“Apakah pria yang bernama Aredric itu mirip denganku? Asal kau tahu saja, aku bukan Aredric.” Rivaille menatap ke arah lain. Kakinya melangkah untuk sedikit menjauh dari Tiffa.
Melihat bagaimana Tiffa menatapnya seakan membangunkan perasaan yang tidak perlu diantara mereka.
Tiffa juga tahu itu. Banyak samudra ia arungi dan banyak bukit dan lembah ia lewati, tapi tidak pernah ia melihat ada orang yang benar-benar mirip dengan Aredric. Bedanya sekarang ini Rivaille sama seperti dirinya yang seorang vampir.
Tapi justru semua itu seperti kabar baik untuk Tiffa sendiri. Ia jadi tidak perlu khawatir berlebihan seperti dengan Aredric dulu.
“Ya. Kau memang bukan Aredric.” Ucapnya pelan. Persis seperti gumaman yang hanya di dengar olehnya saja.
Tiffa harus bangun dari mimpi panjangnya karena Aredric. Saat ini ia punya firasat buruk dengan bertemunya Rivaille di tempat ini. Matanya jelas melihat selembar peta di atas meja karena Rivaille mulai ceroboh saat ini.
Seharusnya ia bisa menutupi semua itu dengan baik saat ada dirinya di kamar. Sekarang Tiffa jadi tahu hal-hal yang bukan menjadi urusannya.
“Aku akan kembali ke kamarku. Besok kau akan mulai belajar dariku.” Rivaille tampak acuh.
Sebenarnya ia tidak peduli siapa Aredric dan apa hubungannya dengan Tiffa di masa lalu. Tapi jika ternyata ia menjadi objek perbandingan, tentu saja Rivaille tidak akan menerimanya.
Ia duduk di tepi ranjangnya. Tangannya terulur untuk mengusap wajah dan mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Bibirnya itu sungguh membuat vampir kecanduan.
"Berengsek...." Gumam Rivaille.
Setelah Tiffa pergi kamar Rivaille, ia juga sudah ditunggu Vian di dalam kamarnya. Vian tampak berdiri di samping meja dan membaca buku.
“Apa kau sudah mendapatkannya?” Tiffa yang baru saja datang langsung menodongkan pertanyaan pada Vian. Vian menutup bukunya lalu menatap sang kakak dengan sorot mata cemas.
“Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Tapi ada satu yang berpotensi memiliki kekuatan itu disini.” Mata Vian berkilat tidak tenang. “Melvern.” Tiffa mengangguk mengerti.
Apa yang Vian khawatirkan saat ini juga tampak mengganggu pikirannya. Setelah Tiffa bangun dari hibernasi, yang dipikirkannya adalah apa yang akan terjadi di masa depan. Tiffa harus tahu itu.
“Apa kau percaya roda nasib, Vian?” Tanya Tiffa dengan sorot mata menerawang keluar jendela. Siapapun pasti akan ada di dalam roda nasib. Tuhan cukup senang mempermainkan takdir.
Vian tertunduk. Kakaknya masih berdiri di depan pintu sedangkan seisi kamar sudah dipenuhi mantra kedap suara agar tidak ada vampir lain yang mendengar percakapan mereka.
Persetan dengan takdir, Vian sudah terlalu bingung sampai tidak tahu harus berpikir seperti apalagi saat ini.
“Aku tidak ingin percaya, tapi kenyataan berkata demikian.” Ucapnya bingung sekali dengan semua kebetulan ini. Tiffa bahkan sampai bertanya aneh-aneh padanya.
Rasanya baru kemarin ia melihat pria dewasa yang ternyata hanya seorang anak kecil yang ingin sekotak permen saat halloween. Rivaille sungguh jauh dari ekspektasinya.
“SialaN! Aku seperti bercermin dan menatap diriku sendiri ketika melihat bocah ini.” Tiffa memaki kasar. Ia melangkah masuk ke dalam kamar dan berkacak pinggang kesal.
Ya, tidak diragukan lagi. Ia dan Vian bisa mencium ambisi yang besar dari Rivaille. Belum lagi dengan seluruh rencana invansi yang akan dimulai beberapa hari lagi.
Dan semua rencana itu juga semata-mata untuk menghilangkan rasa dahaga saja. Vian ingat Tiffa berpikiran yang sama seperti itu dulu.
Ini seperti pengulangan sejarah yang dimana kali ini pemeran utamanya adalah Rivaille. Jika di masa lalu Tiffa yang memulai peperangan, maka di zaman ini Rivaille akan memutar ulang peperangan itu sendiri.
Vian menyentuh dagunya dan berpikir. Mereka sebenarnya bisa mencegah Rivaille untuk mengulang masa lalu. Hanya saja mereka berdua bukan bagian dari kerajaan.
Dan walaupun bisa, mereka tidak ada hak untuk mengatur mereka bertiga bukan? Vian berdecak kesal. Sekarang siapa yang orang tua dari anak-anak itu? Rasanya tanggung jawab berpindah ke pundaknya.
"Ck! Semua ini membuatku pusing. Lebih baik aku tendang saja mereka sampai amnesia." Ucapnya memberi saran tidak masuk akal.
Tiffa berdiri di depan jendela kamarnya. Menatap keramaian para prajurit dari jendela kamarnya. Seluruh bagian dari kerajaan Heddwyn tampak merayakan penobatan Rivaille menjadi raja.
Tangannya menyentuh kaca jendela dengan pikiran melayang memikirkan banyak hal.
“Kalau memang ini sebuah kebetulan, apakah ini tidak terlalu kebetulan? Aredric garis keturunan Hyrion yang sudah bisa dipastikan mereka tidak akan bereinkarnasi seperti kami. Tapi hari ini kita menemukan suatu kebetulan bahwa Melvern adalah reinkarnasi putri tertua Lusorius dan Rivaille adalah reinkarnasi Aredric. Bukankah semua teori bahwa vampir tidak akan bisa reinkarnasi terpatahkan dengan fakta-fakta ini?”
Tiffa bertanya untuk menyakinkan dirinya sendiri. Vian juga tampak tidak bisa berhenti memikirkan hal itu. Semuanya terlalu kebetulan. Kalau memang tuhan sudah merancang takdirnya di zaman ini, Tiffa harap takdir itu bukan takdir buruk.
“Aku juga sudah memperhatikan struktur bangunan dan semua hiasan yang ada di kerajaan Heddwyn. Jika aku tidak salah ingat, kerajaan dengan desain bangunan seperti ini persis seperti di... kerajaan Xandes.” Kata Vian yakin dan tidak mungkin salah mengingat.
Mulut Tiffa membuka dan menutup tidak terkendali. Apa maksud dari semua kebetulan ini? Apakah ini sungguh kebetulan?
“Setelah penobatan nanti, kau bisa pergi untuk mencari vampir yang bisa membaca masa depan. Sekarang ini tidak mungkin memaksa Melvern menggunakan kekuatannya atau dia akan tahu semua rahasia kita.”
-Ruang hibernasi-
Iefan termenung sambil menatap peti matinya yang sudah disiapkan. Besok adalah hari penobatan anaknya dan ia akan resmi menjadi bangsawan biasa lalu hibernasi.
Seharusnya ia senang karena akhirnya ia akan hibernasi. Tapi sulit baginya untuk melepaskan Rivaille memimpin kerajaan seorang diri. Sebagai seorang ayah, ia tahu itu tugas terberat.
Belum lagi ketiga anaknya menutupi sesuatu darinya. Bahkan Melvern sendiri tidak tahu dan tidak ada satupun prajurit yang mau buka mulut. Sungguh loyal sekali.
Matanya kini menatap peti yang ada di sebelah peti miliknya. Senyumnya hambar dan sedikit terkekeh.
“Hey, Griffin. Peti kita bersebelahan.” Ucapnya sengaja menendang pelan peti sang paman.
Entah apakah ini pilihan yang tepat dengan membiarkan kakak beradik itu menetap di Heddwyn. Baru seminggu saja banyak kericuhan yang terjadi.
Dan juga tampaknya ketiga anak-anaknya mulai akrab dengan Vian. Membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan membuat Iefan ingin buru-buru masuk ke dalam peti matinya.
Ia juga sibuk sekali menenangkan para vampir yang berpengaruh agar mau mengakui Rivaille sebagai raja baru. Mereka menekannya untuk mengusir Tiffa dan Vian karena telah merusak berpotensi akan menguasai kerajaan.
Dan banyak lagi yang harus Iefan selesaikan sebelum ia hibernasi. Ia hanya bisa berharap Rivaille bisa melakukan tugasnya sebagai raja. Dan berhenti bermain-main dengan mereka.
“Iefan?”
Sebuah suara memanggil namanya. Iefan menoleh ke belakang dan melihat sang ratu tampak sama cemasnya dengannya. Kerutan alisnya tampak tidak hilang sejak pagi tadi Iefan menemaninya.
“Aku sedang menyusun peti mati kita.” Ucapnya sedikit menghibur Melvern.
Melvern ingin sekali menangis karena kegelisahannya semakin menjadi ketika besok hari penobatan. Sedangkan sang suami yang seharusnya menemaninya saat ini malah berkutat dengan peti mati. Rasanya aneh saja jika sudah membicarakan hibernasi saat ini.
“Iefan, aku tidak bisa….” Ucapnya lirih.
Iefan juga ingin berkata bahwa ia tidak bisa. Tapi ini semua keputusan yang diinginkan oleh putranya sendiri. Mereka sudah terlanjur sepakat sebelumnya.
“Aku tahu….” Kata Iefan juga sama lirihnya. Orang tua yang hanya bisa menerima keadaan ini tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dan mereka berdua pun menghabiskan malam di atas peti mati sambil berusaha menenangkan diri.
-Hari penobatan-
Pagi ini, Rivaille dan Eredith sudah mempersiapkan diri. Bukan hanya pakaian formal saja, tapi persiapan untuk menyerang malam ini sudah sudah terencana dengan matang.
Rivaille menghitung waktu. Ekspresinya masih tenang walaupun penobatan di depan mata. Ia berbalik dan melirik adiknya.
“Sesuai rencana. Setelah ayah dan ibu hibernasi, kita akan langsung berangkat menuju Kongsberg. Pastikan seluruh pasukan tahu tentang informasi ini dan jangan sampai bocor pada ayah dan ibu.” Ujarnya mengantongi arloji ke dalam saku celananya.
Eredith mengangguk lalu segera ia undur diri keluar dari kamar sang kakak. Langkah kakinya tergesa-gesa menuju kamar adiknya karena sepertinya adiknya itu masih sibuk dengan pesawat tidak bergunanya itu.
BRAAKK!
“El! Cepat bersiap-siap!” Teriaknya tidak sabaran.
Karena sangat yakin dengan pemikiran itu, Eredith dengan barbarnya langsung mendobrak pintu kamar adiknya dengan tendangan. Kamar dengan dua daun pintu kayu mahoni itu sukses hancur berantakan.
Beruntung tidak menghantam benda apapun di dalam kamar. Elunial tidak menoleh walaupun pintu kamarnya baru saja dihancurkan oleh kakaknya.
“Apakah aku harus memasang bel pintu rumah di pintu kamarku?” Tanyanya dengan nada malas.
“s**t! Menjijikkan sekali!” Eredith segera menutupi wajahnya dengan tangan.
Bisa-bisanya Elunial tengah mengenakan celana dalam itu baru saja akan memakai celana panjangnya. Kakak keduanya yang dengan kurang kerjaannya merusak pintu kamar dan berteriak seperti ibu-ibu penjaga kos.
“Ck! Siapa yang menyuruhmu untuk tidak mengetuk pintu lebih dulu?” Elunial masa bodoH sekali dan tetap melanjutkan kegiatan memakai celananya. Persetan dengan kakaknya akan muntah di depan kamarnya.
“Ck! Segera bersiap! Kau pikir jam berapa sekarang ini?” Eredith melenggang pergi. Elunial pun dibuat iritasi dan telinganya memerah karena sejak tadi para pelayan menyuruhnya untuk segera bersiap. Apakah kata sabar itu tidak ada di dalam kamus bahasa manapun?
Rasanya ia seperti hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak sabaran.
“Kau pikir sejak tadi aku sedang apa?! Dasar gila. Kenapa aku punya dua kakak yang tempramental seperti mereka? Aku ini kan adik kandungnya! Bukan saudara tiri.” Omelnya kesal.
Setelah Elunial memakai kemeja dan tak lupa jubah khusus para bangsawan, ia pun mematutkan dirinya di depan cermin dan merapikan sedikit rambutnya yang setengah basah.
Ekspresinya tidak enak sekali dilihat. Tapi walaupun begitu, Elunial berharap moodnya segera membaik dan ia bisa berlepas diri dari kegilaan pagi ini.
Ia mengancingkan lengan kemejanya sebentar dan tak lupa mengambil arloji di atas meja. Elunial berdiri sekali lagi memastikan pakaiannya rapi.
“Hari ini akan menjadi hari yang melelahkan.” Gumamnya sebelum pergi meninggalkan kamarnya.
Di dalam ruang pertemuan para bangsawan dan vampir berpengaruh di Rjukan, Elunial hadir dan hampir terlambat karena sang kakak saat ini sudah mulai dipakaikan mahkota dan juga diserahkannya tongkat kerajaan.
Ruangan ballroom yang didominasi dengan tirai emas dan tak lupa ornamen lilin juga dengan candlelight bercawan emas pula. Karpet merah marun terhampar memanjang sampai ke panggung penobatan.
Semua tamu undangan juga sudah mengenakan jas dan berpakaian rapi. Para pemimpin pasukan juga tampak hadir di barisan belakang.
Acara penobatan dadakan ini seharusnya menghadirkan tamu dari kerajaan sebelah. Tapi karena acaranya dibuat mendadak, tidak ada satupun anggota kerajaan lain yang hadir.
Di luar istana juga seluruh prajurit sudah menyiapkan pesta meriah untuk mengalihkan perhatian Iefan dan Melvern. Lebih tepatnya agar mereka berdua tidak semakin curiga.
Iefan dan Melvern juga sudah mengenakan pakaian khusus itu berdiri dan tampak haru melihat Rivaille yang sedang dinobat.
"Shit... Sudah dimulai ternyata...."
Elunial segera menyelinap masuk. Matanya melihat banyak sekali vampir berkumpul di dalam ballroom. Tapi sayangnya ia tidak melihat kehadiran Tiffa dan Vian.
Lagi pula kalau mereka hadir di dalam acara ini, sudah pasti akan menjadi kericuhan lagi. Banyak para vampir tidak menyukai keberadaan mereka.
Banyak isu bertebaran pula bahwa mereka berdua sedang merencanakan sesuatu untuk mengambil alih kekuasaan Heddwyn.
Menggelikan sekali. Padahal dari yang Elunial baca, kedua vampir itu bahkan tidak tertarik dengan tahta. Para anggota keluarga Heddwyn saksinya.
Jika mereka ingin, tentunya sudah lama kerajaan Heddwyn terbalik akibat ulah Tiffa dan Vian. Itulah kenapa tidak ada yang percaya dengan isu yang satu itu.
Hanya mereka yang bodoh berpikiran seperti itu. Elunial menghela nafasnya lelah. Belum apa-apa ia sudah lelah karena peliknya masalah di keluarganya.
Ia juga harus banyak menghemat tenaga karena setelah acara ini dan kedua orang tua mereka hibernasi, ia akan menjalani tugas pertamanya yang berat.
Ya, setelah ini. Elunial berharap semua berjalan lancar dan baik-baik saja. Kongsberg yang ia tahu punya cukup banyak vampir berpengaruh dan banyak vampir kuatnya juga.
Matanya tak sengaja melihat ke arah kakaknya Eredith. Tatapan ganasnya itu tampak tertuju ke arahnya. Elunial memutar matanya malas.
Rasanya tidak ada anggota keluarga yang tulus menyayanginya selain ibunya seorang. Kakak kandungnya Eredith sudah seperti kakak tiri kejam. Padahal mereka sedang tidak meributkan pangeran disini.
Mulut Elunial seketika menyumpah serapahi kakaknya.
"Seandainya ada ibu peri. Aku akan minta dilahirkan menjadi kakaknya agar tahu bagaimana rasanya menjadi adik." Gumamnya menyimpan dendam sekali pada Eredith.
Mereka tiga bersaudara yang hanya bisa memikirkan diri masing-masing tanpa harus merasa rugi akibat dengan adanya saudara. Elunial melemparkan tatapan emosinya pada sang kakak sebelum dibalas delikan kejam oleh Eredith.
"Ck! Sialan! Selalu saja aku yang mengalah."