Daging rica-rica dan samcan

1495 Words
Yang Rou We duduk dengan wajahnya di tekuk saat semua keluarganya berkumpul di ruang tengah dan Yang Rou We menjadi objek mereka. "Siapa itu Hanan?" tanya ayah Yang Rou We yang duduk tepat di depannya. "Teman sekolahku," jawab Yang Rou We dengan wajah di tekuk. Dan melirik Yang Yuan yang duduk tidak jauh darinya. "Yang Rou We? Tidak perlu berbohong, semua orang di rumah ini tahu jika sekalipun kamu tidak perlu jalan dengan seorang laki-laki sejak dulu, jadi aku rasa dia buat hanya sekedar teman saja." "Ayah. Bagaimana aku bisa jalan dengan seorang laki-laki jika kalian semua melarang ku? Bahkan mas Yuan mengaku kepada semua laki-laki yang ingin mendekatiku jika dia kekasihku." "Kamu sudah tahu mengapa kami melakukan hal itu? Dan masih saja kamu pertanyakan itu." "Tentu aku sudah hafal di luar kepala,Yang Rou We kamu seorang wanita tidak bisa berhubungan dengan laki-laki terlalu bebas. Yang Rou We kamu tidak bisa sembarang mengenal laki-laki kamu harus mengetahui latar belakang keluarganya, kamu harus berhati-hati. Lebih baik kamu tidak menjalin hubungan dengan laki-laki jika ujungnya akan putus dan sakit hati. Kami akan mencarikan seseorang lelaki yang cocok untukmu, mapan dan tentunya sama seperti kita," kata Yang Rou We menirukan gaya bicara ayahnya. "Yang Rou We kamu mulai berani dengan ayah?" "Kapan aku menentang ayah? Aku hanya lelah ayah, aku sudah dewasa. Aku ingin menentukan jalan hidupku sendiri." "Dengan menjalin hubungan dengan Hanan, Hanan itu?" Yang Rou We tidak menjawab, dia malah melihat Yang Yuan, karena saudara laki-lakinya itu semuanya menjadi seperti ini. "Lihat kes sini?" kata ayah Yang Rou We dengan tegas. "Kamu serius dengan laki-laki itu hanya main-main dengannya, di usiamu yang sudah kamu anggap dewasa ini, tiap kali aku menanyakan perihal pernikahan selalu saja kamu menolaknya, apakah karena pemuda ini?" Yang Rou We tidak menjawab dia diam saja karena dia tidak ingin salah bicara dan memperparah keadaan. "Jawab?" "Ayah ingin jawaban apa dariku? Bukankah apapun yang keluar dari mulutku itu tidak akan pernah ada yang benar di mata semua orang." Yang Rou We langsung bangkit dan kembali menuju kamarnya, dia ingin menangis tapi egonya tidak mengijinkan air matanya tumpah di depan keluarganya. "Yang Rou We, kembali ...," Yang Rou We tidak menghiraukan panggilan dari ayahnya, dia tetap melangkahkan kakinya di anak tangga menuju kamarnya. Meski Yang Rou We sudah dewasa tapi dia masih seorang perempuan normal pada umumnya, dia akan pergi ke kamar dan mengunci dirinya saat dia tidak ingin di ganggu oleh pihak luar, dan tepat saat ini wajah Hanan terpampang nyata di layar ponselnya, namun untuk detik ini Yang Rou We tidak ingin menerima gangguan dari siapapun dalam bentuk apapun, dia hanya ingin sendiri, meskipun itu dari Hanan yang sudah menjalin hubungan lama dengannya. Masalah ini sebenarnya bukan berawal dari Hanan, permasalahan lama yang berlarut-larut dengan keluarganya karena permasalahan Yang Rou We sebagai anak perempuan dari keluarga minoritas di Indonesia, dan permasalahan utamanya tentu saja mencari pendamping hidup. Yang Rou We terisak sendiri di kamarnya yang remang-remang, dia sudah hidup penuh aturan saat dia mulai mengerti apa itu hidup. *** "Udah cantik, imut, mengemaskan, hidup lagi. bikin anak orang nggak bisa hidup dengan tidak memikirkan mu," kata Hanan sambil memainkan kedua pipi Yang Rou We dengan dua tangannya. Namun saat ini Yang Rou We tersenyum dengan terpaksa tidak bisa tersenyum lepas seperti biasanya yang membuat Hanan langsung menyadarinya. "Ada apa?" tangan Hanan langsung merubah mimiknya. "Tidak ada," jawab Yang Rou We dengan memaksakan senyumnya. "Kamu tidak pandai berbohong sayang," jawab Hanan. "Bukan apa-apa, tenanglah." "Ok. Jika kamu belum ingin menceritakannya padaku. Tidak apa tapi jika nanti kamu membutuhkan aku? Kamu harus ingat jika aku ada selalu untukmu." Hanan memeluk Yang Rou We yang masih berusaha tersenyum, namun jatuhnya nampak aneh karena senyuman itu sangat di paksakan, Yang Rou We melepaskan pelukannya saat notifikasi ponselnya berbunyi, saat dia membukakan Yang Rou We membuka matanya lebar karena itu adalah gambarnya sendiri dengan Hanan yang baru saja berpelukan, dan sebuah pesan menyusul di bawahnya. (P U L A N G) Yang Rou We menelan ludahnya, karena jika ini pedan dari Yang Yuan mungkin Yang Rou We tidak akan panik dan terkejut seperti ini, tapi pesan ini dia terima langsung dari ayahnya, Yang Rou We tidak ingin mengecek sekelilingnya, karena kemungkinan besar ayahnya juga ada di tempat ini dan melihat apa yang dia lakukan dengan Hanan, Yang Rou We tidak sanggup bertemu dengan tatapan ayahnya saat Yang Rou We tertangkap basah seperti ini. "Maaf, aku harus pulang," kata Yang Rou We sambil memasukkan ponsel dan beberapa barang kecil lainnya yang ada di atas meja. "Kenapa terburu-buru?" Hanan binggung karena tiba-tiba Yang Rou We ingin pergi padahal mereka akan nonton di bioskop hari ini. "Lain kali saja kita nonton, aku harus pulang?" "Ada masalah di rumah?" "Tidak, aku hanya melupakan sesuatu di rumah." "Baiklah, baiklah. Apa perlu aku antar?" "Tidak usah, aku bisa sendiri." "Hati-hati di jalan," kata Hanan masih dengan wajah binggung namun dia juga tidak bisa berbuat banyak. Yang Rou We dengan cepat sampai di rumah dan dia tidak mendapati ayahnya di kursi kebesarannya, Yang Rou We langsung pergi ke lantai atas untuk membersihkan dirinya, menghilangkan pengaruh buruk setelah dari luar rumah, Yang Rou We juga mengganti pakaian kerjanya dengan piyama, dan mempersiapkan diri jika ayahnya akan menghujaninya lagi dengan begitu banyak pertanyaan, Yang Rou We sudah mempersiapkan dirinya. Tapi Yang Rou We tidak mendengar jika ayahnya sudah pulang, setelah dia mandi dan bebersih di dalam kamar, dia memutuskan untuk turun melihat apa yang terjadi di bawah, dia menapaki tangga dengan pelan sambil melihat sekeliling nampak damai tidak terjadi, nampaknya ayahnya belum pulang, dia melihat saudara laki-lakinya sedang menonton acara bola di ruang tengah dan ibunya terlihat ada di dapur menyiapkan makan malam untuk mereka. Yang Rou We memutuskan untuk menghampiri ibunya dan menawarkan bantuan, "Ibu masak apa?" tanya Yang Rou We berdiri di samping ibunya yang sedang sibuk memasak dengan celemek di dadanya. "Ayah yang minta di masakin daging babi rica-rica dan samcan," jawab wanita itu sambil terus menambah bumbu di dalam tulisannya. Samcan (satu potongannya terdiri dari 3 lapisan, daging, lemak dan kulit). "Tidak biasanya ayah request makanan?" "Ayah bilang jika hari ini ada tamu." "Saudara?" "Bukan." "Lalu?" tanya Yang Rou We penuh selidik. "Kurang tahu, tapi sebentar lagi ayah datang. Jangan melihat saja bantu ibu, nanti keburu ayahmu datang." "Baik," jawab Yang Rou We dengan lemah, niatan untuk membantu pekerjaan ibunya di dapur sudah memudar karena ibunya tidak hanya menyiapkan makanan untuk mereka makan malam melainkan untuk orang lain juga. Yang Rou We tidak mengunakan apron untuk melindungi piyama yang baru saja dia ganti. Yang Rou We juga mengikat rambutnya tinggi agar tidak menggangu saat dia berkecimpung dengan hal-hal di dapur. Jika bisa memiliki dia ingin kembali ke kamarnya dan tidak membantu pekerjaan ibunya, karena satu pikiran terbesit di otak Yang Rou We jika makanan ini di siapkan oleh ibunya untuk tamu ayahnya, dan itu bisa jadi dan mungkin bisa terjadi untuk laki-laki yang akan di jodohkan untuknya, itu sangat menyebalkan untuk Yang Rou We, apalagi lagi nanti di meja makan ayahnya dengan bangganya mengatakan jika masakan ini di masak oleh Yang Rou We sendiri, Yang Rou We menggerutu di dalam hatinya, betapa menyebalkan hal itu. "Gooooooolllll ....," teriak Yang Rou saat dia menonton grup sepakbola kesukaannya mencetak gol, Yang Rou We dan ibunya saling mengelengkan kepalanya tanpa melihat satu sam lain. Setelah suara Yang Yuan yang menggema sampai ke dapur Yang Rou We mendengar suara bel rumah mereka berbunyi. "Kakak Yuan, buka pintunya," kata Yang Rou We yang tangannya masih berbalut dengan tepung, karena dia sedang menggoreng ayam dan tempe yang di balut dengan tepung basah dan kering. "Aku sedang menonton," jawab Yang Yuan setengah berteriak tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar televisi di depannya. "Aku sedang masaaaakkk ...," Yang Rou We membalas teriakan Yang Yuan. Jujur dia malas jika dia yang harus membuka pintu dan tamu itu adalah tamu yang dia bicarakan oleh orang tua Yang Rou We. "Biarkan ibu saja," jawab ibu Yang Rou We di sampingnya, Yang Rou We menoleh dan melihat jika ibunya sedang memasak samcan. "Tidak biar Rou We saja," dengan terpaksa Yang Rou We yang membuka kebukakan pintu karena dia tidak ingin di tinggal di dapur sendirian mengantikan apa yang sedang di kerjakan ibunya. "Jika begitu cepatlah jangan buat tamu kita menunggu," kata ibunya yang membuat Yang Rou We mengurungkan niatnya untuk mencuci satu tangannya yang kotor dan melaporkan apron yang dia gunakan. Meski Yang Rou We sudah mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih tapi saat ini Yang Rou We nampak sangat seperti ibu rumah tangga, apron menggantung di lehernya, rambut yang di ikat seadaanya, dan satu tangan yang masih dengan tepung yang menempel. Dia membuka pintu dan melihat pemuda yang sedang menghadap ke samping tersenyum pada orang yang duduk di kursi di depan rumah, Yang Rou We tidak melihat dia tersenyum pada siapa karena wajah pemuda itu yang nampak dari samping saja sudah membuat efek kejut yang sangat besar. "Hanan ...?! Yang Rou We membulatkan matanya, dia belum percaya dengan apa yang dia lihatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD