Positif

2143 Words
Sudah lima bulan sejak Yang Rou We dan Hanan sama-sama keluar dari rumah, mereka hidup bersama meski tidak satu atap, karena kosan mereka berdekatan mereka bisa pergi bekerja bersama dan Hanan selalu menyempatkan waktu untuk menjemput Yang Rou We di kala dia tidak di kepung oleh jadwal padat rumah sakit. Yang Rou We bekerja dengan baik dan mulai menabung karena dia tahu saat ini dia sedang mengandalkan punggungnya sendiri untuk segala kebutuhannya sendiri dari hal kecil hingga untuk kebutuhan besar, meski saat ini ada Hanan yang selalu mendampinginya tapi Yang Rou We tidak ingin bergantung padanya, kembali lagi karena Yang Rou We ingin mandiri, berdiri dengan kakinya sendiri jangankan Hanan, Yang Rou We pun tidak ingin menerima bantuan dari ayahnya. Hari ini Hanan menjemput Yang Rou We dan mereka akan makan malam terlebih dahulu namun Yang Rou We menemukan sesuatu yang lain dari wajah Hanan. "Ada apa?" tanya Yang Rou We sambil menggenggam tangan Hanan. "Tidak ada?" jawab Hanan mencoba menipu Yang Rou We dengan senyuman palsunya. "Hanan, kamu bodoh soal berbohong." Yang Rou We sudah menemukannya jika Hanan sedang berbohong, akhirnya mau tidak mau Hanan mengaku namun dia tidak tahu harus memulainya dari mana. "Apa?" Yang Rou We sedikit memberikan dorongan agar Hanan sedikit terbuka padanya. "Ibu menyuruhku pulang," kata Hanan setelah sekian lama. "Bagus dong?" jawab Yang Rou We. "Bagus apanya?" tanya Hanan balik. "Memangnya apa yang dia minta oleh ibumu?" Hanan tidak langsung menjawab, dia cukup binggung menjelaskannya. "Ibu menyuruhku pulang, jika tidak mungkin ijin praktek ku akan di cabut," kata Hanan dengan suara lirih. "Hanya itu?" Yang Rou We memastikan. "Iya, hanya itu." "Bukankah itu bukan hal yang besar, mungkin ibumu sudah terlalu lama berpisahnya denganmu, dan dia merindukanmu." "Tidak ada yang bisa menebak apa yang ada di otak ibuku, meski ini nampak biasa dan sepele, namun siapa yang tahu rencana apa yang dia pikirkan untuk ku." Yang Rou We juga ikut merenung, dia tidak bisa ikut andil di antara ibu dan anak itu. "Aku masih ingin bekerja. Sebenarnya aku memiliki satu kejutan untukmu namun ini mungkin tidak akan menjadi kejutan lagi karena aku mengatakannya." "Apa? Kejutan apa?" "Aku sudah membayar sebagian sebuah apartemen, aku ingin kita menempatinya nanti setelah kita menikah, tapi jika aku tidak bisa bekerja uang muka itu mungkin akan hangus, tapi aku juga tidak ingin pulang. Tapi jika aku tidak pulang aku tidak bisa bekerja lagi. Meski aku masih bisa bekerja di pekerjaan lainnya namun itu mungkin akan memakan banyak waktu dan aku tidak bisa melunasi apartemen itu tepat waktu." Hanan sejak awal memang mengandalkan bantuan dari ibunya, dia juga bekerja di rumah sakit yang sama dengan ibunya, dia masih bergantung secara tidak langsung, ibunya yang sebagai kepala rumah sakit bisa melakukan apa saja pada Hanan, ibunya bisa mencabut ijin praktek Hanan, meskipun Hanan tidak melakukan kesalahan apapun, meski Hanan membawa ini di jalur hukum itu tidak akan membuahkan hasil karena kekuasaan ibunya mengatakan segala sangat tidak sebanding dengan Hanan yang hanya seorang dokter muda yang masih berkembang. "Lalu bagaimana sekarang?" tanya Yang Rou We. "Aku akan tetap pada pendirian ku, aku sudah tidak ingin bergantung pada ibu, jika dia ingin mencabut ijin praktek ku, biarkan saja aku tidak akan melawannya, karena yang ingin aku menjadi dokter itu dia bukan aku." "Lalu, apa rencanamu selanjutnya jika kamu sudah tidak bekerja lagi?" Yang Rou We bukan menghawatirkan kehidupannya nanti jika dia menikah dengan Hanan, namun dia memikirkan bagaimana Hanan akan menjalani sisa hidupnya tidak menjadi dokter, karena dia bekerja keras selama ini untuk menjadi sekarang, perjuangannya cukup panjang hingga membuat Hanan berdiri di tempat ini. "Apa kamu meremehkan aku?" Hanan menggoda Yang Rou We dengan memasang wajah tersinggung. "Bukan begitu, aku hanya bertanya." Hanan tersenyum setelah menggoda Yang Rou We, dia menangkup pipi Yang Rou We dan menggoyangkan kepalanya. "Kekasihmu ini bisa di andalkan, kamu tidak perlu menghawatirkan aku." "Aku tahu kamu bisa di andalkan, aku hanya bertanya kamu punya pandangan apa tentang pekerjaan lainnya, yang mungkin bisa menghasilkan uang setara dengan dokter, kamu sudah biasa punya gaji besar, apakah tidak apa-apa memulainya lagi dari awal." "Apa kamu lupa? Jika kekasihmu ini berbakat dalam bidang seni?" kata Hanan sambil menaikkan alisnya beberapa kali, setelah Hanan mengatakan hal itu Yang Rou We ingat jika jika Hanan pandai dalam bidang seni. "Bagaimana aku bisa melupakannya, padahal karena keahlian mu yang mempertemukan kita." "Kamu sangat cantik," kata Hanan dengan wajah serius. Karena Hanan teringat jika dia jatuh cinta pada pandangan pertama, saat Yang Rou We harus dia gambar waktu itu. "Terimakasih," jawab Yang Rou We berpose imut di depan Hanan. "Betapa mengemaskannya gadis ini," Hanan mencuri cubitan di pipi yang membatu Yang Rou We merasa kesakitan. "Sakiiiiiittt ...," protes Yang Rou We. "Habisnya kamu mengenaskan sekali," kilah Hanan. Mereka sedang menikmati waktu mereka berdua, sampai mereka tidak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang menyaksikan mereka berdua, sepasang mata penuh kebencian sedang memperhatikan interaksi Hanan dan Yang Rou We. "Apa kamu ingin jadi pelukis, ikut galeri atau mungkin pelukis jalanan?" tanya Yang Rou We kembali ke permasalahan utama. "Dunia seni itu luas, aku punya bakat menggambar tidak hanya melulu menjadi seorang pelukis, karena masih banyak bidang yang membutuhkan keahlian ku." "Apa?" "Emm, aku bisa berkolaborasi dengan seorang penulis, dia punya cerita dan aku yang akan menjadikan cerita itu dalam bentuk gambar, dan jadilah sebuah komik. Aku juga bisa melamar pekerjaan di media, televisi, perusahaan, kemanapun. Karena sesungguhnya dunia seni itu luas, dunia yang maju ini akan banyak membutuhkan desain gambar." "Kenapa pikiranku tidak sampai ke sana?" Yang Rou We mengaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal. *** "Wajahmu pucat sekali," kata Hanan saat berkunjung ke kosan Yang Rou We, dia membawaku bubur ayam kesukaan Yang Rou We. "Mungkin aku kira Kecapean kurang istirahat saja," jawab Yang Rou We sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. "Apa kamu sakit?" tanya Hanan sambil meriksa keadaan Yang Rou We. "Aku hanya butuh istirahat," jawab Yang Rou We. Hanan tidak merasakan jika suhu tubuh Yang Rou We naik, namun wajah pucat Yang Rou We membuatnya khawatir. "Kamu yakin jika kamu baik-baik saja?" Hanan memastikan. "Aku baik-baik saja." "Baiklah aku percaya," jawab Hanan meski sebenarnya dia tidak sepenuhnya percaya dengan Yang Rou We, karena wajahnya benar-benar pucat, seperti seseorang yang tidak memiliki daya sama sekali. "Makanlah, aku sudah membakar bubur ayam kesukaanmu," Hanan menyodorkan bubur itu pada Yang Rou We, namun Yang Rou We dengan cepat menolaknya. Dia mengeleng tidak menerima makanan yang biasanya paling dia tidak bisa tolak. "Kenapa?" "Aku tidak ingin makan apapun," jawab Yang Rou We dengan malas. "Bukankah ini makanan favoritmu?" Hanan merasa heran karena ini untuk pertama kalinya Yang Rou We menolak makanan yang dia bawakan terlebih ini makanan favoritnya. "Aku sedang tidak ingin makan apapun saat ini?" "Kenapa, tidak nafsu makan?" "Sepertinya." "Kapan terakhir makan? Pagi tadi?" "Pagi, tapi kemarin," jawab Yang Rou We malas-malasan. "Makan apa?" Hanan menanyai Yang Rou We sampai tuntas, Yang Rou We yang malas berbicara dengan malas masih menjawabnya. "Yougert," jawab Yang Rou We malas. "Itu bukan sarapan namanya, yougert cuma makanan pendamping saja. Ayo sekarang makan, mungkin sekarang kamu tidak sakit tapi jika kamu tidak makan maka asam lambung bisa naik dan kamu bisa sakit." Hanan membuka bubur itu dan mengambil sendok penuh dengan bubur, menyodorkannya pada Yang Rou We, Yang Rou We sama sekali tidak memiliki nafsu makan, namun Hanan sudah menyodorkannya di depannya, mau tidak mau Hanan membuka mulutnya dan mulai mengunyah, dengan susah payah Yang Rou We menelan satu suapan itu. "Sudah, cukup," kata Yang Rou We saat Hanan akan menyuapinya dengan satu sendok lagi. "Cukup apanya, satu sendok bubur itu masih belum sampai ke lambung, bagaimana bisa kamu sudah mengatakan cukup?" "Aku tidak ingin makan lagi, itu tidak enak," kata Yang Rou We sambil menjauhkan wajahnya dari sendok teh berisi bubur di tangan Hanan. "Benarkah?" tanya Hanan penasaran karena bubur ini dia beli di tempat biasa mereka beli, bagaimana bisa rasanya tidak enak. Hanan mengambil satu suapan dan merasakannya. "Ini enak," jawab Hanan, setelah merasakan satu suapan bubur ayam itu. "Itu tidak enak," balas Yang Rou We. "Sekali lagi," kata Hanan sambil menyodorkan satu sendok lagi, karena dorongan dari Hanan, Yang Rou We kembali memakan satu suapan namun kali ini Yang Rou We gagal menelannya, karena sebelum dia menelan suapan kedua yang masih ada di rongga mulutnya, perut Yang Rou We serasa di aduk dan akan mengeluarkan isinya. Yang Rou We berlari ke kamar mandi yang membuat Hanan binggung, "Kamu kenapa?" tanya Hanan sambil mengikuti langkah Yang Rou We. Yang Rou We tidak menjawab pertanyaan dari Hanan, dia masih sibuk berurusan dengan isi perutnya, tanpa rasa jijik Hanan berdiri di samping Yang Rou We, memegang rambut Yang Rou We yang menjuntai agar tidak kotor. Setelah melihat Yang Rou We sedikit baikan dan tidak lagi mengeluarkan isi perutnya, barulah Hanan bertanya. "Bagaimana perasaanmu? Bagian mana yang terasa tidak nyaman?" Yang Rou We tidak perlu pergi ke dokter karet kekasihnya sendiri adalah seorang dokter. "Mual," jawab Yang Rou We. "Berbaringlah, aku akan memeriksamu." "Tidak perlu," jawab Yang Rou We. "Berapa kali harus aku ingatkan, aku ini dokter sayang," Hanan sedikit tersinggung meski hanya bercanda karena profesinya tidak di hargai oleh Yang Rou We. "Aku tahu aku kenapa," kata Yang Rou We lemah. "Kamu sakit apa?" tanya Hanan serius. "A-aku, aku telat datang bulan," kata Yang Rou We cukup lirih, tapi Hanan masih bisa mendengarnya. Dia tidak menunjukkan respon, tapi setelah beberapa saat akhirnya Hanan memeluk Yang Rou We. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa," kata Hanan sambil menyisihkan surai Yang Rou We yang menutupi wajahnya. "Kamu yakin?" "Ya aku yakin, telat berapa bulan?" tanya Hanan masih dengan memeluk Yang Rou We. "Aku telat tiga bulan ini." "Kamu sudah mengetesnya dengan tes kehamilan?" "Aku sudah membelinya, tapi aku takut untuk mengunakannya," jawab Yang Rou We jujur. "Tidak perlu takut, ada aku. Kita lihat sama-sama." "Bagaimana jika positif?" "Apapun hasilnya, itu tidak akan merubah cintaku padamu," jawab Hanan semakin memeluk tubuh Yang Rou We. "Tapi Hanan, kita masih seperti ini. Keadaannya belum memungkinkan?" "Lalu apa? Apakah ada jalan lain selain menerimanya dengan lapang d**a dan mengambil semua resiko yang ada?" "Aku takut karena keadaan kita yang masih seperti ini, kamu menyuruhku untuk ...." "Jangan katakan hal itu," Hanan menaruh jari telunjuknya di bibir Yang Rou We. "Aku seorang dokter, aku menyelamatkan nyawa bukan membunuh." "Terimakasih," jawab Yang Rou We membalas pelukan Hanan. "Ayo kita pergi USG," tawar Hanan. "Ini masih terlalu dini, aku saja belum memastikan jika aku benar-benar positif." "Jika begitu lakukan sekarang, apa perlu bentuanku?" Hanan menawarkan diri namun dengan cepat di tolak Yang Rou We. "Tidak, aku bisa melakukannya sendiri." Yang Rou We melapangkan pelukan Hanan untuk mengambil alat tes kehamilan sederhana yang dia beli kemarin. Jika di bilang gugup Hanan yang menunggu Yang Rou We di luar gugup, jika saja bisa memilih untuk saat ini tentu Hanan akan memiliki negatif, tapi jika benar Yang Rou We positif, maka dia akan menerimanya dengan sepenuh hati. Hanan menoleh pada Yang Rou We yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan alat kecil berwarna putih itu. "Bagaimana?" tanya Hanan tidak sabar menunggu Yang Rou We bicara karena dia hanya diam saja tidak lekas bicara saat keluar dari kamar mandi. "Aku tidak tahu, aku belum melihatnya," Pandangannya lurus ke Hanan, Yang Rou We tidak berani melihat apa yang ada di tangannya. "Biar aku yang melihatnya," kata hanan sambil mengulurkan tangannya, Yang Rou menyerahkan alat putih lebih besar sedikit dari jarinya, Yang Rou We menyerahkan alat itu dengan keadaan tengkurap agar Yang Rou We tidak melihat garis yang menunjukkan hasilnya. Dia adalah orang yang paling gugup karena satu garis saja sudah akan merubah banyak kehidupan yang harus di jalani Yang Rou We selanjutnya. "Peluk aku," kata Hanan sambil membuka tangannya lebar-lebar untuk Yang Rou We. "Kamu belum melihatnya? Kenapa menyuruhku memelukmu?" tanya Yang Rou We binggung dengan Hanan. "Bukankah aku sudah mengatakan, aku akan tetap mencintaimu apapun hasilnya," kata Hanan dengan senyuman lebarnya. "Lihatlah dulu," kata Yang Rou We tidak sabar namun dia tidak bisa melihatnya sendiri. Takut dan cemas jadi satu. "Baiklah," Hanan melirik sedikit apa yang ada di tangannya, kemudian menaruh alat itu di meja, dan kembali merenggangkan tangannya untuk Yang Rou We. "Bagiamana?" tanya Yang Rou We tapi masih berjalan menuju Hanan, dan Hanan membawa Yang Rou We ke dalam pangkuannya. Kini Hanan harus sedikit mendongak karena Yang Rou We yang ada di pangkuannya lebih tinggi darinya. "Apa yang kamu inginkan? Positif atau negatif?" tanya Hanan menggoda Yang Rou We. "Hanaaaan ...." "Pilih saja." "Apapun, aku akan menerimanya," jawab Yang Rou We pelan. Hanan menyatukan keningnya dengan kening Yang Rou We, dan berbisik pada Yang Rou We, "Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki," kata Hanan lirih, Yang Rou We tidak langsung menjawab, dia merenungkan apanya dikatakan oleh Hanan, mereka tidak memiliki jarak sedikitpun, Yang Rou We bisa mendengar detak jantung Hanan yang terpompa lebih kencang. "Kembar," jawab Yang Rou We. Yang membuat Hanan sedikit tersenyum. "Maka persiapkanlah banyak nama yang indah untuk anak-anak kita nanti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD