Miss Mourent

1041 Words
"Bisakah aku bekerja?" tanya Mourent pada Hanan saat mereka sarapan pagi ini. "Memangnya kenapa? Apa uang belanja yang aku kasih kurang?" "Tidak, tidak. Bukan itu! Hanya saja aku merasa bosan di rumah dan tidak melakukan apapun, tidak ada yang bisa aku lakukan." "Lalu? Kamu mau bekerja apa?" "Belum tahu juga? Jika kamu mengijinkannya aku akan mulai mencarinya." "Boleh," jawab Hanna sambil merapikan lengan bajunya. "Benarkah?" Mourent sangat antusias. "Asalkan kamu tidak kelelahan, kamu bekerja itu tujuan utamanya bukan untuk mencari uang melainkan hanya untuk menghilangkan kejenuhan." "Tentu, aku akan ingat itu, aku berjanji aku tidak akan melupakan pekerjaan rumah demi pekerjaanku." "Baiklah, aku akan berangkat dulu, jika jadwal tidak berubah mungkin aku akan lembur, tapi tidak tahu lagi tergantung kondisi. Jadi jangan tunggu aku, tidurlah lebih awal." "Baik," jawab Mourent sambil tersenyum lebar dia sangat bahagia saat ini, jika dia tahu kalau menikah dengan di jodohkan akan sangat menyenangkan seperti ini mungkin dia tidak perlu membuang waktu dan energinya berdebat dengan orang tuanya. Dan juga dia tidak akan berlarut-larut dalam kesedihan saat dia di duakan oleh Alexy, dia merasakan dua kali rasa sakit karena di campakkan oleh orang terkasihnya dan dikhianati oleh sahabat baiknya. Semua perlu di syukuri besar maupun kecil, sepertinya Mourent saat ini benar-benar jatuh cinta dengan suaminya itu, dia suka tersenyum sendiri saat Mourent memperhatikan Hanan, dia sama sekali tidak bosan memandangi Hanan meski mereka bertemu setiap hari, bahkan Mourent sering mencuci pandang saat Hanan tidur di sampingnya. Meski Mourent tidak melakukan apapun saat mereka tidur bersama, namun hanya dengan memandangnya saja itu sudah membuat Mourent senang, dia tidak tahu bagaimana reaksinya nanti jika mereka sudah memiliki perasaan yang sama, untuk saat ini mereka masih di tahap pertemanan dan Mourent berharap jika ini segera naik tingkatan. Mourent mencari informasi di internet tentang lowongan pekerjaan yang mungkin cocok dengannya, dan Mourent menemukan sebuah lowongan tentang pekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di sebuah tempat yang di hanya dikhususkan untuk umum dan anak sekolah menengah atas. Yang membuat dia tertarik selain gajinya lumayan tinggi waktu yang harus di habisnya Mourent tidaklah banyak dia hanya perlu waktu 2 jam mengajar setiap harinya. Mourent segera menghubungi nomor kontak yang tertera di sana, dia cukup percaya diri dengan kemampuannya dalam bidang bahasa Inggris. Dia cuma perlu belajar materi yang akan di sampaikan pada peserta didiknya. "Hallo kak assalamualaikum," ucap Mourent saat mendengar panggilan suaranya sudah tersambung. Mourent melakukan percakapan ringan dengan orang itu, menanyakan lowongan dan membuat janji untuk bertemu, Mourent perlu mendaftar dan melakukan seleksi beberapa tahap agar mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan. Mourent menekankan tombol merah pada ponselnya setelah percakapan itu selesai, dan senyuman lebar tercipta di sana, "Semoga aku bisa lolos," gumamnya dan pandangannya tertuju pada layar ponselnya yang menunjukkan sebuah welpaper dirinya sendiri dalam bentuk lukisan hasil karya suaminya. "Aku ingin lihat bagaimana reaksi mu melihat gambar ini, tapi aku ingin kamu menyadarinya sendiri, apakah kamu masih mengingat hasil karyamu?" Keesokkan harinya Mourent pergi ke tempat bimbel itu lebih cepat dari waktu yang di sepakati, Mourent masih orang baru di Jogja dia perlu mencari dulu di mana tempat tujuannya meski dia di bantu oleh google map namun tetap saja dia takut terlambat. Tempat bimbel itu ternyata tidak di depan jalan raya, itu masuk gang kecil yang hanya bisa di lewati oleh sepeda motor, namun ternyata Mourent tidak di kecewakan karena tempat bimbel itu cukup besar dan memiliki tempat yang nyaman, ternyata alasannya kenapa tempat bimbel ini agar sedikit kedalam karena agar meminimalisir kebisingan dari kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. Mourent masuk dan menunggu dan ternyata tidak hanya dirinya yang datang untuk melamar ada lima orang lainnya yang sama seperti Mourent. *** Satu bulan kemudian. Seorang pemuda berjalan sedikit tergesa-gesa karena angka di jam tangannya menunjukkan dua menit lagi kelasnya akan di mulai. "Hai Wan," Sapa seorang wanita pada A Wan yang baru saja di ambang pintu, A Wan tersenyum kemudian menghampirinya. "Dari mana aja? 3 Minggu ini aku sama sekali tidak melihatmu?" tanya wanita bernama Ain itu pada A Wan. "Saya pulang kampung kak," jawab A Wan dengan suara rendahnya. "Wah ... jika aku tahu kamu pulang kampung aku akan titip oleh-oleh, salam buat ibumu." "Iya kak," Tentu saja A Wan akan memangilnya dengan sebutan kakak karena wanita itu sudah berumur 35 tahun sedangkan A Wan masih 21 tahun, mereka dekat karena sudah saling mengenal saat mereka ikut bimbingan belajar di tempat ini, ruang kelas mereka di bagi bukan karena usia namun di kelompokkan dari waktu lamanya mereka mengikuti program bimbingan belajar, karena ini bimbingan belajar untuk umum jadi usia mereka beragam. "Kamu tahu A Wan?" Ain membisikkan pada A Wan yang duduk di sampingnya di meja yang berbeda. "Apa kak," tanya A Wan lirih. "Ada pengajar baru namanya Miss Mourent, dia masih muda dan lumayan cantik," dan tanggapan A Wan hanya tersenyum tipis. Ain sama sekali tidak kecewa dengan tanggapan yang di berikan oleh A Wan karena dia tahu bagaimana karakter teman kecilnya itu. A Wan sama sekali tidak akan tertarik dengan wanita seperti apapun karena dia mendekatkan niatnya untuk belajar di kota ini, dia melakukan pekerjaan paruh waktu untuk menghidupi dirinya di perantauan, biaya kuliahnya di dapatkan dari biaya siswa dan uang yang di kirim oleh ibunya dia gunakan untuk keperluan kuliah lainnya dan bayar kos dan urusan perut A Wan perlu mengeluarkan keringat untuk hal itu. Ain sangat tahu jika A Wan menjaga dirinya sendiri dari lawan jenis bahkan Ain sama sekali belum pernah melihat A Wan mendekati seorang wanita apalagi menyentuhnya, Yang tidak di ketahui Ain adalah A Wan memang tidak mau berpacaran karena dia tahu jika itu tidak baik, selain di larang oleh ibunya agamanya juga melarang keras hal itu. A Wan menghabiskan waktunya hanya untuk belajar dan bekerja, agar dia tidak memiliki waktu untuk tergoda kepada lawan jenis sebelum waktunya. Dia akan kuliah di siang hari dan sebelum itu dia berkutat dengan komputer miliknya, dia berkarya dan menjual hasil ketrampilan mengedit dan mendesain, setelan kuliah dia istirahat sebentar dan pergi ke perempatan jalan raya, dia menyumbangkan suaranya dan permainan gitarnya dengan beberapa teman untuk menghasilkan uang kecil yang mereka bagi satu tim. Jam 9 A Wan melanjutkan pekerjaannya di sebuah coffee shop sebagi barista, dia nampak tampan dengan apron yang dia kenakan apalagi saat dia sedang membuat kopi di depan mesin espresso.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD