Yang Rou We maha karyaku

1284 Words
Hanan mengirimkan pesan pada Mourent jika hari ini dia tidak pulang karena ada operasi darurat, dan pasien ini termasuk VVIP, jadi Hanan dan 9 dokter lainnya mempunyai tanggung jawab yang besar atas pasien ini. Hanan tidak bohong akan hal itu hanya saja operasi itu sudah selesai jam 21:10 Hanan sudah bisa pulang setelahnya, karena besok pagi dia punya jam praktek pagi namun yang dia lakukan malah menggantikan dengan suka rela shift malam milik temannya. Di ruang kerjanya ada ruang tidur yang bisa dia gunakan untuk beristirahat dan Hanan membuka laci dan mengambil sebuah foto dirinya dan seorang perempuan. "Yang Rou We, Yang Rou We oh Yang Rou We, aku tetap tidak bisa mengalihkan pikiranku untuk tidak memikirkan dirimu," Hanan mencium potret kekasihnya itu. "Di mana kamu sekarang, kamu seperti di telan bumi, aku tidak menemukanmu di manapun," Hanan tidak perlu malu pada siapapun untuk menangis, saat ini hanya ada dirinya sendiri di dalma ruangan itu, dia bisa menangis sepuasnya tidak perlu di tahan lagi. Tempat istirahat ini lebih nyaman untuknya saat ini daripada di apartemen miliknya, karena di sana ada seorang wanita yang dia nikahi 5 bulan yang lalu, dalam Lima bulan ini Hanan sangat tersiksa dengan perasaannya sendiri, tanpa sepengetahuan orang lain dirinya mencari keberadaan Yang Rou We namun sampai detik ini dia masih belum berhasil. Terakhir kali Hanan melihatnya saat di resepsi pernikahan dirinya, dia nampak pucat dan dingin, entah apa yang sudah wanita itu lalui sendirian tanpa dirinya, Hanan ingin memutar waktu saat mereka masih sama-sama kuliah, menikmati hari-hari bersama. Hanan ingat betul pertemuan pertama mereka, saat itu Hanan masih sekolah menengah atas, dia ikut sebuah bimbingan melukis itupun dia lakukan secara sembunyi-sembunyi dari ibunya, dia melakukannya seminggu sekali setia hari Sabtu sore dan dia berbohong pada ibunya jika dia les matematika. Hanan datang seperti biasa dan jadwal hari ini menggambar objek mahkluk hidup, dia sudah sering melakukannya tapi saat ini berbeda karena model wanita itu sangat mencuri perhatiannya. Wanita itu tidak mengatakan apapun dia langsung duduk di antara banyaknya peserta yang datang, dia sebagai senter dan ada sekitar 11 orang mengitari gadis itu, dia memiliki rambut tidak begitu hitam yang sepundak, bibirnya yang mungil di poles dengan lipstik dengan warna kombinasi yang sangat cantik, makeup nya natural tapi kecantikan itu masih terpancar sangat jelas. "Kalian bisa menggambar objek model ini, aku bebaskan ingin menggambar bagian mana, tidak harus seluruh tubuh bisa bagian tubuh tertentu yang mungkin kalian minati," ucap pembimbing pada peserta didiknya. Tidak ada seorangpun yang bicara atau pun saling mengobrol mereka fokus pada objek di depan mereka termasuk Hanan, Hanan terus memandangi wajah gadis itu dan gadis itu tepat menghadap dirinya, Hanan tidak membutuhkan waktu lama untuk menentukan bagian tubuh mana yang ingin dia lukis. Gadis itu mengunakan gaun berwarna pink dengan sedikit sentuhan warna merah, pinggangnya ramping dengan pundak putih yang terekspos, di lehernya ada liontin kecil namun itu lebih dari cukup untuk mengisi kekosongan di lehernya. rambutnya terurai dengan jepit kecil di satu sisinya, jari-jarinya yang panjang terkulai dengan manja, namun satu bagian yang amat menyita Hanan yaitu mata pionix nya, dari pertama memandang Hanan sudah sangat tertarik akan sepasang mata itu. Seorang model tidak di perbolehkan bergerak sedikitpun sampai waktu yang di tentukan, dan gadis itu duduk dengan sangat damai di tempatnya, dia nampak anggun dan sangat manis, Hanan sangat menyukai tipe perempuan seperti itu, dia curahkan semua kekagumannya ke dalam kanvas putih di depannya, goresan demi goresan dia torehkan dengan objek yang sangat menarik di depan Hanan. "Periksa lagi jika kurang memuaskan, waktu masih ada 6 menit lagi." Waktu 6 menit lebih dari cukup bagi Hanan untuk menyelesaikan karyanya. Dia lebih cepat selesai dari pada teman-temannya, namun dia masih menyibukkan dirinya untuk terus menatap gadis itu yang masih belum bergerak sama sekali. "Bagus Hanan," puji pembimbingnya, dia berdiri di samping Hanan dan memperhatikan dengan sangat lekat hasil karya pemuda itu. "Terimakasih madam," ucap Hanan pada wanita setengah baya itu. "Kenapa hanya mata?" "Ini sudah terlalu indah, aku mungkin tidak sanggup melukis semua keindahan ini," jawab Hanan sambil melirik gadis itu yang juga sedang menatapnya. "Manis sekali, anak muda pintar sekali mengolah kata," Hanan hanya tersenyum mendengar ejekan pembimbingnya. "Lain kali buatlah yang lebih sulit dan rumit, aku ingin tahu sampai sejauh mana peningkatan mu." "Baik madam." Hanan membereskan semua peralatan melukisnya dan sesekali masih mencuri pandang pada gadis itu, waktu sudah habis dan gadis itu sudah bisa bergerak dan meninggalkan tempatnya. "Madam siapa nama gadis itu?" Ingin rasanya Hanan menanyakan hal itu pada pembimbingnya namun Hanan masih memiliki urat malu dan menahannya, melihat gadis itu pergi dengan anggun, Hanan hanya berharap jika dia di beri kesempatan lagi bertemu dan menggambar objek yang sangat menarik itu, Hanan begitu bersemangat dengan hal itu. Ternyata langit sedang berpihak padanya, tidak perlu waktu lama harapan Hanan terkabulkan, saat dia berada di halte dan akan naik bus ada seorang wanita sedang setengah berlari menuju kearahnya dan itu adalah wanita yang sejak tadi dia pandang untuk dia lukis. Gadis itu mengikuti langkah Hanan memasuki bus dan hanya ada satu bangku yang tersisa, Hanan memilih berdiri dan memberikan tempat itu untuk gadis cantik itu. Hanan masih menutup mulutnya rapat-rapat, dia tidak memiliki kekuatan untuk membuka mulutnya untuk sekedar menyapa, "Hai ...?" Apalagi meminta kenalan. Hanan bernyali ciut di depan wanita yang dia taksir. Sebenarnya bukan perkara sulit namun tidak bisa di pungkiri jika menyangkut perasaan orang akan mendadak bodoh, itulah yang sedang terjadi pada Hanan saat ini, waktu 20 menit telah berlalu, bus itu berhenti di halte selanjutnya, dan Hanan kehabisan waktu, kesempatan itu hilang hanya karena dia tidak memiliki cukup keberanian. Gadis itu turun dari bus melewati Hanan yang sibuk dengan pikirannya sendiri, namun saat bus akan berjalan lagi Hanan menghentikannya dan memutuskan untuk ikut turun, padahal ini bukanlah halte yang paling dekat dengan rumahnya, tapi Hanan tidak peduli akan hal itu, dia lebih memilih turun dan mengejar gadis itu. "Tunggu ...," Hanan berteriak sambil berlari pada gadis yang berjalan memunggunginya. Dan gadis itu menoleh ke arah Hanan yang sedang berlari padanya. "Hai ...," sapa Hanan dengan napasnya yang memburu. Akhirnya kata itu bisa keluar dari mulut Hanan. "Hai," jawab gadis itu dengan senyuman kecilnya. "Hanan," Hanan langsung mengulurkan tangannya, dia sampai lupa untuk sekedar basa-basi. "Aku tahu?" "Ha? Tahu dari mana?" Hanan binggung, karena ini adalah hari pertama mereka bertemu bagaimana gadis ini mengetahui namanya. "Tadi," jawab gadis itu. "Ooohh ...," Baru setelah itu Hanna teringat jika pembimbingnya memanggil namanya di depan gadis itu untuk memuji karyanya. "Namamu?" Hanan masih enggan menarik tangannya yang terulur. Gadis itu tersenyum kemudian menjabat tangan Hanan. "Yang Rou We." "Ha?" Hanan membulatkan matanya, nama gadis itu begitu belibet di hati Hanan dan tidak membekas di otaknya yang tidak terbiasa dengan nama-nama asing seperti ini. "Yang Rou We," Gadis itu kembali mengulanginya. "Yang ..., Rooo? Siapa?" "Yang, Rou, We," Yang Rou We mengulangi namanya kata demi kata agar Hanan bisa menghafalnya, ini bukan kali pertamanya orang berekspresi seperti itu ketika mendengar namanya. Yang Rou We keturunan Indonesia Tiongkok, Ayahnya Tiongkok asli dan ibunya Betawi, jadi dia mengikuti nama dari keluarga ayahnya, meski dia dianggap aneh karena menggunakan nama tidak umum orang Indonesia namun dia merasa istimewa karena tidak ada yang menyamai namanya di Indonesia. "Yang ... Rou ... We," Meski dengan terbata-bata akhirnya Hanan bisa menyebut nama gadis itu dengan lengkap. "Benar," Yang Rou We tersenyum sangat manis untuk Hanan dan Hanan rasanya ingin meleleh melihatnya. "Sepertinya namamu akan sulit untuk di lupakan." "Kenapa?" "Namanya sulit untuk di hafalkan dan itu akan lebih sulit lagi untuk di lupakan." "Benar kata madam." "Apa?" Hanan balik bertanya. "Mulutmu begitu manis." Mereka berdua tertawa bersama, matahari sore yang akan tenggelam sungguh pemandangan yang bagus menambah kehangatan kedua orang yang baru saj bertemu dan sudah menjadi akrab itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD