Berjumpa lagi setelah bertahun-tahun berlalu

1099 Words
Mourent sama sekali tidak mengatakan apapun, di acara pertemuan keluarga ini. Dengan susah payah dia menelan ludahnya dia hanya mengatakan kata "Terserah ibu saja," Saat ibunya mempertanyakan pendapatnya tentang perjodohan ini, Mourent berhenti memberontak karena dia mengetahui jika calon suaminya adalah seseorang yang dia rindukan dan seperti merindukan bulan yang tak akan pernah kesampaian. Namun sekarang Allah memberikan jalan dan waktu untuknya, Mourent cukup malu mempermainkan takdir Allah. Mourent seperti sedang bermimpi saat Hanan datang ke rumahnya untuk pertama kalinya. Mourent sebenarnya masih meragukan ingatannya sendiri karena sudah terlalu usang di memorinya, laki-laki yang sedang duduk di hadapannya ini sedikit berbeda dari laki-laki yang dia temui beberapa tahun yang lalu, kini dia nampak dewasa dan matang, senyumannya yang mengembang kini sudah tergantikan dengan senyuman tipis di bibirnya. Dia terlihat wibawa dan berkelas, tutur bahasanya juga bagus dan sangat bisa di terima, pemuda yang dia temui di masa lalu sudah menghilang di gantikan oleh Hanan dewasa yang dua kali lipat membuat Mourent terpikat. Saat matanya beradu dengan dokter Hanan, ada sebuah desiran kecil di hati Mourent, dia sedikit berharap jika Hanan akan mengenali dirinya tapi itu tidak terjadi, mungkin Mourent banyak berharap. Siapa yang akan mengenali seorang pejalan kaki dari masa lalu yang sudah lewat bertahun-tahun. Mourent kecewa meski itu hanya setitik debu Jade Hanan tidak mengenali dirinya, tapi dia sadar jika dirinya yang terlalu tinggi berharap pada pertemuan mereka yang pertama ini setelah sekian lama. Dokter Hanan hanya tiga kali datang berkunjung ke rumah Mourent, pertama untuk pertama kalinya Hanan datang untuk melihat calon istrinya dan juga sebagai pertemuan keluarga, laki-laki itu tidak banyak bicara apalagi menuntut, dia mengiyakan semua yang di katakan oleh ibunya tanpa protes sedikitpun, jika dia di suruh ke selatan maka dia akan pergi ke sana dan jika ibunya bilang ke barat tanpa mengeluh dia pergi. Mungkin ini hanya perasaan Mourent saja, jika tidak ada semangat di mata Hanan, namun laki-laki itu masih berusaha untuk tersenyum pada orang-orang di sekitarnya. Mungkin Hanan memiliki permasalahan yang sama dengan dirinya, menikah dengan orang asing itulah cukup sulit. Kedatangan Hanan yang kedua untuk acara pertunangan, ini benar-benar terjadi seperti mimpi, Mourent merasa jika dia dinikahkan dengan Hanan seperti seorang gadis yang hamil di luar nikah, padahal kenyataannya tidak, bahkan sampai detik ini Mourent belum menyentuh Hanan kecuali saat Hanan menyematkan cincin di hatinya dan sebaliknya. Padahal alasan sebenarnya adalah keluarga kedua belah pihak sama-sama takut jika Hanan dan Mourent berubah pikiran, dan membatalkan acara perjodohan ini di menit-menit terakhir. Dan terakhir tentu saja acara pernikahan, acara puncak yang akan mengubah kehidupan Mourent selanjutnya, dia berharap jika kehidupannya selanjutnya akan terjadi hal yang baik, hidup dengan orang asing semoga tidak seburuk yang ada di benaknya. Acara itu berjalan dengan semestinya, Hanan yang duduk tidak jauh darinya juga tidak begitu banyak bicara dan hanya melontarkan senyum jika itu di butuhkan, Mourent sempat bertanya-tanya apa yang ada di benar Hanan, apakah dia juga mengalami dilema seperti dirinya. "Bagaimana bukankah dia tampan?" bisik ibunya, namun Mourent menolak menjawab. "Mourent?" "Ibu? Apakah tampan atau jelek itu berpengaruh?" Mourent balik bertanya. "Tentu saja." "Aku rasa tidak, asalkan dia baik semua masalah tidak akan timbul," Ini Mourent tidak lagi berkomentar, dia kalah jika berdebat seperti itu, karena putrinya sendiri tahu jika dirinya saat ini tidak 100% bahagia dengan pernikahannya ini. Itu juga menyentuh tempat rasa sakit wanita itu karena dia gagal menemukan seseorang yang tempat untuk mendampingi hidupnya. Tapi Mourent masih menahan keinginannya mengatakan yang lain, karena pengorbanan ibunya bertahan dengan hubungan tocix ini adalah sebuah anugerah besar untuk Mourent, karena Mourent sendiri belum yakin jika dia kuat berada di posisi ibunya. Hari-hari Mourent seperti sebuah magic, itu berjalan dengan sangat cepat dan tidak terprediksi, ternyata Mourent dan Hanan memiliki satu kesamaan untuk pertama kalinya yaitu mereka sama-sama angkat tangan tentang acara pernikahan mereka, keduanya Sam sekali tidak mau terlibat dalam proses pernikahan mereka, keduanya sudah menerimanya di jodohkan dan mereka tidak repot-repot untuk mengatur acara pernikahan mereka, semua di serahkan pada keluarga, bahkan tanggal pernikahan satu bulan kemudian keduanya Sam sekali tidak ada komentar. "Mourent?" panggil ibunya saat Mourent melihat tayangan televisi di ruang tengah. "Iya," jawab Mourent tanpa mengalihkan pandangannya, dia hanya membuat wajah lurus menghadap layar televisi yang menampilkan acara kartu Korea Selatan itu, dia lebih memilih menonton kartun yang jelas-jelas membohongi dunia ini dari pada serial drama lokal yang aneh menurut Mourent, bagian kartu tidak membodohi dunia, mana ada sebuah bus bisa bicara dan berinteraksi satu sama lain. "Apa kamu baik-baik saja?" Baru setelah itu Mourent melihat ibunya, namun dia tidak mengatakan apapun dia menarik pandangannya lagi dan kembali melihat layar televisi sambil memasukkan kue coklat kedalam mulutnya. Karena tidak puas dengan respon Mourent ibunya datang dan ikut bergabung bersamanya untuk menonton televisi, dia juga ikut mengambil kue kering yang ada di dekapan Mourent menikmati waktu mereka bersama. "Apa ini terlalu memaksakan kehendak ibu?" Wanita itu mulai memulai percakapan meski mereka sama-sama melihat layar televisi. "Tidak." "Maafkan ibu, mungkin saat ini kamu sedang sangat tertekan." "Ibu tidak perlu merasa bersalah, aku sudah terbiasa sejak kecil tertekan. Apa yang perlu di khawatirkan?" Wanita itu dengan susah payah menelan kue di tengorokannya saat mendengar pengakuan putrinya yang tidak pernah mereka bahas sebelumnya. "Semoga kamu bisa bahagia bersama Hanan, dia nampak pemuda yang baik." "Terimakasih," Mourent mengucapkannya begitu mudah, seperti tidak ada beban namun orang juga tahu jika itu adalah sebuah keputusasaan. "Apa kamu ingin melihat gaun yang akan kamu kenakan saat acara resepsi nanti, jika kamu kurang suka dengan warnanya ibu masih bisa mengganti warnanya sebelum waktunya mepet. "Tidak perlu." "Kamu ingin warna tertentu?" "Tidak ibu, terserah ibu saja, apapun yang ibu pilih aku akan mengenakannya, semua sudah sulit tidak perlu mempersulit keadaan." "Tapi, biasannya ...." "Ibu, sudahlah." Mourent memotong bicara ibunya, dia tidak ingin berdebat dengan ibunya hanya masalah sepele, dia hanya ingin hidup damai sebelum angkat kaki dari rumah ini, Mourent tidak mau di pusingkan dengan urusan pernikahan yang menguras tenaga dan pikiran, karena baginya sudah tidak penting lagi, yang perlu dia siapkan saat ini hanya hatinya tidak ada yang lain. Sebuah air mata jatuh dari sudut mata ibu Mourent, wanita itu merasakan keputusasaan putrinya, dia nampak sudah mati rasa dan tidak menginginkan apapun saat ini, dia hidup nampak hanya mengikuti arus tanpa banyak perlawanan, karena siapapun tahu jika berjalan melawan arus itu sangat melelahkan. Namun wanita itu tetap tidak bisa menahan air matanya sendiri melihat putrinya begitu menurut dan tidak memiliki keinginan apapun. Mungkin saat ini jika Mourent menuntut ini dan itu untuk acara pernikahannya malah akan baik-baik saja, tapi lihatlah dia begitu tenang dan tidak berpendapat malah makin membuat ibunya sedih, dia ingin mengetahui isi otak dari putrinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD