaille. Setelah peperangan kemarin dan selamat dari kematian, ia sibuk berlatih seperti orang gila. Untung saja yang diminta menjadi guru adalah Legardo. Bukan dirinya. Dan selama setahun juga perkembangan kekuatannya sangat signifikan. Terlebih siang dan malam Rivaille berlatih keras tanpa henti. Bahkan tanpa meminta lagi, ia sekarang mencari makan sendiri. Tapi sayangnya dari ekspresi keponakannya itu, Griffin tahu Rivaille tidak menikmati itu semua. Ia yang bertambah kuat dan terlatih itu tidak membuatnya puas. “Kemana bocah itu sekarang?” Griffin berhenti menatap langit dan menoleh pada semua yang tampak menikmati teh masing-masing. Elunial menggeleng tidak tahu. “Katanya pergi ke Rjukan sebentar untuk melihat kastil.” Eredith menyahut, tapi matanya tidak lepas dari TV. Vian masih diam ketika Iefan dan Griffin diam-diam curi pandang ke arahnya. Tapi karena Griffin adalah pria yang tidak bisa diam karena masalah keponakannya yang menghantui pikirannya. Ia berdiri dari kursinya. “Vian, kita bicara sebentar.” Vian sengaja menghirup tehnya sedikit lama sebelum ia menghabiskannya. Membiarkan Griffin keluar dari ruang tengah lebih dulu. Dan saat ia berdiri, ia melirik Iefan dan memberinya kode untuk mengikutinya juga. Griffin telah menunggu di taman raya Kongsberg. Menyaksikan orang berlalu lalang menatapnya berdiri di bawah pohon. Vian dan Iefan menghampiri. “Apa hubungan Tiffa dan Rivaille baik-baik saja?” Griffin langsung bertanya pada inti. Vian sebenarnya juga tidak tahu. Tapi melihat Rivaille yang tiba-tiba berubah dingin saat berada di dekatnya, Vian merasa Rivaille punya masalah dengan dirinya. “Sejak perang kemarin, bocah itu tidak pernah menemui Tiffa lagi. Aku juga tidak tahu kenapa dia bersikap dingin padaku.” Iefan menatap Griffin sebentar. Apakah mereka berdua harus mengatakan hal sensitif itu pada Vian? Tapi rasanya tidak nyaman saja membicarakan hubungan percintaan seperti itu. Vian menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Ia tahu Iefan dan Griffin tahu sesuatu. Karena jika hubungan kakaknya dengan Rivaille bermasalah, kedepannya akan semakin menyulitkannya sebagai pihak penengah. “Katakan saja.” Griffin menggaruk kepalanya. Seharusnya ia tidak perlu ikut campur dalam urusan percintaan keponakannya. “Kakakmu hanya mencintai Aredric, bukan Rivaille.” Vian menatap udara kosong di depannya. Kalau ternyata seperti itu, ia sendiri juga tidak bisa membantu. Vian lantas memainkan lidahnya sedikit. Bibirnya tiba-tiba terasa kering sekarang. “Apa yang bocah itu katakan?” Griffin menyenggol Iefan, sengaja karena ia tidak mau mengatakannya. Sedang Iefan langsung canggung, Griffin seenak hati melempar tanggung jawab padanya. “Intinya seperti itu. Aku tidak bisa berkata lebih karena terlalu sensitif.” Vian termenung sejenak. Matahari terik siang ini memang terasa menyengat kulit. Rindangnya pohon tempat mereka berteduh masih sedikit menebarkan hawa panas dari terik matahari. Walaupun hanya vampir bangsawan yang bisa berjalan kesana-kemari saat terik matahari, tatapan manusia masih saling mewaspadai. Vian jadi berpikir apa sebaiknya ia menemui Rivaille saja dan mendengarkan semua keluh kesahnya. “Kakakku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Cinta pertamanya tewas mengenaskan di tangan musuh… Mungkin rasa yang dimilikinya masih sama. Tapi tidak semua makhluk bisa bertahan setelah orang yang dicintainya mati.” Perkataan Vian membuka pikiran Iefan. Selama ini ia sangat mencintai Melvern dan berharap mereka tidak akan berpisah selamanya. Dan tentu saja sulit untuk merelakannya mati di masa depan. Sedangkan Tiffa… Entahlah. Iefan rasa percakapan berdasarkan logika mereka tidak cocok untuk masalah Rivaille dan Tiffa. “Bisakah kalian berdua bicara dengannya? Seharusnya kalian mengerti bagaimana perasaan kakakku sekarang. Aku akan mencoba memberi pengertian pada kakakku setelah ia terbangun nanti.” Dan setelah percakapan itu, mereka bertiga kembali ke kastil. -Heddwyn Castle- Para pekerja konstruksi sibuk bekerja di kastil Heddwyn. Tidak ada reruntuhan lagi yang terlihat. Tapi puing-puing bekas peperangan kemarin masih terlihat di beberapa tempat. Di bukit depan kastil, Rivaille berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket kulit hitamnya. Sudah seharian penuh ia berdiri dan memantau perkembangan pembangunan. Ruang bawah tanah miliknya kini telah ditimbun kembali. Tiffa juga sudah dipindahkan ke kastil Alereria sehari setelah peperangan. Dan yang tersisa di Heddwyn hanya ruangan kosong. Sama seperti yang Rivaille rasakan saat ini. Sudah setahun sejak Tiffa hibernasi. Dan sudah setahun juga Rivaille mencoba untuk melupakannya. Berharap ia bisa berhenti mengharapkannya bangun dan berhenti memberinya ruang di dalam hatinya. Rivaille sampai berharap Tiffa tidak akan bangun lagi karena takut hatinya akan kembali goyah. Disaat ia tengah melamun, Rivaille berkedip beberapa kali ketika sang ayah ikut menyusulnya kemari. “Kita bicara sebentar.” Rivaille bergeming. Ia tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini. Tapi sayangnya Iefan memaksa dan menarik tangannya untuk duduk di atas batu. “Aku sudah bicara dengan Vian… Dia akan coba bertanya pada Tiffa setelah ia terbangun nanti.” Suara Iefan melembut. Rivaille menyentuh keningnya dan beberapa kali ia mengusapnya. Desisan kesal dan ekspresinya yang tampak tertekan membuat Iefan harus ekstra lembut lagi. “Apakah kau pernah memikirkan perasaan Tiffa? Sedikit saja.” Rivaille dengan kasar menoleh dan melotot tajam pada ayahnya. “Memikirkan perasaannya? Apa dia pernah memikirkan perasaanku juga? Setiap saat aku memikirkannya… Bahkan sampai sekarang. Ribuan kali aku sudah mencoba untuk memakluminya… Tapi sulit.” Rivaille akui ia masih lemah. Pria melankolis yang menangis karena wanita. Ia sadar dirinya tidaklah sejantan Aredric di masa lalu. Ia hanya bocah yang tidak akan pernah bisa dewasa. “Cobalah bicara dengannya sekali setelah ia sadar. Kau hanya akan terus menderita jika memendam semua sakit hatimu seorang diri.” Ya. Itulah wejangan yang terakhir kali Rivaille dengar dari ayahnya. -Lima tahun kemudian- Beberapa tahun berlalu, Rivaille duduk di dalam kamarnya dan tenggelam bersama buku-buku di lemarinya. Setelah empat tahun menunggu kastil Heddwyn selesai di bangun, akhirnya ia bersama anggota keluarga yang lain bisa menikmati bangunan baru. Tidak ada kastil seperti zaman dulu. Tanah seluas sepuluh hektar itu kini telah berubah sepenuhnya menjadi vila mewah di pinggir danau. Bahkan sampai isi rumah yang juga sama mewahnya ikut meramaikan list pengeluaran Heddwyn selama pembangunan. Dan mereka semua kini bisa menikmati suasana tenang seperti manusia di zaman modern ini. Termasuk Rivaille yang punya perpustakaan pribadi di dalam kamarnya. Berbeda dengan kamar para anggota keluarga yang lain, Rivaille memilih untuk membuat rumah kecil di seberang danau. Tidak ada ruang tamu, tidak ada ruang berkumpul. Hanya ada kamar saja. Kamar mandi juga sengaja hanya diberi sekat kaca dan bathtub yang mengarah langsung ke arah danau berkabut. Di dalam rumah dengan kamar yang luas itu, hanya Elunial dan Eredith yang sering berkunjung. Walaupun hanya ingin menumpang bermain game atau kabur dari ibunya. Seperti halnya yang dilakukan Elunial malam ini. Lampu warm white di kamar Rivaille tampak membuat Elunial nyaman dan betah berlama-lama disana. “Kenapa kau tidak bermain game saja di kamarmu sendiri?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD