Bertemu dengan Alwa

1081 Words
Mourent melipat kedua tangannya sambil melihat Hanan yang nampak menikmati makanan khas Banyuwangi dengan lahap, dia tidak bisa berhenti makan walupun sejenak karena jika berhenti rasa pedas ini akan semakin membakar mulutnya. "Ini enak, tapi untukku terlalu pedas," ucap Hanan sambil mengunyah suapan terakhir dari piring di depannya. Mourent hanya tersenyum kemudian menyodorkan teh hangat pada Hanan. Sebenarnya Mourent ingin mengajak Hanan menikmati pesona alam Banyuwangi, tapi sayangnya itu tidak akan cukup, besok lagi mereka harus menghadiri acara itu dan malamnya sudah harus kembali ke Jogja, waktunya tidak akan cukup untuk bersenang-senang, jadi Mourent mengajak Hanan berburu kuliner yang tidak jauh dari rumah orang tua Mourent. "Kamu bisa masak makanan seperti ini?" tanya Hanan pada Mourent. "Emm bisa, tapi tidak yakin jika bisa sama persis dengan yang di jual di sini, karena setiap penjual punya resep mereka sendiri-sendiri." "Setidaknya itu mirip." "Itu masih bisa di konsumsi." "Aku tidak meragukan masakanmu," jawab Hanan. Mereka harus pergi karena mereka harus gantian dengan orang yang juga ingin makan di rumah makan ini. Hanan dan Mourent berjalan dan melewati pasar induk. Begitu banyak pedangan kaki lima yang berjejer hingga menutupi trotoar hingga menyisakan sedikit untuk pejalan kaki. "Ramai sekali?" ucap Hanan sambil melihat hiruk pikuknya pasar, padahal mereka hanya ada di luar tidak masuk ke dalam. "Ini pasar induk, tentu saja ramai," jawab Mourent, Mourent yang tidak ingin berpisah dengan Hanan karena ramainya pasar, berinisiatif untuk meraih tangan Hanan dan menggenggamnya. Mourent pura-pura tidak melihat saat Hanan melihatnya, dia sedang mengalihkan pandangannya sambil terus berjalan bersama dengan banyak orang di sana. Dan Mourent tersenyum karena Hanan tidak ada tanda-tanda jika dia risih dan ingin melepaskan genggaman tangannya. "Kita baru apa?" tanya Hanan. "Tidak tahu, lihat saja apa yang mungkin ada yang menarik maka kita akan beli dan makan itu," jawab Mourent tanpa melihat ke arah Hanan, di celingukan mencari sesuatu yang bisa membuatnya tertarik, dia juga menghindari bertatapan dengan Hanan karena Mourent masih malu dengan dia yang mengambil langkah pertama untuk bergenggaman tangan. "Itu ...?" gumam Mourent sambil melihat wanita berkerudung yang sedang mengendong seorang balita dengan kain batik. "Siapa? Kamu kenal?" tanya Hanan. "Jika tidak salah ingat, wanita itu ibunya A Wan," jawab Mourent dengan masih melihat wanita berhijab tidak jauh dari mereka. "Ibunya A Wan, kamu kenal ibunya juga?" tanya Hanan heran. "Aku tidak kenal, aku hanya pernah bertemu bulan lalu." "Di mana?" "Coffee shop di mana A Wan bekerja." "Jogja?" tanya Hanan kaget. "Iya beberapa minggu yang lalu saat ibu Hanan berkunjung ke Jogja." "Maksudnya, A Wan juga dari Banyuwangi?" Mourent mengangguk, mengiyakan. Tempat itu cukup ramai, Mourent melihat jika wanita itu cukup kerepotan dengan baik mengendong balita dan tangannya membawa belanjaan, meski nampak tidak berat namun itu cukup banyak. "Buk ...," Mourent masih menyapa Alwa yang berdiri di samping becak motor, karena ada memanggilnya Alwa menoleh. "Ya ...," jawab Alwa, dan melihat seorang wanita sedang menyapanya, Alwa menjawab Mourent namun sambil mengerutkan keningnya karena tidak cukup ingat pada Mourent yang berdiri di depannya. "Siapa ya?" tanya Alwa. "Saya Mourent, temennya A Wan di Jogja," jawab Mourent. "Teman A Wan, di Jogja?" alwa malah balik bertanya. "A Wan jarang punya teman perempuan, saya hanya tau teman A Wan nyanyi, itupun tak kenal!" jawab Alwa jujur. "Perkenalkan saya Mourent dan ini suami saya." "Ooo ... Miss Mourent?! Tahu kalo itu gurunya A Wan." "Eee ... iya?" jawab Mourent sambil nyengir, rasanya aneh di panggil Miss oleh orang yang bukan peserta di kelasnya. "Ini suami Miss Mourent yang pernah kecelakaan itu? Sekarang sudah pulih?" tanya Alwa. "Sudah, Alhamdulillah," jawab Mourent sambil saling pandang dengan Hanan. "Alhamdulillah," sahut Alwa. Mourent melihat Hanan, mereka saling memberi isyarat tentang bagaimana ibu A Wan bisa tahu bagaimana Hanan pernah kecelakaan, mungkin saja A Wan bercerita pada ibunya, dan ibunya memiliki ingatan yang bagus hingga masih ingat kejadian beberapa bulan yang lalu itu. "Jika tidak salah, kita pernah bertemu sebelumnya di restoran di mana A Wan berkerja?" tanya Alwa, mencoba mengingat pertemuan pertamanya dengan Mourent beberapa minggu yang lalu. "Iya, tapi kita tidak sempat bertukar sapa." "Ibu belanja sendirian saja?" tanya Mourent. "Tidak, ini sama cucu ibu. Tapi dia tidur," jawab Alwa sambil menunjuk Karim yang tidur di dalam gendongannya, namun Mourent dan Hanan tidak bisa melihat wajah Karim karena Alwa menutupi dengan kain tipis agar sinar matahari tidak menerpa balita yang sedang tidur itu. "Ibunya kemana? sampai bawa bayi ke pasar?" "Ibunya lagi kerja, dia udah biasa saya bawa ke pasar, mampir Miss ke rumah ibu. Dekat dari sini." "Terimakasih kasih Bu, lain kali saja." "Iya nanti jika A Wan ada di rumah, tapi sayangnya itu pasti masih lama." "Saya juga jarang pulang kampung, karena sekarang sudah menetap di Jogja." "Ikut suami?" "Iya!" "Suaminya ganteng," ucap Alwa terus terang, dia masih bicara lemah lembut seperti biasanya dan tidak pernah tidak tersentuh sangat berbeda dengan A Wan yang sangat dingin. "Cucu Ibuk juga ganteng." "Terimakasih, dia memang ganteng, keturunan dari ibunya yang cantik." Mereka sudah cukup mengobrol dan Alwa pamit pergi dulu karena banyak hal yang harus dia lakukan sebelum keberangkatannya ke Jepang. Alwa menyempatkan waktu pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan yang sulit bahkan mungkin tidak bisa di temukan di Jepang, seperti ikan asin, terasi, sambal kacang, Alwa juga membawa beberapa rempah. "Ibu A Wan tidak bicara omong kosong saat dia mengatakan jika cucunya tampan," ucap Mourent sambil melihat wanita itu sudah naik becak motor dan melambaikan tangannya pada Hanan dan Mourent. "Kamu pernah melihatnya?" tanya Hanan. "Sekali, saat aku melihatnya di coffee shop tempat A Wan bekerja." "Bukankah semua anak kecil itu imut dan menggemaskan?" "Benar, tapi anak itu sangat tampan, pasti orang tuanya bibir unggul. Kamu lihat kakinya sangat putih, seperti memiliki darah timur, padahal ibu A Wan dan A Wan memiliki kulit khas lokal. Kuning Langsat." "Mungkin salah satu orang tuanya ada yang memiliki keturunan bule." "Kalo menurutku malah seperti Asia timur, aku penasaran dengan orang tuanya. Aku belum pernah bertemu sama sekali." "Tapi aku tidak menyangka dengan A Wan, laki-laki dingin seperti dia yang sedikit bicara bisa membahas kamu dengan ibunya, bahkan tentang kecelakaan ku juga," ucap Hanan sambil kembali melangkahkan kakinya kembali menyusuri jalan yang padat itu. "A Wan sangat berbeda jika dia sudah bersama dengan ibunya, terlebih pada anak kecil itu, dia bisa banyak bicara dan terus tersenyum." "Kamu tahu banyak tentang A Wan?" Hanan melirik Mourent. "Itu karena aku pernah melihat sedang video call dengan balita itu." Mereka menyudahi obrolan tentang A Wan dan keluarganya setelah melihat warung soto yang nampak ramai, mereka berniat masuk untuk menyudahi pencarian mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD