Semoga saja jaringan ku tidak bangus

2247 Words
Hanan melirik Yang Rou We yang ada di sampingnya, dia menyembunyikan kedua tangannya agar tidak merasa dingin, hujan masih mengguyur bumi ini, tidak ada yang salah. hujan turun ketika kebanyakan orang terlelap dan mereka akan menikmati hawa dingin dengan meringkuk di bawah selimut, yang salah itu mereka berdua karena mereka keluar rumah di waktu dini hari tanpa banyak persiapan. Lagi pula siapa yang akan membawa payung atau sejenisnya ketika kabur dari rumah, Yang Rou We sedang pergi dengan diam-diam bukan sedang ingin main saat hujan. Dengan membawa persiapan untuk jalan-jalan. Hanan menahan tawanya, namun tetap saja Yang Rou We mengetahuinya karena jarak mereka yang dekat. "Apa? Apakah ada yang lucu?" tanya Yang Rou We sambil menahan dingin di tubuhnya. "Tidak," jawab Hanan dengan cepat. "Tapi kamu tertawa tadi, apa kamu sedang menertawakan aku?" Yang Rou We memanyunkan bibirnya karena Hanan tidak ingin berterus terang. "Percayalah bukan apa-apa, aku hanya menertawakan diriku sendiri," jawab Hanan. "Kamu tidak lucu, apa yang aku tertawaan?" "Aku pergi dari rumah, kenapa kamu juga ikut pergi dari rumah?" Hanan mengalihkan pembicaraan agar Yang Rou We tidak ngambek lagi. "Aku di jodohkan," jawab Yang Rou We lugas. Jawaban itu membuat Hanan langsung kehilangannya senyumannya, dia mengikuti gaya Yang Rou We, menyembunyikan kedua tangannya di balik ketiaknya, dan menatap lurus pada hujan yang masih seperti sebelumnya. Hujan turun begitu lebat hingga tidak ada jarak satu sama lain, angin yang kencang membuat hujan sedikit miring. "Dengan siapa?" tanya Hanan dengan nada serius tanpa melihat Yang Rou We. "Anak teman ayah ku." "Kapan?" "Sore ini." "Cepat sekali ayahmu mendapatkan laki-laki untukmu, padahal aku belum seminggu datang ke rumahmu untuk yang kedua kalinya." "Maafkan ayah ku, telah mengecewakan mu. Aku yakin dia menolak mu karena memiliki pilihan lain bukan kamu yang tidak memenuhinya semuanya syarat yang dia inginkan." Keduanya saling berpandangan dengan wajah serius mereka namun di detik selanjutnya mereka tertawa bersama dengan tawa lepas. "Apa ini yang kamu tertawakan sebelumnya?" tanya Yang Rou We disela-sela tawanya. "Iya," jawab Hanan dengan masih tertawa. "Bukankah ini lucu, kita sama-sama pergi dari rumah ketika keluarga kita tidak ingin berkompromi?" lanjut Hanan. "Benar." Setelah puas tertawa karena hal kecil yang mereka anggap lucu, mereka kembali ke mode lebih santai. "Lalu bagiamana sekarang? Apakah kamu ada tujuan dalam pelarian ini?" Yang Rou We hanya mengeleng menanggapi pertanyaan dari Hanan, dia merenggangkan kedua tangannya sudah tidak merasa dingin lagi meski hujan belum reda. "Aku tidak ada tujuan, aku hanya pergi begitu saja dari rumah, masalah tempat tinggal aku pikirin nanti yang terpenting aku pergi terlebih dahulu tanpa ketahuan." "Sepertinya kamu salah, kamu sudah ketahuan," jawab Hanan. "Dari mana kamu tahu jika aku ketahuan?" Yang Rou We mengerutkan keningnya, sambil menatap Hanan. Hanan menunjukkan ponselnya, dengan sedikit menggoyangkannya, "Memangnya kamu pikir aku ini paranormal atau hacker yang bisa tahu di mana saja dan kapan saja kamu berada, kecuali aku melacak mu tapi sayang aku tidak melakukannya?" Yang Rou We melihat foto dirinya sendiri di ponsel yang di pegang Hanan, gambar itu menunjukkan dia yang sedang memeluk lututnya sendiri di pinggir jalan, dan foto itu di ambil dari belakang. Yang Rou We melihat sang pengirim yang nomornya tidak di simpan oleh Hanan, meski hanya deretan angka Yang Rou We tahu jika itu milik saudara laki-lakinya, karena nomor cantik itu tidak semua orang bisa memilikinya. "Kakak Yuan?" tanya Yang Rou We memastikan, meski dia sudah tahu kebenarannya. "Yes, kamu pikir siapa yang akan menguntit mu dini hari seperti ini tanpa kamu ketahui, sampai sejauh ini?" "Lalu kenapa?" tanya Yang Rou We dengan wajah polosnya. "Hai cantik, dia kakakmu. Bagiamana bisa kamu menanyakan hal itu padaku, ini adalah pertama kalinya dia menghubungiku, aku pun masih binggung dari mana dia mendapatkan nomorku? Apa kamu memberikan nomorku padanya?" "Tidak," jawab Yang Rou We dengan cepat, "Mungkin dia mengambilnya dari ponselku secara diam-diam!" tebak Yang Rou We. "Sudahlah kita pikirkan nanti dari mana kakakmu bisa memiliki nomorku, lebih baik kita pikirkan bagaimana kamu akan pergi malam ini? Hujan sudah reda," kata Hanan sambil melihat hujan sudah tidak turun lagi. "Aku tidak tahu, haruskah aku menginap di hotel?" tanya balik Yang Rou We. Mereka berdua merundingkan bagaimana Yang Rou We tidur malam ini, awan hitam masih pekat dan kapan saja bisa jatuh lagi, dan tempat terdekat dari mereka berteduh yang bisa mereka sampai adalah kos milik Hanan, itu tidak begitu jauh meski di tempuh dengan berjalan kaki, itu juga mengapa Hanan bisa begitu cepat datang meski hanya berjalan kaki, karena Hanan sengaja mencari kos yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Yang Rou We, dan siapa yang akan tahu jika Yang Rou We malah keluar dari rumah. Hujan nampaknya akan segera turun lagi, langit hanya memberikan Hanan dan Yang Rou We waktu sedikit untuk menentukan pilihan, mungkin hujan reda itu di buat hanya untuk mereka berdua agar segera pergi dari sana dan beristirahat. "Hujan datang, kita ke kos ku saja, lagi pula besok kamu harus bekerja. Jika tidak beristirahat sekarang aku tidak yakin kita bisa bekerja dengan benar besok sepanjang hari." "Okelah," jawab Yang Rou We dengan cepat setelah gerimis turun dan mulai akan menjadi hujan lagi. Dua anak manusia itu menerobos gerimis, jika tetap begini mereka akan terjebak hujan untuk yang kedua kalinya dan mereka akan kehabisan waktu untuk beristirahat, mereka harus bangun pagi untuk pergi bekerja. Inilah hidup meski keadaan sedang tidak bersahabat, di saat di titik terendah pun kita harus tetap terlihat baik-baik saja, rutinitas harus tetap berjalan apa adanya, bersyukurlah yang memiliki kehidupan monoton, kebayangkan orang yang memiliki kehidupan monoton, kehidupan yang berulang-ulang setiap hatinya mengeluh karena merasa bosan dan jenuh, percayalah itu lebih baik dari pada kehidupan yang penuh tantangan yang banyak menguras waktu dan tenaga. *** Yang Rou We sedang makan siang di kantornya dan ada salah satu temannya mengatakan jika ada seseorang yang mencarinya, Yang Rou We hanya mengiyakan dan segera menyelesaikan makannya, dia tahu jika hari ini pastinya akan datang, namun Yang Rou We tidak menyangka jika ayahnya akan datang begitu cepat ke tempat kerjanya. Salah satu alasan kenapa sejak awal Yang Rou We ingin berdiri di kakinya sendiri masalah pekerjaan, dia tidak ingin ayahnya ikut campur masalah Yang Rou We bekerja di mana, memang tidak perlu banyak usaha jika mengikuti arahan ayahnya, Yang Rou We tinggal menikmati bantuan ayahnya, tinggal bilang Yang Rou We ingin berkerja di perusahaan mana dan bagian apa, dan Yang Rou We bisa saja mendapatkannya namun Yang Rou We tidak melakukannya. Karena jika ada sesuatu permasalahan yang terjadi di antara Yang Rou We dan ayahnya, Yang Rou We tidak bisa banyak berkutik dan menyuarakan suaranya, karena Yang Rou We masih bergantung pada ayahnya. Dan dugaan Yang Rou We benar hari ini datang juga, di mana mereka dua berbeda pendapat dengan ayahnya, ayahnya seorang yang keras kepala begitu juga dengan Yang Rou We, selama ini Yang Rou We tidak begitu banyak mengutarakan pendapatnya karena dia masih menghormati yang lebih tua namun ketika Yang Rou We sudah tidak mampu lagi maka di bisa lebih keras kepala daripada ayahnya sendiri. Yang Rou We berjalan dengan santainya menuju sebuah sofa yang ada di lobby, di sana sudah ada seorang laki-laki yang rambutnya sudah sebagian besar beruban duduk dengan mengawasi orang-orangnya yang lalu lalang. Dengan jas rapinya. "Siang ayah," sapa Yang Rou We dengan senyuman lebar, dia mengambil tempat duduk di sebrang ayahnya, Yang Rou We berperilaku jika semuanya baik-baik saja, dia masih tersenyum lebar pada ayahnya yang sudah menarik pandangannya dari orang-orang yang berlalu lalang kepada Yang Rou We yang baru saja datang. Laki-laki itu tidak langsung berbicara dia melihat putrinya yang sudah dewasa duduk dengan santai di depannya, tidak ada rasa takut, canggung, gelisah apalagi kemarahan yang di bayangkan laki-laki itu. "Kamu nampak baik-baik saja, senyummu sangat lebar," kata ayah Yang Rou We dengan lirih. "Memangnya apa yang ayah bayangkan tentang aku, aku akan terlihat depresi, dengan mata panda atau nampak lebih kurus?" tanya Yang Rou We balik. "Kamu sangat bahagia setelah keluar dari rumah, apa semua keinginanmu sudah tercapai, sudah tidak ada lagi orang yang akan mengekang dirimu." "Jika di bilang bahagia dengan keadaan ini sejujurnya tidak, tapi setidaknya aku bisa menentukan pilihanku sediri, aku menyakini apa yang menurut aku bisa membahagiakan aku, karena orang lain tidak tahu kadar kebahagiaan kita sejauh apa?" "Apa kamu masih ingin menikah dengan pemuda itu?" tanya ayah Yang Rou We penuh selidik. "Untuk waktu dekat ini belum ada rencana, kami masih fokus pada karir kami, tenang saja Rou We akan mengundang ayah sekeluarga jika aku dan Hanan menikah," Yang Rou We dan ayahnya mengobrol seakan mereka tidak dalam situasi perang dingin, Yang Rou We bicara cukup santai tanpa ada tekanan sedikitpun, meski lawan bicaranya adalah orang yang membuat Yang Rou We angkat kaki dari rumahnya. "Semoga saja aku sibuk dan tidak perlu menghadiri pernikahan mu," jawab ayah Yang Rou We dengan senyuman smirk. "Semoga saja," jawab Yang Rou We mengikuti arus, dia tidak perlu marah dengan sindiran halus seperti itu. "Ayah datang mencariku ada sesuatu yang di katakan? Jika tidak aku nampaknya harus kembali ke bekerja, karena jam makan siang ku sudah habis," kata Yang Rou We sambil melihat jarum jam yang melingkar dengan indah di pergelangan tangannya "Tidak ada, aku hanya ingin bertanya kapan kamu akan pulang? Itu saja," tanya ayah Yang Rou We dengan tatapan tajam namun masih nampak santai. "Apa ayah masih ingin menjodohkan aku dengan Wen Gunawan?" "Tentu saja, pertemuan dua belah keluarga sudah di lakukan, kami sudah banyak membuat rencana di masa depan." "Tunggu ayah, tapi menurutku itu bukan rencana melainkan kesepakatan dua belah pihak, aku penasaran apa yang ayah tawarkan pada mereka, bukankah seharusnya ayah menjadi orang yang di untungkan karena dari pihak perempuan namun saat aku melihat mereka nampaknya mereka yang meraup keuntungan besar dengan rencana penyatuan dua belah pihak ini." Pemikiran Yang Rou We ini buka tanpa dasar karena dia melihat keluarga Gunawan penuh antusias saat datang ke rumah mereka, selain mereka mendapatkan menantu cantik dengan pendidikan bagus dari keluarga yang sederajat, mereka juga mendapatkan hal baik lainnya lebih bernilai dari uang, yaitu kesepakatan dengan ayah Yang Rou We yang sampai saat ini masih menjadi teka-teki untuk Yang Rou We. Ayah Yang Rou We melihat Yang Rou We dengan menyipitkan matanya, nampaknya tebakan Yang Rou We memukul titik sakit ayahnya hingga dia hampir terprovokasi oleh perkataan Yang Rou We. "Aku melakukannya demi kamu," sahut ayahnya dengan suara lebih dalam. Terlihat jika laki-laki itu sedang mengontrol emosinya. "Terimakasih banyak, tapi sepertinya aku tidak membutuhkannya jadi ayah tidak perlu membuang hal-hal yang tidak perlu, nikmatilah kerja keras ayah sendiri daripada memberikannya pada keluarga orang lain," jawab Yang Rou We masih dengan senyuman dan sopan santun. "Apa kamu tidak ingin membahagiakan ayah?" "Ingin. Ingin sekali, aku tidak menutup mata jika ayah adalah orang yang berjasa besar dalam hidup Rou We namun aku ingin membahagiakan ayah dengan cara lain, bukan jalan yang ayah pilihkan." "Dengan apa?" "Entahlah, asalkan jangan paksa aku menikah dengan Wen Gunawan, atau dengan siapapun yang tidak aku sukai." "Bagiamana jika ayah memintamu tidak menikah dengan Hanan, laki-laki yang kamu cintai?" tanya ayah Hanan dengan tersenyum, karena dia yakin jika Yang Rou We tidak akan bisa melakukan hal itu. Namun senyuman itu segera hilang, karena dia kecewa dengan jawaban Yang Rou We. "Aku akan melakukannya, jika itu permintaan ayah. Aku mungkin bisa tidak menikah dengan Hanan, tapi aku mungkin masih mencintainya, karena cukup sulit untukku mengantikan posisinya dengan orang lain," jawab Yang Rou We sangat percaya diri. "Jika begitu pulanglah," kata ayahnya, nampaknya dia sudah luluh. "Kenapa? Aku baru tiga hari keluar dari rumah?" "Apa kamu tinggal dengan pemuda itu hingga kamu tidak ingin pulang lagi?" "Tidak, aku tinggal sendirian." "Jika begitu pulanglah, aku tidak akan memaksamu menikah dengan Wen Gunawan lagi, untuk apa kamu tinggal di luar mengabiskan uang untuk membayar tempat tinggal sedangkan kamu punya rumah yang bisa kamu tiduri tanpa kamu mengurangi uang saku mu?" "Tidak aku tidak akan pulang, seorang ayah tidak akan mengambil kebahagiaan besar putrinya sendiri, apakah itu masih bisa mengayomi seorang putri di rumahnya." "Yang Rou We kamu keras kepala," ucap ayah Yang Rou We sambil menahan amarahnya. "Aku mewarisinya dari ayah," jawab Yang Rou We dengan cepat. Mungkin jika ini bukan di perusahaan kedua orang ini sudah akan kembali bertengkar seperti tempo hari. Ayah Yang Rou We bangkit dari duduknya dengan wajah di tekuk dia sudah membalikkan badannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, tapi dia baru saja melangkah dua langkah, ayah Yang Rou We sudah menengok lagi. "Aku akan mengurus kartu keluarga yang baru, aku tunggu sampai nanti malam jika kamu berubah pikiran, kabari ayah, nomor ayah masih yang lama, lewat email pun tidak masalah." "Terimakasih informasinya, semoga saja tempat tinggal ku yang baru jaringannya buruk, jadi aku tidak perlu mengirimkan pengakuan pada ayah." Laki-laki itu mencengkram erat tangannya sendiri, melihat keras kepala putrinya yang dulu dia manja. "Dan juga ayah akan membuat surat wasiat, karena ayah hanya memiliki satu putra jadi sepertinya tidak membutuhkan waktu lama dan pertimbangan," Ayah Yang Rou We mengancam dengan halus masalah harta yang dia miliki saat ini. "Baguslah, lebih baik membuatnya lebih awal, jangan lupa sisihkan juga untuk orang-orang yang membutuhkan," jawab Yang Rou We dengan senyuman lebar, Yang Rou We juga ikut bangkit. "Sukses selalu untuk ayah," ucap Yang Rou We dengan masih mempertahankan senyumnya. "Rou We kembali bekerja dulu, hati-hati di jalan," Yang Rou We tidak menunggu jawaban dari ayahnya, dia segera kembali untuk bekerja. Meninggalkan ayahnya yang sedang menahan amarahnya, jika ini di rumah laki-laki itu mungkin sudah meledak-ledak karena melihat keras kepala putrinya. Dia seperti melihat dirinya sendiri di masa muda yang masih penuh ambisi dan keras kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD