Untuk pertama kalinya membangkang

1044 Words
Tidak ada senyuman sedikitpun di wajah Hanan saat ini, dia mengikuti bimbingan namun otaknya beku sama sekali tidak bisa bekerja sama, yang terpenting dia hadir dan itu menyelesaikan satu masalahnya, setidaknya dia sudah melewati satu pertengkaran dengan ibunya, meski hatinya lebih parah dari itu, saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hari ini jarum jam berjalan begitu sangat lambat untuk Hanan, dia sangat jenuh di ruangan ini dan terus melihat arah keluar jendela. Setelah dua jam yang menyiksa ini akhirnya Hanan bisa terbebas dan dia bisa pulang, namun saat ini dia tidak ingin segera pulang, dia masih ingin menghirup udara malam ini. Dia seorang anak dari seorang ibu yang punya 1001 peraturan untuk Hanan, Hanan harus mengikuti semua yang ibunya katakan, dari hal terkecil dalam hidupnya, misalnya sabun yang dia gunakan untuk mandi sampai yang terbesar dalam hidupnya yaitu jurusan pendidikan yang dia ambil, Hanan sama sekali tidak memiliki Besik kedokteran namun hanya mereka dari keluarga dokter, Hanan juga harus menjadi seorang dokter nantinya, apalagi ibunya seorang kepala rumah sakit. Namun yang tidak di mengerti oleh Hanan ibunya seorang orang tua tunggal dengan pekerjaan yang menggunung namun dia masih bisa membagi waktu untuk mengatur sedetail mungkin kehidupan Hanan dari Hanan merangkak sampai saat ini sudah hampir masuk universitas, tidak ada secuil pun yang terlewat yang tidak di ketahui dan lepas pengawasan dari wanita itu. Sampai detik ini Hanan hanya bisa makan mi instan dan soda saat tanggal 1, dan itu tidak bisa lebih dari dua bungkus saja, Hanan sangat iri pada temannya yang bisa makan mi instan kapanpun asalkan mereka punya uang untuk membelinya, mereka menengah kebawah namun bisa makan apapun yang mereka inginkan, sedangkan Hanan, uang jajannya lebih dari cukup namun hanya bisa menelan ludah dengan makanan-makanan di pinggir jalan. Hanan sudah menghentikan sebuah taksi, tangannya sudah akan membuka pintu mobil itu namun di detik selanjutnya dia mengurungkan niatnya. "Maaf pak, tidak jadi," Hanan meminta maaf pada supir taksi itu dan dia kembali berjalan di trotoar jalanan yang masih ramai dengan pejalan kaki yang menikmati suasana malam yang indah. Hanan sangat jarang berjalan kaki karena dia akan selalu tepat waktu untuk pulang, jadi dia hanya bisa menikmati pemandangan ini dari dalam mobil, dan kali ini dia bisa merasakannya, sebuah kebebasan, Hanan tersenyum saat melihat sebuah asap mengepul dari seorang pedagang kaki lima yang sedang membakar sate kelinci. "Bang 5 tusuk," ucap Hanan pada penjual itu, dan tidak berselang lama pesanannya jadi, Hanan tidak memakannya di tempat karena tempat itu penuh dengan pasangan-pasangan yang sedang menghabiskan waktu bersama, itu sangat menusuk mata bagi seorang yang tidak memiliki pasangan seperti Hanan. Dia berjalan sambil menggigit satu persatu tusukan sate di tangannya, "Tidak buruk," kata Hanan sambil menghabiskan maknanya. "Ada angkringan," gumam Hanan, dia berbinar karena makanan ini salah satu yang jarang bisa dia makan, dan tanpa pikir panjang dia langsung menghampiri angkring itu, begitu banyak menu yang di sajikan, Hanan hanya mengambil beberapa, meskipun dia ingin Hanan tidak yakin jika rasanya akan cocok dengan lidahnya dan juga masih banyak deretan penjual kaki lima yang akan dilewati oleh Hanan, uangnya mungkin lebih dari cukup namun perutnya mungkin yang tidak bisa menampung semuanya. Duduk di trotoar berhadapan langsung dengan banyak kendaraan yang lalu lalang, dia menikmati makanan yang merakyat yang amat jarang dia makan sampai dia berumur 18 tahun, sambil mengunyah makanannya Hanan tersenyum kemudian menundukkan kepalanya, pundaknya bergoyang karena senyuman itu sudah berubah menjadi sebuah ketawa kecil. "Jadi seperti ini rasanya bebas, kenapa tidak aku lakukan sejak dulu, Setidaknya sesekali aku menjadi anak yang pembangkang." Hanan belum puas bersenang-senang, dia kembali menyusuri trotoar dan mencari makanan yang menurutnya menarik. "Mi? Mi instan?" gumam Hanan melihat mi instan yang ditata rapi menjulang tinggi, setinggi satu meter. Dan pengunjung bisa mengambil sendiri mi apa yang akan di masak dan toping apa saja yang bisa menjadi pendampingnya, Hanan belum pernah melakukan ini dia melihat cara pengunjung melakukannya, dan Hanan mengikutinya. Dia mengambil mangkuk yang sudah di sediakan, mengambil satu bungkus mi instan dari bawah makan itu akan terisi lagi dengan cepat, sebagai pendampingnya satu telur, bakso dan sosis itu sudah akan meramaikan mangkoknya nanti. Mi instan itu tidak butuh waktu lama sudah terhidang kan di depan Hanan, Hanan sangat antusias dengan ini, ini adalah makanan sederhana yang biasa di makan anak kos namun bagi Hanan ini adalah makanan istimewa yang bisa di dapatkan sebulan sekali. Yang ada di otak Hanan sekarang hanya ingin menikmati hidup jika nanti dia pulang dan harus berhadapan dengan nyonya besar akan di pikirkan nanti yang terpenting saat ini moodnya bisa kembali baik dan dia bisa menjalani hidupnya kembali seperti sebelumnya, sebelum dia bertemu dengan seorang gadis yang sudah masuk dalam sanubarinya namun pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tidak ..., Hanan yang menjauhinya, karena dia tidak ingin. menjadi pihak ketiga dalam hubungan orang lain, ini semua bukan salah Yang Rou We namun itu semua karena perasaan yang tidak bisa di tolak kedatangannya, luka yang di buat sendiri oleh Hanan karena menyukai wanita yang sudah memiliki orang lain di dalam hatinya. Pukul sepuluh malam, Hanan masih berjalan di trotoar, suasana masih ramai namun tidak seramai tadi, ponselnya berdering dan dengan malas Hanan mengangkatnya. "Ya," ucap Hanan lesu, moodnya seketika berubah saat dia melihat nama pemanggil di layar ponselnya. "Di mana?" "Di jalan," jawabnya lirih. "Kenapa terlambat?" "Aku dalam perjalanan pulang." "Naik apa?" "Jalan kaki." "Pakai otakmu? Mau jam berapa kamu sampai rumah? Besok pagi?" Hanan tidak menyahut dia hanya diam saja mendengar ibunya sudah naik darah. Dia tetap berjalan santai dan menendang kaleng soda yang sudah dia kosongkan. "Cepat cari taksi, ibu tunggu di rumah," Hanan tidak menyahut lagi, dia malah membuka kaleng soda selanjutnya dan meneguhkan sampai tumpah melalui sisi bibirnya. "Apa kamu mendengarkan ibu?" Wanita itu semakin membentak ibu. "Iya," jawab Hanan amat lirih, itu amat berbanding terbalik dengan ibunya. Hanan bersendawa sangat keras, dan itu rasa soda memenuhi hidungnya karena sudah menghabiskan tiga kaleng soda, dan dia tersenyum menikmatinya. Itu hal kecil yang menyenangkan untuk seorang anak dokter seperti Hanan, yang minum soda di batasi, tidak boleh makan ini tidak boleh mengkonsumsi itu, sangat memuakkan, dia begitu iri pada orang-orang yang bisa menikmati apapun yang bisa mereka beli dan ingin mereka nikmati tanpa takut dengan kolesterol, hipertensi, MSG dan lainnya yang harus di hitung dulu oleh ibunya sebelum masuk ke dalam pencernaan Hanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD