Tiga wanita di kamar remang-remang

1093 Words
"Kamu kenapa?" tanya Lina saat dia masuk ke kamar Yang Rou We dan tidak mendapati dia di tempat tidurnya malah berada di kamar mandi duduk di kloset yang tertutup dan menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi yang dingin. Sebenarnya Yang Rou We tidak berniat tidur di kamar mandi, namun ketika tadi membuang isi perutnya karena kelelahan dan tidak memiliki banyak tenaga Yang Rou We memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu dan tidak berharap akan jatuh tertidur di sini. "Aku tidak apa-apa," jawab Yang Rou We dengan suara lirih. "Tidak apa-apa bagaimana?" Lina menaikkan suaranya sambil membungkuk membawa tubuh Yang Rou We untuk berdiri, "Kamu pucat, aku akan mengantarmu ke rumah sakit." "Tidak Kak, aku baik-baik saja." "Lihatlah tubuhmu sendiri, bagaimana kamu masih bilang tidak apa-apa?" Lina marah karena Yang Rou We masih bersikeras. "Aku sudah periksa di dokter," lanjut Yang Rou We yang membuat Lina akhirnya sedikit menurunkan nada bicaranya. "Benarkah, ada obatnya?" Lina memastikan. "Emm," jawab Yang Rou We dengan sisa tenaganya. "Baiklah, tunjukkan padaku," jawab Lina sambil membawa tubuh Yang Rou We kembali di kamar. "Di mana?" tanya Lina setelah membantu Yang Yuan tidak berbaring di ranjangnya. Yang Rou We mengambil beberapa tablet yang ada di dalam laci dan memberikannya pada Lina, Lina segera mengambil air dan bermaksud akan menyuruh Yang Rou We yang meminumnya namun pergerakannya terhenti saat dia menyadari jika Lina tidak begitu asing dengan beberapa tablet obat milik Yang Rou We. "Ini ...?" tanya Lina sambil melihat Yang Rou We tangannya masih memegang obat milik Yang Rou We, dia tahu, dan Lina ingin bertanya namun bibirnya tidak bisa mengatakan apa yang ada di dalam benaknya. "Iya," jawab Yang Rou We dengan lirih dia tidak melihat wajah Lina, Yang Rou We sedikit menunduk tidak ingin bertemu dengan tatapan Lina. "Siapa?" Lina duduk di tepi ranjang di dekat Yang Yuan tidak yang masih menunduk, dia tidak mengatakan iya atau tidak, siapa dan kenapa. "Apakan kekasihmu yang sering aku lihat datang ke mari?" Lina mencoba menebak dengan tatapan penuh ke ingin tahuan. "Hemm," sahut lirih Yang Rou We. "Dia sudah tahu tentang ini?" Dan Yang Rou We menjawabnya dengan anggukan beberapa kali, sebagai pembenaran. "Lalu?" Yang Rou We mengeleng lemah yang membuat Lina langsung memeluk tubuh Yang Rou We. Dengan memeluk tubuh Yang Rou We wanita itu penuh ketulusan memeluk tubuh kurus Yang Rou We. "Kenapa? Kenapa dia tidak mau bertanggung jawab? Dia lari dari tanggung jawab. Kenapa anak muda jaman sekarang seperti ini," kata Lina sambil memeluk Yang Rou We. "Ini tidak seperti yang Kak Lina bayangkan, bukan karena dia tidak bertanggung jawab, ada masalah di antara kami, dan seharusnya 6 hari lagi kami berencana menikah," Yang Rou We mencoba menjelaskan duduk masalahnya dengan sisa tenaga yang dia miliki saat ini. "Kenapa? Kenapa batal?" Lina binggung sendiri. "Karena ...," Yang Rou We pun binggung, haruskah dia membuka dan membaginya dengan orang lain, selama ini Yang Rou We tidak pernah berbagi apapun dengan orang lain entah itu tempat, saudara, keluarga, karena Yang Rou We tidak memiliki itu, hanya Hanan yang menjadi tempatnya berbagi, tapi sekarang Yang Rou We punya masalah dengan Hanan, lalu kemana lagi dia harus mengadu, menumpahkan isi hatinya. Yang Rou We sudah tidak mampu lagi untuk menyimpan ini sendirian, Yang Rou We butuh seseorang untuk berbagi, kapasitas miliknya sudah penuh dan kini ada Lina di hadapannya yang sudah siap menerima keluh kesah untuk dirinya saat ini. "Yang Rou We?" panggil Lina lirih, lina tidak tega melihat wajah pucat Yang Rou We, bibirnya yang pecah-pecah, dengan tatapan sayu. "Kami tidak bisa menikah ... kami ..., kami ... tidak mendapatkan restu dari orang tua kami, dan, dan, dan juga kami ...," Dengan terbata-bata Yang Rou We mulai menceritakan sedikit demi sedikit apa saja yang sudah dia alami dengan Hanan, dari sujud pandangnya, tapi Yang Rou We sama sekali tidak menyalahkan Hanan, karena ini sepenuhnya bukan salah Hanan. "Jika saja aku tidak ceroboh, mungkin ke adaan ini tidak akan separah ini," ucap Yang Rou We dengan lemah. "Minumlah dulu Yang Rou We, aku juga membawakan makan malam untukmu," Lina menyodorkan teh hangat untuk Yang Rou We namun Yang Rou We menolak makanan dari Lina. "Jangan kak, terimakasih sebelumnya. Tapi aku tidak bisa makan apapun, ini malah menyiksaku." "Lalu bagaimana?" Lina sangat tidak tega melihat keadaan Yang Rou We yang seperti ini, dia sudah menahan air matanya agar tidak jatuh kehidupan Yang Rou We begitu tragis baginya. "Kak Lin, bisakah aku minta satu permintaan kecil," ucap Yang Rou We lirih. "Katakan, jangan sungkan. Anggap saja aku kakak perempuanmu," jawab Lina dengan cepat. "Bisakah, Kak Lin merahasiakan keberadaan ku di sini, dari siapapun dan yang paling penting dari mantan kekasihku Hanan." "Tentu saja, tentu saja. Aku juga berusaha agar orang-orang di sekeliling di sini tidak tahu jika kamu masih tinggal di sini." "Terimakasih banyak Kak Lin." "Bukan apa-apa, ini bukan masalah besar." "Beristirahatlah, aku akan lebih sering ke mari," ucap Lina sambil menyelimuti tubuh kurus Yang Rou We. Lina segera pergi namun dia berhenti di ambang pintu dan kembali melihat ke belakangnya di mana Yang Rou We tidur dengan kondisi kamar remang-remang, air matan Lina jatuh kembali melihat Yang Rou We, nasibnya begitu menyayat hati. Lina keluar kamar Yang Rou We namun dengan cepat dia kembali datang, tapi dia datang tidak sendiri, dia membawa seorang wanita bersamanya, wanita itu seorang bidan, yang di panggil Lina untuk memeriksa ke adaan Yang Rou We, Lina tidak akan tega melihat ke adaan Yang Rou We seperti ini. Bidan itu sempat binggung mengapa ruangan ini gelap dan hanya satu lampu kecil yang menyala. "Apakah lampunya mati?" tanya bidan itu sambil melihat ke atas. "Tidak, aku sengaja tidak menghidupkannya," jawab Lina, mau tidak mau Lina harus menceritakan beberapa potong kehidupan Yang Rou We, Lina hanya memberitahu yang perlu dia ceritakan kepada bidan itu. Bidan itu mengerti dan mulai bisa di ajak kompromi, Yang Rou We juga kaget ketika Lina datang dengan seorang wanita dengan tas yang penuh peralatan medisnya. "Kamu perlu di infus," bisik Lina lirih di samping Yang Rou We dan mengusap surai Yang Rou We yang lengket karena sudah beberapa hari terakhir tidak pernah di cuci. "Kak Lin ...?" "Aku mohon, aku tidak bisa melihatmu seperti ini, mungkin tubuhmu masih kuat, tapi ada nyawa lain yang perlu kamu pikirkan." Akhirnya Yang Rou We menurut dia diam saja saat bidan itu mulai memasang selang infus di tangannya dengan bantuan penerangan dari ponsel Lina, tiga orang wanita di dalam ruangan yang remang-remang sedang melakukan perawatan, mereka seperti sedang menyembunyikan seorang buronan, seakan-akan mereka sedang melakukan tindakan ilegal padahal mereka hanya sedang merawat seorang ibu hamil yang hidup sebatang kara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD