Tiffa menggantungkan pertanyaan yang paling sensitif bagi Vian. Mendengar namanya disebut saja emosinya langsung sampai ke ubun-ubun kepala.
Rivaille juga tiba-tiba saja ikut memikirkan makhluk itu.
"Dimana dia tinggal selama ini?" Vian mendesis tidak suka dengan pertanyaan Rivaille.
"Makhluk pengecut dan angkuh sepertinya tidak perlu ditakutkan." Tapi Tiffa tidak bisa tidak memikirkannya.
"Sesekali pikirkanlah sejenak, Vian. Apa alasan dia muncul waktu itu dan membuatku menderita sampai sekarang." Vian kini menggeram karena benci sekali mengingat makhluk itu telah menyiksa kakaknya sampai sekarang.
"...."
Tapi Vian memilih untuk pergi. Tidak ingin membahas Lucifer lebih jauh lagi. Setelah langkah kaki Vian tidak lagi terdengar, Tiffa turun dari ranjang lalu berjalan ke depan cermin.
Singlet putih dan celana hotpants berwarna hijau army yang dikenakannya jelas memperlihatkan lekuk tubuhnya. Pinggulnya melebar dan perutnya juga mulai membuncit.
Tapi alih-alih kesal dengan bentuk tubuhnya yang berubah, pipi Tiffa malah bersemu karena memikirkan ia akan lebih gendut lagi saat hamil besar.
Awalnya saja ia merasa bahagia. Dan tiba-tiba moodnya langsung berubah kesal karena memikirkan Lucifer. Rivaille yang sejak tadi memperhatikan pun heran.
Tiffa yang mudah berganti emosi, ia juga yang harus membantunya agar tidak stres. Ia masih kesulitan menyesuaikan diri dengan mood wanita.
“Kau akan tetap cantik walaupun kau gemuk.”
Rivaille memuji dengan penuh perasaan. Tapi Tiffa menoleh dengan mata mendelik marah. Rivaille langsung menyentuh mulutnya karena pasti ia salah bicara.
“Kau mengejekku?”
“Tidak, aku memujimu.”
Dan Rivaille akan mengunci mulutnya rapat-rapat agar Tiffa tidak tersinggung lagi dengan perkataannya.
Sebenarnya ia senang sekali karena Tiffa berkeinginan untuk punya bayi. Dalam waktu dekat juga mereka akan menikah. Dan ia akan bersama dengan Tiffa sampai akhir hayat.
Tiffa yang masih merajuk di seberang meja tampak berpura-pura sibuk membaca buku. Padahal Rivaille tahu dia sedang ingin dibujuk.
“Kemarilah, jangan marah lagi.”
Dan Tiffa pun langsung jinak seperti kucing bertemu majikannya. Ia bergelayut manja sambil memeluk leher Rivaille ketika digendong.
“Jangan tanya lagi bagaimana aku makan dan jangan pernah singgung perubahan tubuhku… Itu sangat sensitif.” Ucap Tiffa yang nada merajuknya membuat Rivaille ingin menerkamnya sampai pagi.
“Aku akan peringatkan pada yang lain.” Tiffa mengangguk.
-Sebulan kemudian-
Persiapan untuk pesta pernikahan hampir selesai. Villa megah nan mewah milik Heddwyn telah dihias dengan berbagai macam bunga khas pernikahan.
Halaman depan yang hijau juga telah ditata dengan kursi ukiran besi berwarna hitam. Tiang-tiang berdiri kokoh menopang helai kain putih yang melambai lembut tertiup angin.
Bunga wisteria putih menggantung dan beberapa lampu warm white yang dililitkan pada semua tiang. Tak lupa panggung kecil yang menjadi spot paling menarik disana.
“Kenapa lampunya belum terpasang semua?”
“Itu tugas paman Griffin!”
Elunial berteriak dari belakang panggung. Kerutan di dahi Melvern langsung menukik tajam berbentuk siku.
“Griffin!”
Eredith yang tengah menarik kabel terperanjat kaget mendengar teriakan ibunya. Suaranya keras sekali sampai burung-burung pagi yang bertengger di pohon berterbangan.
"Ck!"
Asura yang baru saja tiba membawa dua balok kayu panjang jelas saja berdecak kesal. Ia tadi datang bersama dua kupu-kupu cantik. Dan sekarang kupu-kupunya langsung mati akibat teriakan Melvern.
Brugh!
Balok kayu tadi ia jatuhkan begitu saja di tengah jalan. Pria yang diteriaki itu tampak santai sekali rebahan di atas kursi sambil menggigiti ujung batang rumput.
"Jangan hancurkan moodku pagi ini, Griffin." Asura tidak ingin bercanda dengan amukan wanita pagi ini.
Santai sekali pamannya ini. Semuanya sibuk membantu mendekorasi sedangkan hanya dia yang tidak melakukan apapun. Apakah rasa rumput seenak itu sampai dia enggan membantu?
"Aku sedang istirahat. Jangan ganggu aku."
Asura ingin sekali melompat dan membanting kepala Griffin ke batu beton terdekat. Sayangnya dua balok kayu di dekat kakinya ini tidak akan membuatnya gegar otak jika dipukulkan ke kepalanya.
"Ck! Terserah kau sa-Uwaagh!"
DUAGH!
BRAK!
Tubuh Griffin menghantam pohon sampai tumbang setelah terkena tendangan kuat dari Melvern. Dan yang paling menyakitkan adalah kepala yang ditendang.
Jika tulang kering atau area perut masih lumayan tidak terlalu terasa sakitnya. Melvern yang marah memang mengerikan.
Jangan tanya bagaimana kondisinya, Asura segera mengangkat balok kayunya lagi. Takut Melvern melampiaskan amarah padanya juga.
Dan setelah keributan pagi tadi, suasana kembali tenang. Semua anggota keluarga sibuk sekali pagi itu. Terutama untuk tim dekorasi panggung yang dipimpin oleh Melvern langsung.
Elunial berulang kali mengeluh karena hampir sepuluh kali memindahkan pot bunga ke tempat yang sama. Sedangkan Legardo sibuk di dapur membuat makanan bersama Vian.
"Sebenarnya untuk apa kita membuat kue pengantin? Siapa yang mau memakan makanan ini?" Legardo mengeluh untuk yang kesekian kalinya pada Vian.
Ia yang harga dirinya tinggi itu harus berkutat di dapur membuat kue pengantin. Mengenakan celemek putih dengan banyak adonan cream yang tumpah.
Kakek berotot yang seperti salah pergaulan sampai berakhir di dapur mengocok telur. Vian juga ingin mengumpat karena kakek tua yang suka sekali mengeluh ini.
“Kita harus berbaur dengan manusia. Villa mewah kalian ini sudah menjadi sorotan dan tidak mungkin kalian diam saja tanpa menyapa manusia disekitar.”
Legardo yang bosan mengocok telur sedikit membanting baskom stainles di atas meja. Bersamaan dengan bunyi timer oven yang selesai.
“Tapi aku sangat tidak cocok di bidang ini. Kau-astaga… Dimana harga diriku membuat kue pernikahan di dapur. Sedangkan ada dua bocah yang senang bermain-main di halaman.” Ucapnya berkacak pinggang ingin meremas baskom yang ada.
“Ck! Jangan banyak mengeluh, kakek tua. Anggap saja ini demi cicitmu yang akan segera lahir.” Kata Vian sambil mengeluarkan kue dari dalam oven.
“Tapi pengorbanan buyut tua tidak seperti ini. Bagaimana jika cicitku laki-laki? Ini sangat memalukan!”
Vian yang kini melanjutkan mendekorasi kue tanpa sengaja meremas plastik cream sedikit kuat. Cream berwarna putih itu langsung menyiprat mengotori meja.
“Ck! Berengsek!” Vian memaki kasar kali ini. Karena kakek tua tukang mengeluh ini, konsentrasinya buyar.
Memangnya ia pikir Vian mau melakukan hal ini? Demi tuhan celemek yang ia kenakan bahkan lebih memalukan dari celemeknya yang putih polos.
“Kau lihat gambar apa di celemek merah jambu ini?” Tanyanya dengan nada super mengancam.
Legardo ciut dan segera ia melanjutkan mengocok telur. Celemek merah jambu bergambar kelinci berkacamata itu sudah sangat memalukan jika dipakai.
Ya. Vian pria yang jauh lebih sabar darinya. Memanggang kue, mendekor kue, dan menata bunga. Legardo akan berhenti mengeluh mulai dari sekarang.
“Kalau bukan karena aku terlalu sayang dengan kakakku, tidak sudi sekali aku menginjakkan kaki di dapur.” Vian jadi ikut berkeluh kesah. Legardo detik itu juga ingin sekali bertaubat.
“Maaf. Aku tidak bermaksud begitu.” Tapi Vian melempar plastik cream tadi ke dalam mangkuk dan duduk seperti orang terlilit hutang 10 triliun.
“Pergilah. Bantu yang lain menata panggung.” Legardo jadi tidak enak setelah mengeluh ini itu.
“Aku akan disini untuk membantumu.”
“Tidak perlu. Aku akan kerjakan sendiri.”
Legardo sekarang merasa seperti pria tua paling menyebalkan. Kasihan sekali Vian harus mengerjakan ini semua sendirian. Belum lagi ketika ia mengelap kedua tangannya, Vian tampak mengambil rokok dari saku celananya.
Dia merokok di dapur sambil mengecek telur di keranjang bawah. Setelah Legardo pergi, Vian tiba-tiba terlena ingin melamun sebentar sambil menenangkan emosi.
‘Setelah Tiffa menikah, dia akan terus bersama Rivaille dan perlahan melupakan aku. Adik sepertiku sama sekali tidak berharga diperjuangkan.’ Batinnya sekejap merasa sengsara seorang diri.
Vian berharap kakaknya tidak akan lupa dengan semua kenangan mereka bersama selama ini. Ia terlalu mencintai kakaknya. Bukan cinta karena makna cinta, tapi kasih sayang yang melebihi segalanya.
Saat Vian mengecek telur sambil melamun, Melvern datang dan segera memakai celemek.
“Aku akan menggantikan Legardo. Apa yang harus aku lakukan sekarang?”