Dia yang tersakiti datang

1274 Words
Mourent nampak indah dengan balutan kebaya modern dengan sedikit hiasan di kepalanya, dia duduk dengan tenang di samping Hanan, acara ini berjalan dengan lancar dan sangat hikmah, meski acara ini sudah di rencanakan namun waktu satu bulan masih tergolong cepat untuk mempersiapkan segalanya, Mourent tidak berkomentar dan tidak menginginkan sesuatu ada di acara pernikahannya itu, bahkan dia tidak mengundang temannya satupun untuk menghadiri acara pernikahannya. Keluarga Mourent juga hanya mengundang saudara dekat saja, karena mereka tidak punya waktu untuk mempersiapkan segalanya dengan waktu yang amat terbatas. Mourent melirik sedikit pada Hanan yang sangat hemat senyum, mereka mungkin memiliki pemikiran yang sama dengan perjodohan ini, dan setelah acara itu selesai selang satu hari mereka segera melanjutkan resepsi di Jogja yaitu tempat asal Hanan. Hanan ternyata juga hanya melakukan resepsi sederhana di sebuah hotel dan di hadiri sanak saudara dekat dan beberapa temannya saja, namun saat di Jogja Mourent mendapati wajah Hanan lebih murung dari pada ketika mereka berada di kota asal Mourent. Dan anehnya Mourent bisa tersenyum sangat lebar sekarang, padahal dia saat ini berada di tempat asing dan tidak mengenal siapapun selain Hanan itupun Mourent hanya kenal saja tanpa mengetahui apapun tentang Hanan. "Apa mas sakit?" tanya Mourent pada Hanan yang berdiri di sampingnya dengan tatapan gelisah. Dia memberanikan diri bertanya pada suaminya yang baru menikahinya dua hari lalu. "Tidak," jawab Hanan dengan cepat. "Lalu apakah ada yang salah?" Hanan mengeleng. "Aku akan ke toilet dulu," Mourent hanya mengangguk dan Hanan pergi meninggalkan Mourent sendirian di antara banyak orang yang sama sekali tidak Mourent kenal dan untungnya beberapa orang nampak seumuran dengan Mourent dan mereka bisa mengobrol tentang banyak hal. Beberapa kali Mourent melihat ke arah lorong menuju toilet, untuk melihat Hanan namun laki-laki itu belum juga menampakkan diri, ini sudah cukup lama bagi seseorang yang pergi ke toilet jika itu hanya sekedar buang air kecil kecuali jika dia memiliki masalah pencernaan itu lain cerita. Bukan apa-apa, di ruangan yang penuh tamu undangan ini semuanya orang asing bagi Mourent, meski mereka sudah berbincang-bincang namun saja mereka orang baru untuk Mourent, meski Hanan juga orang baru untuknya tapi Hanan adalah suaminya itu jauh berbeda dengan orang-orang ini. Mourent tersenyum lagi saat ada orang yang mengajaknya bicara namun dia juga membuka telinganya lebar-lebar saat dia mendengar jika ada orang yang membicarakan tentang dirinya di belakang punggung Mourent. "Cantiknya pengantinnya?" ucap seorang wanita paruh baya dengan teman yang ada di sampingnya. "Iya, dia cantik sekali. Hanan pintar pilih pendamping." "Hanan memang pandai cari wanita, aku juga pernah lihat kekasihnya yang dulu, dia juga sangat cantik tapi dia bukan orang Indonesia, kalo tidak salah China, kulitnya sangat putih." "Benarkah? Hanan pernah pacaran dengan orang China?" "Iya. Tapi tidak di restui, jadi mereka putus." "Wah, aku penasaran. Apakah lebih cantik dari istrinya?" "Semuanya cantik, mereka hanya beda warna kulit saja. Jika tidak cantik mana mau Hanan dengan mereka, Lihatlah Hanan seorang pemuda yang tampan dengan pekerjaan mapan siapa yang bisa menolak pesonanya, apalagi dia seorang pemuda yang baik dan tidak pernah berulah." "Itu karena didikan ibunya yang keras, namun dia sekedar sudah menuai hasilnya, Hanan menjadi seorang pemuda yang sukses." Mourent tidak lagi ingin mendengarkan gosip mereka, ibu-ibu hanya akan terus membicarakan orang lain meski sebaik apapun orang itu, untung saat ini Mourent me dengarkan yang baik-baik tentang suaminya, entah lain kali dam beda orang mungkin Mourent akan mendengar versi yang berbeda. Tapi Mourent menjadi berpikir tentang perkataan mereka yang mengatakan tentang mantan kekasih Hanan, tapi kemudian Mourent tidak lagi mau berpikir yang pasti akan membuat sudah dirinya sendiri, semua orang kebanyakan memiliki seorang mantan, bahkan dirinya juga memiliki seorang mantan kekasih. Baru setelah hampir sejam Hanan menghilang dia muncul lagi di samping Mourent, "Apakah perutmu baik-baik saja?" Mourent bertanya dengan setengah berbisik pada Hanan. "Sedikit ada masalah dengan pencernaan ku." "Sudah minum obat?" Mourent nampak khawatir, karena acara yang terus menerus pasti membuat Hanan kecapean dan makannya pasti tidak teratur apalagi mereka melakukan resepsi di dua kota berbeda. "Sudah, ini akan membaik jika aku istirahat." "Jika begitu istirahatlah, aku tidak apa-apa sendiri di sini." "Kamu yakin?" "Iya," Mourent tersenyum pada Hanan, untuk menyakinkan suaminya. "Tidak, aku akan istirahat jika acara ini selesai, lagi pula sebentar lagi ini akan ada di puncak acara." Mourent tidak lagi memaksakan kehendaknya, jika itu menjadi keinginan Hanan, dia ingin Hanan beristirahat namun dia lebih menginginkan jika dia berada di sini bersamanya. Namun Mourent menemukan hal yang lain, yaitu mata Hanan bengkak dan itu terlihat sangat jelas, "Apa dia habis menangis? Tapi dia menangisi apa?" tanya Mourent di dalam hatinya dan sesekali melirik pada suaminya, baru saat ini dia benar-benar melihat jika senyum Hanan benar-benar di paksakan. Namun Mourent tidak berani mempertanyakan perihal mata bengkak Hanan, Hanan memiliki privasi dan Mourent cukup tahu diri untuk tidak ikut campur untuk saat ini. Hanan tersenyum sambil menjabat seorang wanita cantik namun dia nampak sudah berumur, dia adalah atasan Hanan di rumah sakit yang menjabat sebagai wakil ketua kepala rumah sakit. Tapi meski dia sedang berbincang dengan lancar dan senyum yang mengembang, pikiran Hanan melayang jauh di luar sana, ada seseorang yang dia khawatirkan untuk saat ini. Rasanya Hanan ingin lari keluar dari tempat ini untuk menemui seseorang yang baru saja menunjukkan dirinya pada Hanan yaitu Yang Rou We, dia adalah kekasih Hanan. Pergi ke toilet hampir satu jam itu hanya alasan saja yang di buat Hanan untuk Mourent, padahal dia pergi ke kamar hotel yang disiapkan untuk dirinya dan Mourent, dia di sana menangis tersedu-sedu sendirian dan tidak berani mengeluarkan suara keras agar tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Bagiamana dia tidak menangis saat dia menyematkan cincin di jari manis Mourent, pandangannya tidak sengaja melihat sosok yang amat di kenal, dia adalah Yang Rou We kekasihnya yang sudah lama dia kencani. Perempuan itu datang mengunakan gaun berwarna hijau polos dengan rambut yang di biarkan terurai begitu saja, Hanan bisa melihat dengan jelas meski jarak mereka jauh, mata perempuan itu nampak dingin dan tidak ada senyuman sekecil pun di bibirnya, tangan dengan lembut membelai perutnya yang buncit. Hanan memejamkan matanya dalam-dalam, kelopak matanya terasa panas dia ingin menangis saat ini, tapi dia tidak bisa, saat dia membuka matanya lagi, Yang Rou We masih berada di sana dan masih dalam posisi yang sama pula, dia menatap ke arah dirinya dan Mourent, Hanan tidak tahu apa yang ada di pikiran Yang Rou We saat ini karena dia tidak bisa membacanya dari wajah Yang Rou We yang datar, entah dia marah, kecewa ataupun merana. Namun Hanan bisa menebak sedikit jika Yang Rou We pasti kecewa padanya, mereka saling bertatapan dengan jarak yang cukup jauh, ada perasaan gelisah jika Yang Rou We akan berjalan kearahnya, Hanan masih menghawatirkan kehormatan keluarganya, bagaimana jika wanitanya itu datang ke acara pernikahannya untuk mengacau, dia tidak perlu melakukan banyak hal, Yang Rou We cukup berjalan ke depan dan bicara beberapa patah kata saja semuanya akan berakhir, apalagi bukti nyata ada di depan mata semua orang, dengan perut buncit berusia 6 bulan sudah lebih dari cukup untuk jadi bukti paling kuat, apalagi sebagian orang yang datang di acara ini sudah mengetahui hubungan Hanan dan Yang Rou We yang sudah terjalin sejak mereka kuliah bersama. Namun akhirnya Hanan bisa bernapas lega saat melihat Yang Rou We berbalik arah dan menuju pintu keluar, dia memandangi punggung itu yang sedikit demi sedikit menjauh dan hilang di tikungan. Namun tidak sepenuhnya Hanan bisa bernapas lega karena rasa gelisah itu berganti dengan rasa bersalah yang amat besar menimpa dadanya. Karena sudah tidak kuat, Hanan memberitahu Mourent jika dirinya perlu pergi ke toilet dan saat di toilet dia meluapkan semua perasaannya, dia menangis tanpa bersuara. "Maaf, maafkan aku," ucap Hanan sambil memukul dinding kamar mandi. "Aku begitu jahat, sangat jahat. Jahat sekali padamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD