Bab 83. Lengkingan

1138 Words
Vian sengaja tidak merespon walaupun tahu Legardo akan meminta Melvern untuk membantunya di dapur. Tapi Melvern yang merasa suasana dapur sedang suram menjilat bibirnya yang kering. Sore nanti akan jadi pelengkap sejarah bangsawan Heddwyn dengan Yovanka. Dan Vian sudah pasti akan sedih kakaknya melepas masa lajang. Karena kondisi meja dapur yang berantakan, Melvern berinisiatif untuk membersihkannya dulu selagi menunggu Vian memberikan perintah. “Apakah kau sedang sedih? Wajahmu suram sekali hari ini.” Melvern membuka percakapan dan sedikit canggung karena lama di dalam keheningan. “Tentu saja aku sedang sedih. Kakakku akan menikah hari ini dan patah hatiku semakin dalam setiap detiknya.” Vian berdiri tiba-tiba sambil menginjak rokoknya di lantai. Tapi Melvern ikut tersenyum karena candaan Vian. “Maafkan anakku yang merebut cinta pertamamu.” Vian mendengus kecil. Sepertinya Melvern salah paham dengannya. Ia sungguhan sedang sedih, tapi karena ia biasa berbicara santai. Sekarang yang lain menganggapnya sedang bercanda. “Sepertinya Anda senang sekali aku menderita ya.” Melvern berpura-pura memasang ekspresi terkejutnya. “Oh benarkah? Aku rasa tidak seperti itu.” Vian memutar matanya malas. Cake yang baru dipanggangnya tadi sudah cukup dingin untuk dikeluarkan dari loyang. Melvern masih membersihkan meja dengan mata terus memperhatikan cupcake yang beberapa sudah dihias. “Apakah nanti akan banyak anak kecil? Cupcake ini banyak sekali.” Melvern dengan santainya mengambil satu yang belum dihias dan memakannya. “Manis.” “Aku sudah menghitung jumlah anak yang datang nanti. Jadi seharusnya cukup untuk semua anak-anak.” Melvern tersenyum dengan mata berkaca-kaca karena terharu. “Kau memang menyukai anak-anak ya.” Vian tersenyum dan meletakkan lap bersih di atas meja. “Tentu saja aku suka. Darah mereka masih sangat bersih, tulang mereka pas untuk dikunyah karena tidak terlalu keras. Dan daging mereka lembut saat dikunyah. Mereka makanan terenak di dunia.” Melvern jadi kehilangan selera setelah Vian membahas hal sedetail itu. Semaniaknya ia menjadi vampir, baru sekarang ia bertemu vampir yang lebih maniak dari apapun. “Kau tidak bermaksud untuk memakan semua para tamu undangan kan?” Vian langsung tertawa. Mana mungkin ia bertingkah tidak terhormat seperti itu. “Tenang saja. Selera makanku ini sangat berkelas.” Melvern tidak ingin memuji lagi karena selera humor Vian berbeda dengan vampir di zaman sekarang. Setelah mengelap meja, ia jadi bingung harus melakukan apa. Ia tidak pernah memasak atau membuat sesuatu di dapur sebelumnya. “Erm… Kau bisa memintaku untuk membantu, Vian.” Ucapnya yang ditangkap jelas Vian. Ia tahu betul apa yang akan terjadi jika Melvern membantunya disini. Ia masih berjuang keras untuk membuat kue enam tingkat dengan tema putih dan emas. Ini sudah tingkat ketiga yang berhasil Vian kerjakan. Jika kuenya rubuh mulutnya bisa memaki kasar nantinya. "Aku bisa melakukannya sendiri. Lebih baik Anda temani Rivaille bersiap." Melvern tersenyum kecut. Malu karena ia wanita tapi tidak bisa membantu urusan dapur. "Katakan saja jika kau butuh bantuan." Vian mengangguk. Senyuman kecilnya terlihat terpaksa sekali saat Melvern melangkah pergi. Tapi justru setelah Melvern pergi, sekarang Tiffa yang datang. Si pengantin yang membuatnya patah hati ini datang dengan pakaian biasa. Celana panjang kulot berwarna krem dan kemeja hitam polos. "Aku tidak tahu kau bisa membuat kue." Vian langsung mengutuk senyuman laknAt itu. Ia lantas melempar poninya dengan gerakan berlebihan. "Aku ini vampir jenius. Mudah saja membuat seperti ini." Tiffa mendengus geli dan lagi-lagi senyumannya membuat Vian ingin merengek padanya. Tiffa juga dengan kejamnya sengaja mencolek cream kue yang sudah Vian kerjakan. Vian hanya bisa pasrah melihatnya. "Kenapa kau belum bersiap? Rivaille saja sudah empat kali ganti tux hari ini." Vian langsung memperbaiki colekan cream tadi. Tiffa bersandar pada meja dan terus mencolek cream. Kali ini yang ada di dalam wadah. "Heidi tidak datang ke kamarku untuk membantu." Vian langsung menahan diri untuk tidak berteriak memanggil naga siaLan itu. "Binatang buas sepertinya memang susah diatur. Aku akan membantumu setelah kuenya selesai." Tiffa tersenyum saja. Akhir-akhir ini Vian lebih sering melihat kakaknya tersenyum. Mungkin karena memang dia terlalu bahagia akan menikah. Tapi Vian yang melihatnya sudah seperti neraka karena cemburu. "Berhenti tersenyum. Aku kesal melihatnya." Ucapnya ketus. Tiffa langsung menghilangkan senyumnya. Ia langsung menopangkan kepalanya di atas meja seperti siswa yang sedang malas belajar. Hilang sudah ekspresi bahagia yang ternyata hanya pura-pura. "...Aku rindu ibu." Vian juga tidak tahu harus mengatakan apa. Ia bahkan belum pernah melihat wajah ibunya. Vian tetap berjibaku dengan whipped creamnya yang sedang diaduknya. "Biasanya ibu yang selalu membantuku berpakaian ketika ada acara penting." Tiffa menambahkan lagi. Ia terlalu sedih karena di hari bahagia ini tidak ada ibu atau ayahnya yang melihat dirinya bahagia. Vian meletakkan wadah whipped cream ke atas meja. Rupanya sang kakak masih belum sadar bahwa Vian ini adik kandungnya yang paling tampan sedunia. Ia menyendokkan whipped cream tadi dan- Plak! Vian melemparkan cream tadi dan tepat mengenai pipi kiri Tiffa. Walhasil cream itu menyiprat dan mengotori bajunya. Tiffa membatu di tempatnya. "Dasar bodoH. Selama ini kau menganggapku orang lain? Makan ini!" "Ck! Kotor!" Makinya mengelap cream tadi dengan lengan bajunya. Vian acuh saja dan dengan kejam sampai melemparkan cream tadi untuk yang kedua kalinya. "Aku ini adikmu, bodoH! Karena hanya aku keluargamu yang tersisa, kau bisa menganggapku ibumu! Kau bisa menganggapku ayahmu! … Itulah kenapa aku lakukan ini semua sendiri." Perlahan air mata Tiffa turun. Persis seperti hujan yang turun di musim semi. Vian jadi ingin menangis juga melihat kakaknya seperti ini. Mati-matian ia menahan air mata. Tidak lucu pria sepertinya ikut menangis. "Kau seharusnya bahagia bisa menikah dengan pria idamanmu selama ini. Jangan pedulikan aku yang patah hati. Aku masih punya mantan kekasih yang tidak kalah cantik denganmu." Tiffa memeluk pinggang Vian saat sang adik mendekat dan memeluknya. Celemek merah jambunya kotor karena cream. "Aku bahagia. Tapi aku tidak mau kehilangan fans garis keras sepertimu." Dahi Vian langsung berkedut. Seharusnya ini suasana haru, tapi perkataan kakaknya seperti tengah memancing huru hara perkelahian. "Dasar serakah. Aku juga ingin bahagia, bodoH." Vian tahu niat kakaknya yang datang menemuinya saat ini. Seharusnya ia akan menolak keras bujukan Tiffa untuk mengalah pada Rivaille. Tapi jika sudah air mata yang bermain, mana mungkin Vian tahan. Ia masih mengelus belakang kepala kakaknya. Tidak ia sangka mereka akan terpisahkan oleh pernikahan. Padahal sejak ratusan ribu tahun mereka menempel seperti kembar siam. Kata ayahnya, seperti pinang dibelah dua. Andai saja Vian tidak terlahir di rahim yang sama. "Pergilah mandi dan siap-siap." Ucapnya lembut. Tiffa mengangguk lalu pergi sambil sesenggukan berjalan menuju pintu. Tapi tiba-tiba saja pintu dapur terbuka dan muncullah Rivaille disana. "Vian, aku-Tiffa? Kau kenapa?" Dan Rivaille langsung salah paham. "Grrr… KELUAR!" Teriakan Vian terdengar sampai ke halaman depan. Balok kayu yang dipakai menjadi tiang penyangga lampu seketika roboh. Asura menatapnya sampai tak berkedip. "BERENGSEK!" Lalu teriakan demi teriakan terdengar saling bersahutan di halaman depan. Eredith dan Elunial duduk di tepi panggung sambil merapikan kain putih. "Aku kira teriakan ibu yang paling seram. Ternyata lengkingan suara Vian lebih horor dari ibu." Elunial terkekeh, sepemikiran dengan kakaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD