Ronde 1 : Prolog
Jangan berkaca di kaca cermin, karena cermin akan memperlihatkan betapa hinanya dirimu dan mengendurkan setiap asa di dalam tubuhmu.
Tetapi berkacalah di kaca jendela. Bayang wajahmu akan tertutupi oleh keindahan asa diluar sana. Sehingga membuat kaki-kakimu untuk melangkah menjemput sang asa.
Buku ini untuk Istriku tercinta dan semua hal yang pernah kita lakukan bersama.
By: Aryan Asmaradana
=================
Ronde I : Prolog
Batavia 1820.
Seorang gadis dengan perut kencang dan kaki jenjang berlarian di sepanjang jalanan batu yang dihaluskan. Langkahnya cekatan menghindari para manusia yang berlalu lalang. Tak ada yang ia pikirkan kecuali kembali ke rumah sebelum hujan.
Hujan adalah sesuatu yang ia benci. Air akan menetes deras dari langit dan melunturkan segala asa yang berdebar di hatinya. Wajah gadis itu mempesona diusianya yang begitu muda. Rambut hitam legam dan terkucir sedikit berantakan karena geraknya yang membinal. Bibirnya bergincu merah padam dan pulasan bedak tipis mengikuti alur pipinya yang tirus. Alisnya tipis melengkung seperti celurit yang membendung mata kecoklatan yang lentik. Hidungnya sedikit mancung dengan lubang kecil dan selalu memberikan kesan menenangkan.
Gadis yang serupa bidadari pada usianya yang belia. Tubuhnya mulai jenjang melebihi sebayanya karena disebabkan darah campuran pada dirinya. Entah di bagian induk semang mana? kulit pribuminya tersentuh bagian wajah asing, sehingga penampilannya begitu memukau di antara teman-teman pribumi dan asingnya. Sering sekali ia diejek kawan-kawannya dengan sebutan Blasteran. Entah darimana kata itu? tetapi ia tak begitu mempedulikannya.
Kegemarannya membaca membuatnya harus berlari sore itu. Ia tak tahu bahwa di ujung jalan sana, para kusir kuda yang sedang mabuk meneriakinya. Mereka berteriak tak sopan pada gadis muda salah satu putri dari ningrat Batavia. Mungkin jika orang tuanya tahu, ia akan mencincang para kusir kuda pemabuk itu satu persatu.
Rambutnya tergerai lepas ketika angin mulai mendesau ganas meniup setiap inti wajahnya. Tangannya bergelayut merapatkan jarik batik yang ia kenakan agar tak tersingkap dan memperlihatkan bagian kakinya yang jenjang. Tubuhnya membungkuk sehingga bongkahan pantatnya menungging menggoda pria dari bangsa mana saja yang melihatnya.
Gerakan angin yang begitu kencang merubuhkan tubuhnya, sehingga ia terjatuh menelungkup dengan tumpuan tangannya. Seketika, belahan dadanya menyembul di balik kebaya kusut miliknya. Buah d**a yang cukup besar di usianya.
“Aduh!” pekiknya ketika debu mengenai matanya. Matanya seketika memerah dan berair. Tak ada yang memperhatikannya karena para kusir andong yang mabuk itu sedang berusaha menenangkan kuda-kuda mereka. Tak peduli lagi dengan batu permata yang jatuh karena angin bertiup sangat kencang.
Entah? Beberapa hari ini, angin begitu kencang sehingga para nelayan enggan berlayar dan kapal-kapal dagang sulit bersandar. Angin yang membawa bulatan awan hitam, menyapu seluruh daratan di Batavia. Belum ada yang tahu kenapa angin itu terjadi? Bahkan para guru besar di Schulmachdenn atau para Profesor di Universiadenn. Mereka yang berotak encer dan berkepala botak, selalu lebih tahu tentang apa yang terjadi di negeri ini~~bahkan hembusan anginpun, mereka tahu.
Gadis berjuluk blesteran itu dengan tegarnya memasuki sebuah bangunan. Pilar-pilar besar tinggi menjulang dan jendela besar menandai setiap ruangan. Disana ia selalu tinggal, di siang harinya setelah ia pulang sekolah. Tempat itu bernama Schone Letteren. Tempatnya dipenuhi buku-buku berbahasa asing dan campuran. Buku-bukunya tebal dan selalu rapi memenuhi ruangan. Disanalah, ia selalu terduduk di sebuah meja dari siang sampai sore yang tenang.
Namun hari ini, ia tak akan duduk disana. Orang tuanya ingin mengajaknya makan malam dengan para petinggi kompeni di negeri ini. Semua akan berkumpul dan berdansa. Lalu jika malam semakin larut, para pria akan meminum anggur, menghisap cerutu mereka dan bersenda gurau bersama. Dan barisan para ibu akan bercerita banyak mengenai putra-putri mereka. Seakan mereka membanggakan setiap derap langkah dari putra putri yang entah jadi apa kelak.
Gadis itu selalu muak dengan cara itu. Ia lebih memilih untuk menyendiri dan terbenam dalam angannya yang liar. Orang tuanya akan mendadaninya dengan pakaian pribumi, karena ayahnya adalah seorang pribumi. Ibu kandungnya adalah orang asing dan ibu tirinya kini adalah pribumi. Ia anak tunggal karena ayahnya enggan untuk memberikan saingan padanya. Semua yang ia katakan, harus dituruti. Bahkan kekuasaannya melebihi apapun di Batavia ini.
Langkahnya begitu cepat memasuki Shcone Letteren. Ia berpapasan dengan beberapa gadis asing yang memandangnya penuh kelucuan karena wajahnya yang blesteran. Mungkin hanya beberapa saja yang sepertinya, dan hal itu adalah menjadi hal yang lucu di semua kalangan.
Tanpa sadar ia melewati, seorang penjaga bernama Bertha. Pincingan matanya tegas dibalik kacamata bulat yang kekecilan di wajahnya. Bertha, yang terkenal ganas dan tak sesekali berteriak karena mendengar kegaduhan di areal baca. Menurutnya, membaca itu harus diam dan tak boleh bicara. Jika tak diam maka akan mengganggu pembaca lainnya. Tak segan, Bertha selalu berteriak dengan lantang kepada siapa saja yang tertawa cekikikan. Menurutnya itu peraturan, padahal ia sendiri juga membuat kegaduhan.
Gadis muda blesteran itu melangkah menyusuri rak-rak tinggi di ruangan yang berlangit-langit tinggi. Rak-rak itu terbuat dari kayu jati yang dilapisi minyak pelamir agar terkesan mengkilat di sepanjang era. Suasana begitu sepi dan hanya beberapa orang saja yang terlihat berdiri memilih buku atau beberapa diantaranya sedang meringkuk di meja baca.
Tak ada yang mempedulikan kecantikan wajah dan tubuhnya, ketika ia melewati sebuah lorong bertulisan huruf ‘O’ super besar sebagai penanda abjad judul buku. Gadis itu melewati rak tinggi bertuliskan P, Q dan R. Lalu ia berbelok kearah rak kayu yang setinggi dua kalinya bertuliskan ‘S’.
Di dalam lorong sempit itu, terdapat pria pribumi sedang berdiri dengan sebuah buku tebal terbuka di bawah hidungnya. Usianya sekitar 23 tahun dan terlihat cukup muda dengan blangkon khas bangsawan. Tubuhnya tegap dan kekar sehingga manik kancing beskapnya sedikit tersingkap karena mungkin jas itu kekecilan. Paha pria itu begitu besar dan kekar apabila kain jarik tak menutupi bagian bawah tubuhnya.
Dibalik tubuhnya yang gagah, matanya memandang sayu kearah buku tebal yang berada di hadapannya. Seakan tak ada lagi yang bisa menghentikan laju bola mata coklatnya mengamati setiap kata dari buku itu.
Pria muda itu tak tahu, bahwa gadis blesteran itu berada disampingnya. Matanya mendongak ke rak bagian atas untuk meniti setiap jajaran buku yang terpampang judulnya. Mata coklat gadis itu menyapu setiap tonjolan kata dari judul-judul buku yang paling atas. Ia menatap tulisan di punggung buku-buku itu. Tertulis Sacheered Romandenn, Sadrech Menheim, Sailiech Maidenn, Sakhsophenen Mozartem, lalu selanjutnya ia mengamati sebuah judul yang sudah menjadi incarannya di waktu lalu.
Pria itu sedikit bergeser mundur ketika gadis itu tepat berdiri memunggunginya. Pria muda itu, menatap punggung sang gadis belia dengan rambut hitam kusut menjuntai menghalangi punggungnya. Mata lelakinya mengamati setiap lekuk tubuh sang gadis yang melompat untuk meraih buku di tumpukan paling atas. Ia ingin membantunya, namun tubuhnya juga tak cukup tinggi untuk meraih jajaran buku itu.
“Mau kubantu?” ujarnya lembut terdengar di telinga sang gadis.
“Ah, iya paman!” Ujar sang gadis sembari tersenyum pada pria yang delapan tahun lebih tua darinya.
Tanpa bertanya lagi, tangan kekar pria itu menyentuh pinggang sang gadis. Kekuatannya sungguh luar biasa, ia mengangkat gadis yang cukup besar di antara gadis seusianya itu dengan satu tarikan nafasnya. Sang Gadis sedikit terkejut, mendapati tubuhnya dijamahi oleh pria yang tak dikenalnya~~bahkan baru dilihatnya. Matanya tak fokus lagi dengan jajaran judul buku yang terpampang di setiap punggungnya. Ia hanya merasakan, hidung tajam sang pria kekar yang menyentuh belahan pantatnya yang lebih sintal di usianya.
Sang gadis terdiam dalam angkatan pria kekar itu. Entah apa yang dipikirkannya, tetapi ia begitu menikmati setiap sentuhan wajah pria itu di bongkahan pantatnya~~walau itu disengaja atau tidak. Lalu, pria itu mendengus keras. Seakan ia tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya yang lebih berat dari gadis pada umumnya.
Ia segera menjawil buku yang tak begitu tebal dengan ujung jari telunjuknya. Buku itu dengan cepat terlipat didadanya yang besar, melebihi gadis di usianya.
“Sudah, paman!” ujar gadis itu lembut pada pria yang menolongnya.
Tubuhnya beringsut menuruni tubuh sang pria yang terlihat begitu kuat. Sang pria menurunkannya perlahan, sehingga bongkahan empuk milik sang gadis menyentuh d**a bidangnya, menyentuh perutnya lalu terakhir menyentuh tonjolan keras di balik kainnya.
Sang gadis terkejut, ketika merasakan benda keras seperti gagang keris yang mencuat. Pikirannya selaksa berpikir tentang pelajaran di Schulmachdenn, tentang reproduksi. Ia mengira, batang itu akan tetap seperti itu di sela s**********n seorang pria. Tetapi, yang satu ini begitu keras sehingga p****t lembut di balik kain jariknya seperti tertusuk benda tumpul.
Rasa penasaran timbul dalam diri sang gadis yang mengeser sedikit pantatnya, sehingga batang keras pria itu bergesekan dengan bongkahan kenyal milik sang gadis.
Sang gadis yang sepertinya lugu~~hanya bisa terdiam merasakan kerasnya kejantanan milik pria yang masih tertutup kain jarik di pakaian adat itu.
Betapa terkejutnya sang gadis ketika suara deheman dari pria di belakangnya. Suara yang aneh sekaligus menggugah hatinya dan menutupi rasa malunya. Wajahnya seketika memerah sembari bergeser menjauh dari sang pria. Sang gadis yang salah tingkah hanya bisa tersenyum dan tertunduk sembari menyibakan helaian rambut yang menutupi salah satu telinganya.
“Te-terima kasih, paman?” ujar sang gadis pada pria yang sebetulnya belum pantas disebut paman itu.
“Sama-sama!” jawab pria dengan lembut sembari mengamati buku yang berada di dekapan sang gadis muda itu. “Kau mau baca itu?”
“Ah, iya paman! Paman sudah membacanya?” tanya sang gadis dengan mata berbinar karena baru kali ini ia bertemu seorang pria bertubuh kekar yang menyukai buku.
“Sudah! tiga kali.” ujar pria itu sembari meloloskan buku yang ia baca untuk kembali ke jajarannya.
“Bagus tidak ceritanya?” tanya gadis itu dengan penuh penasaran.
“Bacalah sendiri!” jawab pria itu sembari tersenyum.
Tanpa kata lagi, mereka berpisah di lorong itu. Gadis muda itu menghilang di balik lorong rak buku untuk kembali ke Bertha.
Entah kenapa? Rasa panas menenggelamkan perasaan sang gadis. Wajahnya merah merona dan nafasnya mendesah kencang seperti seorang sprinter di Olimpische Spelen. Jantungnya berdegup memikirkan sesuatu yang seharusnya tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Tak biasanya ia seperti itu. Cara berjalannya berubah, dari kencang seperti angin menjadi lembut seperti bekicot sungai.
Setelah cukup lama, sampailah ia di hadapan Bertha. Pelupuk mata tuanya memincing kearah gadis yang menyodorkan buku yang akan ia pinjam untuk sementara waktu atau untuk waktu yang lama.
“Kau mau pinjam ini, Melanie?” ujar Bertha dengan logat barat dan sedikit serak. Entah suaranya seperti itu atau pita suaranya sedang terganggu.
“I-iya madame.” jawab gadis itu yang terbangun dari rasa gugupnya.
“Buku ini untuk tujuh belas...” Dengan tenang Bertha mencoba menjelaskan klasifikasi buku ini. Namun Melanie menyelanya.
“Hari ini, usiaku sudah tujuh belas tahun!” ujar gadis sambil melengkungkan senyum penuh kepura-puraan kepada Bertha si Bibliothecaris.
Dengan sigap, Bertha berdiri sembari menatap senyum penuh kepalsuan dari gadis yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas itu. Matanya tajamnya seakan mengendus setiap relungan tulang di wajah Melanie yang sedikit mengendur karena ketakutan.
Apakah si tua ini tak percaya bahwa aku berusia tujuh belas? Ujar Melanie dalam hati.
Lalu Bertha memutar kepalanya dan melangkah ke sebuah rak berisi tumpukan dokumen yang tersusun rapi. Rapi karena Bertha selalu merapikannya setiap pagi~~mungkin itulah yang bisa ia lakukan selama tiga puluh tahun belakangan ini.
Tangan tua dan mata rabunnya meniti setiap aksara kecil yang terpampang di ujung kertas. Ia bagai meniti sebuah jarum di tumpukan jerami. Lalu matanya terhenti disebuah angka, yang menjadi nomor pelanggan Melanie selama ini. Dengan cepat ia menarik kertas itu dan membacanya sejenak.
================ 105
Melanie Arthaprawirya
11 Juni 1803
================
Lalu otak tua dan renta milik Bertha mencoba mengingat tanggal hari ini. Ia mengingat bahwa kemarin ia menulis tanggal 10 Juni pada kertas seorang pemimjam buku. Jika kemarin tanggal 10 maka tentu saja hari ini tanggal 11 juni. Sudah dipastikan bahwa gadis yang ingin meminjam Novel ini berusia 17 tahun.
“Hmn,” gumam Bertha dari bibirnya yang sudah pecah menua. Langkahnya kembali terhuyung menatap judul buku yang aneh dan asing dimatanya itu. Bertha tua bisa mengingat seluruh judul buku di Schone Letteren ini, tapi hanya berjudul bahasa asingnya. Tidak dengan bahasa yang lebih asing seperti ini.
“Sak Wijining Dino!” Ujarnya sembari mengeja kata asing di halaman depan buku bergambar wanita berkemban dan terduduk mesra di ranjang tua itu. “Apa arti judul itu?”
Melanie hanya terdiam ketika Bertha tua menanyakan arti judul itu kepadanya. Ia memang setengah pribumi Jawa, namun bahasa itu bukan berasal dari Jawa bagian Batavia. Mungkin bahasa itu berasal dari bagian tengah pulau Jawa. Keberagaman bahasa membuat pribumi Jawa membuat mereka tidak begitu mengerti satu sama lain.
“Itu bahasa Kawi, artinya Pada Suatu Hari!” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Melanie. Ternyata pria dengan setelan beskap mewah itu yang menjawabnya. Ia lalu melangkah dan berdiri di samping Melanie. Melanie sedikit canggung dengan kehadiran pria itu, entah ia malu atau tersipu. Sepertinya kedewasaan membuatnya seperti itu.
“Ah, Raden Ahras." Bertha sedikit dikejutkan dengan jawaban pria berbusana ningrat itu. Lalu dibalik kacamata bulatnya, ia melirik Melanie sembari menunjuknya. "Ini Melanie, ia ingin meminjam buku dewasa ini."
"Tetapi aku sudah berusia 17 tahun." Sela Melanie karena ia merasa terdesak.
“Tak apa. Toh, buku ini karangan Alicia Coen. Ia seorang ilmuwan dan peneliti handal pada masanya." Ahras menyela, lalu ia menatap sayu kearah wajah Melanie yang masih tersipu. "Apakah engkau tahu siapa Alicia?"
Melanie menelan ludahnya sembari mengingat semua hal tentang salah idolanya itu, "ya, aku belajar di Schulmachdenn, tentu saja banyak hal yang harus kupelajari lewat buku ini."
"Hmn," Ahras tersenyum seraya menatap Bertha. "Pinjam saja bukunya, madam. Ia dari Schulmachdenn."
Sepertinya kemenangan hampir melanda Melanie saat ini. Pria yang baru dikenalnya itu membantunya untuk membujuk Bertha agar mau meminjamkan bukunya. Melanie tetap terdiam ketika Ahras meninggalkan meja Bertha, ia melenggang santai seakan tanpa beban. Melanie hanya terdiam tanpa sekalipun menanyakan sesuatu kepada pria yang telah membantunya dua kali itu. Perhatian Melanie kembali ke Bertha yang mulai mencatat Judul buku di catatan pinjaman Melanie.
"Kenapa Alicia Coen menuliskan judul berbahasa Kawi?" Gumam Bertha kepada buku yang seharusnya ditulis dengan bahasa bangsanya itu.
"Mungkin Madame bisa menanyakannya langsung kepada penulisnya," jawab Melanie dengan logat semanis mungkin agar Bertha tak tersinggung.
“Penulisnya sudah mati 30 tahun yang lalu!” Gerutu Bertha.
Kenapa kau tidak segera mati dan menanyakan langsung pada penulisnya yang sudah berada di alam baka! Dasar si tua yang kecut! Umpat Melanie dalam hatinya. Ia tak ingin mengatakannya agar tak menyinggung perasaan Bertha sehingga ia mau meminjamkan buku koleksinya ini.
Setelah sekian lama ia mencatat dengan tulisan indah namun tak berarti itu. Bertha menyodorkan kembali buku itu pada Melanie yang sepertinya sudah hilang kesabaran. Tetapi sebelum Melanie menyodorkannya, Bertha berkata.
“Buku ini terlalu vulgar dan menuliskan kata-kata kotor tentang percintaan. Aku harap kau mengerti apa yang seharusnya kau rasakan!” Kata Bertha yang tak seharusnya menjelaskan isi buku itu pada pelanggannya, karena rasa penasaran dari pelanggan akan hilang dan beralih ke judul lain.
Tetapi Melanie tetap ingin meminjam buku ini. Ia ingin mengobati rasa penasaran dalam dirinya. Ia meraih buku itu dan melipatnya di dadanya. Lalu ia berlalu sambil berkata, “terima kasih, madame Bertha!”
Ia melangkah cepat keluar dari Schone Letteren. Wajahnya begitu lemas karena ia telah berhasil meminjam buku yang ia inginkan. Walau buku itu bertema tabu, namun rasa penasaran mengalahkan setiap aksara yang beredar.
Ketika Melanie sampai di ambang pintu Schone Letteren. Tiba-tiba terdengar suara dari seorang pria yang pernah ia barusaja mendengar.
"Melanie," sapa suara pria itu. Melanie menoleh kearahnya. Ternyata Ahras masih disini, ia berdiri dengan beskap ningratnya. Wajahnya yang sangat tegas sedikit membuat Melanie tertunduk.
"Ah, paman, kenapa masih disini?" Tanya Melanie sekadarnya.
"Hmn, aku sedang berteduh." Jawab Ahras sekenanya. Melanie terheran dengan jawaban Ahras. Hari memang mendung, namun belum hujan, dan jawaban Ahras membuat Melanie sedikit ingin tertawa. Melihat Melanie terdiam, Ahras lalu menambahkan, "nah, sebentar lagi!"
Tiba-tiba, angin bertiup kencang dan gemuruh petir menyambar dari kejauhan. Gemuruhnya menggemakan cakrawala yang seirama dengan suara rintikan hujan yang mulai berjatuhan. Rintikan itu semakin lama semakin kencang dan deraslah hujan. Hujan disertai angin membuat Melanie terdiam seraya memeluk bukunya di d**a. Hal itu membuat buah dadanya yang mengkal tertekan oleh punggung buku.
"Yah, hujan." Keluh Melanie seraya merapikan rambutnya yang tergerai.
"Ya, sedang musim hujan memang." Ahrad menyahut.
"Tetapi, aku harus pulang secepatnya, paman. Romo pasti marah besar jika aku tak segera pulang." Ujar Melanie yang kebingungan. Pagi tadi ayahnya berpesan agar langsung pulang ketika sekolah usai. Namun Melanie tetap ingin ke Schone Letteren sebelum kembali kerumah. Sekarang hujan melanda dan Melanie tak bisa pulang.
"Mnnn, tunggu sebentar." Ahras lalu melangkah melewati Melanie dan bersiul kencang. Siulannya begitu kencang seakan memecahkan derasnya rintikan hujan diluaran. Lalu yang dinantipun tiba, sebuah kereta kuda dengan empat roda bergerak memasuki halaman Schone Letteren. Kereta itu berbentuk persegi dengan bilik tertutup di dalamnya dan kusirnya berada di luar kereta. "Aku meminjam kereta temanku, aku harap Romo-mu tidak marah."
"Te-tapi paman," Melanie sedikit canggung.
"Tak apa, ayo masuk!" Ahras membuka pintu kereta dan mempersilahkan Melanie memasukinya. Di dalam kereta cukup gelap dan pengap karena cuaca sangat tak bersahabat. Ahras duduk disamping Melanie dan kereta mulai berangkat.
Suara kaki kuda yang mencongklang ringan bersahutan dengan suara derasnya hujan. Udara dingin mulai bertiup dari celah-celah kereta yang bergerak menembus hujan. Melanie hanya terdiam duduk disamping pria bertubuh kekar itu. Kereta itu cukup sempit sehingga sering kali kedua paha mereka beradu. Hal itu cukup membuat Melanie salah tingkah. Ia tak pernah duduk dengan pria sedekat ini, namun sekarang Melanie berdekatan dan bisa disebut dengan menempel.
"Kenapa engkau meminjam buku itu?" Tanya Ahras.
"Ah, mnnn, anu, paman." Melanie tak dapat menjawabnya dengan sekali tebakan. Ia tak mengerti dengan hal-hal seperti ini, bahkan ia belum pernah sekalipun membaca buku itu.
"Hahahaha,,," Ahras tertawa lebar seraya menatap wajah Melanie yang mulai merah merona karena malu. Melanie hanya dapat terdiam tanpa menanggapi gurauan Ahras. Lalu Melanie terkejut ketika pandangan mereka bertemu, wajah Ahras begitu terganbar sempurna di pandangannya. Melanie menandai bentuk alis, pipi, hingga hidungnya yang sedikit mancung.
Lalu Ahras mengatakan sesuatu, "kau cantik. Berhati-hatilah dengan teman-teman sebayamu. Mungkin mereka semua sedang mengincarmu?"
"Maksud paman?" Melanie terkejut dengan Ahras yang tiba-tiba berbicara seperti itu. Wajahnya mengkerut heran ketika mendengar perkataan Ahras.
Ahras membuang pandangan dari Melanie, lalu kembali lagi kearah Melanie. "Mnnn, begini. Kau cukup cantik dengan tubuh yang sangat menarik. Sudah birahi mereka akan meninggi jika melihatmu secantik ini."
"Tetapi mereka,,," Melanie ingin menyela, namun Ahras terlanjur menyela duluan.
"Hmn, terserah, tetapi aku hanya memperingatkan saja. Aku punya dua orang adik perempuan, dan mereka selalu dalam pengawasanku."
Wajar jika ia mengatakan hal itu padaku. Ucap Melanie dalam batin sunyinya. Menurut Melanie, Ahras adalah seorang penjaga. Ia selalu menjaga adik-adik hingga keluarganya. Atau bahkan ia akan menjaga siapa saja yang ia suka.
"Oh, terima kasih paman. Aku akan berhati-hati." Jawab Melanie sembari melemparkan senyuman kearah Ahras. "Memang, akhir-akhir ini. Teman-temanku sering melirik tubuhku."
"Hmn, terus,,," Ahras memberikan kesempatan Melanie menceritakan dirinya.
"Mereka, terutama para lelaki, sering melirik tubuhku. terutama bagian buah dadaku ini." Ujar Melanie sembari membusungkan buah dadanya kearah Ahras. Ia tak tahu bahwa Ahras juga seorang pria. Ahras sedikit terkejut, namun sepertinya Ahras dapat mengendalikan dirinya.
"Ya, memang, buah dadamu memang besar." Kata Ahras seraya melirik buah d**a Melanie itu. Ia menatap belahan pucat diantara dua bukit kembar yang sungguh menggoda itu.
"Aku tak tahu lagi harus berbuat apa." Melanie kembali mengeluhkan deritanya.
"Tak apa, asal engkau berhati-hati. Mereka tak akan mengganggumu." Kata Ahras menasihati Melanie. Lalu mereka terdiam sejenak untuk menikmati perjalanan.
Lalu Melanie teringat dengan kejadian tadi. Kejadian ketika Melanie diangkat oleh Ahras di rak buku. Melanie masih terlalu lugu untuk memulai pembicaraan. Apakah aku harus meminta maaf?
"Paman," panggil Melanie yang cukup akrab dengan pria pribumi yang baru dikenalnya ini. Melanie merasa tenang karena Ahras cukup sopan dalam berkata walaupun perbuatan. Namun sepertinya belum mengerti semuanya.
"Apa?" sahut Ahras.
"Maaf soal yang tadi ya paman." Ujar Melanie.
"Tadi yang mana ya?" Ahras kembali bertanya karena kebingungan.
"Tadi paman, ketika paman mengangkatku ke rak buku." Tegas Melanie.
"Lho, kenapa emang tadi?" Ahras sepertinya pura-pura bodoh akan hal ini.
"Soal tadi paman, maaf kalau aku terlalu lama memilih buku." Ujar Melanie tentang kesalahannya tadi.
"Oh, itu, biasa saja sih." Jawab Ahras yang sepertinya sudah memaafkan kesalahan Melanie.
"Sama satu hal lagi paman?" Rasa penasaran Melanie timbul.
"Hmmnnn?" Tanya Ahras.
"Ketika pantatku menyentuh pinggul paman, kenapa ada yang keras-keras itu paman? Apakah,,,?" Melanie sepertinya kebingungan ingin mengatakan apa. Tetapi sepertinya Ahras menanggapinya.
"Maksudmu ini," ujar Ahras sembari menunjukan batang kejantanannya yang masih terbungkus kain jarik.
"Ah,,," Melanie terngaga ketika menatap tonjolan itu. lalu ia tersentak ketika ia harus mengatakan sesuatu. "I-iya paman."
"Lalu kenapa engkau menggesekan pantatmu kesini?" Ahras mencerca pertanyaan itu ke Melanie. Melanie hanya terdiam tanpa sekalipun dapat menjawab.
"Tidak tahu paman, rasa-rasanya ada yang mengganjal di pantatku?" Ujar Melanie memberikan jawaban kepada Ahras.
"Kau mau lagi?" pertanyaan ini sungguh menyiksa Melanie. Ia tahu harus menjawab apa, tetapi Melanie tak ingin menjawabnya.
"Ta--tapi paman," ujar Melanie.
"Sudah, ayo. Sebentar saja." Kata Ahras sembari menarik tubuh Melanie ke pangkuannya.
Lalu, Melanie merasakan getaran aneh di dalam dirinya. Tubuhnya menghangat ketika berada di pangkuan Ahras. Ditambah lagi, goyangan ringan dari kereta kuda itu membuat darah Melanie mendidih.
"Menghadaplah ke depan." Pinta Ahras.
Melanie terlihat canggung ketika memutar tubuhnya. Ia kini duduk membelakangi Ahras. Entah? Apa yang dirasakan Melanie, sepertinya b***************n Ahras tercetak jelas di balik kain jariknya. Begitu juga dengan bongkahan p****t Melanie yang menekan di balik kain jarik itu.
Hal ganjil membawa Melanie terjun dalam jurang birahi belianya. Ia tak sadar ketika goyangan pinggulnya membuat Ahras tersedak. b***************n itu tertekan oleh belahan pantatnya dan mungkin saja menekan daerah kelaminnya. Melanie mulai merasakan desakan hangat mengalir dari bibir berlendirnya. Wajahnya merona bak buah apel dari negeri seberang sana. Melanie tak berani menoleh, atau bergerak lebih. Guncangan kereta kuda itu cukup untuk menyamarkan goyangan pinggulnya.
Namun Ahras tak terima begitu saja. Ia menarik bahu Melanie sehingga kini Melanie bersandar di tubuh Ahras. Hembusan lirih nafas Ahras menyentuh leher jenjang Melanie. Sehingga membuat bulu kuduk Melanie berdiri.
"Ah, paman, kita hampir sampai." Ujar Melanie melarang Ahras untuk berbuat lebih padanya.
"Hmn, tapi kau suka?" Bisik Ahras sembari meniupkan nafasnya ke belakang telinga Melanie. Tak sadar, Melanie semakin terbuai dengan rangsangan itu. Ditambah lagi dengan tonjolan keras yang menusuk bongkahan p****t Melanie. "Bagaimana kalau kita bersenang-senang sejenak?"
"Mmmnnn, maksud paman?" Tanya Melanie sembari memegang kedua Ahras. Kini Ahras mulai nakal, kedua tangannya melingkar tepat di bawah buah d**a Melanie yang mengkal.
"Berputarlah!" Ujar Ahras.
Melanie merasa ragu ketika tangan Ahras yang kekar mengangkat tubuhnya. Kini Melanie berdiri menatap Ahras yang duduk tak tenang di tempatnya. Lalu, Ahras menarik tubuh Melanie ke pangkuannya lagi.
"Tunggu paman!" Melanie menolak karena rok jariknya terlalu panjang sehingga tak memungkinkan untuk menaiki Ahras.
"Ah, begini." Ujar Ahras sembari menyingkap jarik Melanie sebatas lututnya. Lalu ia menarik Melanie jatuh kepangkuannya.
Sesaat Melanie merasa canggung ketika harus berhadapan dengan Ahras. "Susah paman," protes Melanie ketika kakinya sulit untuk mengangkang.
Ahras tak tinggal diam. Ia menarik kain jarik Melanie dari balik punggungnya dan terlihatlah bongkahan p****t Melanie yang mulus. Tarikan jarik itu tentu meloloskan kedua kaki Melanie. Melanie tak sadar bahwa liang kewanitaannya mulai menempel ke b***************n Ahras yang masih terbungkus kain jarik.
Rasanya sungguh berbeda. Melanie merasa sentuhan Ahras semakin menggoda, walau Ahras hanya mengusap punggung Melanie saja. Melanie tak sadar bahwa goyangan ringan tersaji di pinggulnya. Punggulnya menekan b***************n Ahras dan terkadang meregang kembali. Alur gesekan itu menimbulkan lendir kekuasaan Melanie mengalir lirih di sela bibir kewanitaannya. Wajahnya merona dan tubuhnya menghangat seiring dengan dengusan nafas yang sesekali terdengar dari bibir Melanie.
Melanie tak berani menatap wajah Ahras, walau wajah mereka begitu dekat. Hidung Ahras sesekali menyentuh leher jenjang Melanie dan hembusan nafasnya membuat Melanie terasa geli. Pikiran belia Melanie pupus ketika Ahras mulai merengkuh pinggangnya. Rengkuhan itu berubah menjadi usapan lembut yang membuat birahi Melanie tertekuk.
"Auhhh,, paman,,, kita ham,," racauan Melanie tersela oleh perkataan Ahras.
"Tenang saja, perjalanan masih cukup jauh." Sela Ahras menggugurkan segala kecemasan Melanie.
Dalam deritan roda kereta kuda itu. Melanie semakin menerjang. Gerakan pinggulnya menekan dan menggesek b***************n Ahras yang masih terbungkus beskapnya. Ingin sekali Melanie membuka kain jarik Ahras dan menatap isinya. Namun ia tak ingin se-agresif itu. Ia cukup menikmati permainan ini. Sesekali Melanie menatap Ahras mengecup ringan belahan dadanya yang dipenuhi peluh dan keringat. Buah dadanya begitu sekal sehingga busungannya merapatkan belahan dadanya. Melanie serasa ingin membukanya, namun kecanggungan membuatnya terjebak dalam posisi itu.
Entah, baru petama kalinya merasakan kejangan seperti ini. Kejangan belia yang timbul dari kedewasaan yang mulai berawal. Melanie merasakan kejutan saraf yang menyentuh ujung kepalanya. Ia tak sadar ketika wajahnya mendongak dan matanya terpejam. Bibirnya setengah terbuka menghembuskan desahan lirih yang begitu menggoda. Kejangan itu menyentuh pinggulnya yang bekerja semakin cepat. Tanpa sadar bahwa lendir tengah menguar dari liang kewanitaannya. Liang kewanitaan dengan bulu-bulu halus yang membuat birahi setiap pria terjebak di dalamnya. Tak terasa, lendir itu cukup banyak sehingga kucurannya membuat jarik milik Ahras basah kuyup.
"Sudah?" Bisik Ahras setelah Melanie menyeleseikan kejangan terakhirnya.
Rasa malu membuat Melanie tersipu. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu, namun ia hanya menatap wajah Ahras yang tersenyum penuh kemenangan.
"Menyingkirlah," ujar Ahras sembari membantu Melanie turun dari pangkuan Ahras. Sesaat mata Ahras menatap bulu-bulu halus yang menyembunyikan liang senggama itu.
Melanie terlihat cukup canggung. Ia merapikan kain jariknya yang kedodoran. Keringat membasahi wajah hingga leher, lalu liang kewanitaannya juga terasa lembab.
"Yah, basah." Keluh Ahras seraya menatap kain jariknya yang telah basah kuyup.
Melanie melotot menatap kain jarik Ahras yang basah oleh lendirnya. Ia merasa malu dan tentunya merasa bersalah karena telah menodai pakaian Ahras.
"Aduh, maaf paman." Melanie berusaha meminta maaf.
"Tak apa, biar nanti aku saja yang cuci." Kata Ahras seraya merapikan beskapnya.
Melanie kembali duduk terdiam di samping Ahras. Rasa malu membuatnya terdiam seribu bahasa. Namun beruntung, Ahras memulai pembicaraan itu.
"Tolong rahasiakan semua ini," ujar Ahras memulai pembicaraan. "Mengerti?"
Melanie menoleh ke arah Ahras. Ia mengangguk sembari tersenyum ringan kearah pria yang baru saja ia kenal itu.
"Paman, tinggal dimana?" Tanya Melanie sembari mendekatkan tubuhnya ke arah Ahras. Hal itu membuat buah d**a Melanie menyentuh lengan Ahras yang kekar.
"Aku tinggal di rumah temanku," jawabnya seraya menatap wajah Melanie. "Eh, kau dari Schulmachdenn. Kau pasti mengenal prof. Herringard?"
Seketika Melanie teringat dengan wajah pria kompeni berusia hampir setengah baya itu. Ia mengingat kumis tipis hingga rambut klimis beruban milik Herringard. Ia mengingat cekungan mata yang membingkai warna coklat cerah matanya. Prof. Herringard adalah salah satu orang terpintar di Batavia ini. Bahkan kabarnya ia sering mendapat penghargaan dari Ratu Wilhemina.
"Iya, aku tahu, ia mengajar di Universiadenn. Aku pernah bertemu dengannya beberapa kali." Ungkap Melanie.
"Hmn, kalau begitu jangan ceritakan hal ini kepadanya." Ujar Ahras seraya melerai tirai yang menutup jendela kereta. "Sepertinya kita hampir sampai?"
Melanie mulai gugup, ia harus segera merapikan kembali jariknya agar semuanya tak curiga. Ia merapikan rambutnya agar tergerai dan mengusap peluh yang masih menempel di wajahnya. Akhirnya kereta Melanie berhenti di sebuah rumah yang sangat megah. Rumah milik Adipati Arthaprawirya yang menjadi kebanggaan Melanie.
"Sudah sampai paman," sapa Melanie sebelum ia menuruni kereta.
"Tunggu dulu," cegah Ahras. Lalu entah kenapa, Ahras mengecup ringan bibir Melanie. Melanie merasakan hal yang tak biasa. Entah itu benih-benih cinta atau nafsu belaka, ia belum mengerti. Tetapi yang jelas, rasa bahagia tengah melanda dirinya. Lalu dari bibir tipis Ahras, terdengar suara yang sangat lirih, "selamat ulang tahun, Lanie."
Melanie kembali merasa tersipu dengan ucapan itu, karena baru pertama kalinya ia mendapatkan hadiah paling istimewa, yaitu hilangnya rasa penasaran dari sebuah percintaan.
"Te-terima kasih paman," Melanie terbata sembari tersengeh dan membuang pandangannya dari Ahras.
"Baik, pulanglah dan kita akan segera bertemu lagi." Kata Ahras mempersilahkan Melanie keluar dari kereta kudanya.
Hatinya senang sekaligus sendu, ketika ia harus pulang. Di rumah sedang ada Perayaan~~tentu saja perayaan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Teman-teman beserta orang tua mereka akan datang. Untuk sekedar memberi selamat, hadiah, atau mengikuti acara saja. Semua temannya adalah orang asing, hanya beberapa saja yang pribumi anak peningrat. Tak ada orang pribumi biasa yang bisa masuk di Schulmachdenn. Disamping biaya yang mahal, juga untuk apa pribumi biasa masuk kesana kalau akhirnya harus bercocok tanam atau bekerja berat.
Schulmachdenn, adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh para kompeni. Setelah Rodi dihapuskan karena memakan banyak korban jiwa, para pribumi sedikit mendapat tempat di negerinya sendiri. Mereka bekerja dengan kemampuan mereka masing-masing. Ada yang bercocok tanam, mencari ikan, menenun kain, memulas batik, atau pekerjaan lainnya. Yang terpenting hasilnya bisa ditukar dengan Gulden, Duiten dan Stuiver. Kepeng emas, perak dan perunggu tak berguna lagi di Batavia ini. Para kompeni mengganti dengan Gulden yang merupakan lembaran kertas dan bernilai paling tinggi. Duiten dibuat dari lempengan logam kuningan yang berbentuk bulat dan besar, serta Stuiver sama seperti Duiten namun kecil sehingga mudah sekali hilang dan menggelinding. 1 lembar Gulden seharga 4 Duiten, lalu 1 Duiten bernilai 5 stuiver. Jadi jika kita menukar 1 lembar Gulden maka akan mendapat 20 keping Stuiver. Hitungan yang rumit itulah yang membuat para pribumi sering dibodohi oleh para pengepul. Ditambah lagi dengan pajak kota, pembangunan dan keamanan yang semakin mencekik leher para pribumi.
Tetapi tidak pribumi seperti Melanie. Ayahnya adalah seorang ningrat yang mempunyai banyak sawah tegalan. Usahanya secara turun temurun sehingga membuatnya menjadi salah satu keluarga paling disegani di Batavia ini. Keluarga Arthaprawirya, mereka menyebutnya. Keluarga kecil dengan seorang anak perempuan yang blesteran. Blesteran bukan karena kutukan, tetapi karena ibu kandung dari Melanie harus gugur sehari setelah melahirkannya. Hal itu membuat sang ayah harus menikah lagi dengan seorang pribumi anak peningrat lainnya. Bukan untuk menambah keturunan, tetapi untuk menjalin kerja sama diantara para ningrat yang begitu rakus itu.
Tak segan, mereka harus menikah beberapa kali untuk melancarkan usaha mereka. Terkadang pernikahan hanya untuk lembaran Gulden semata, bukan cinta atau kasih sayang antara dua insan manusia.
Melanie belum tahu apa-apa. Yang ia tahu adalah belajar menjadi berguna. Sehingga ia memaksa sang ayah untuk memasukannya ke dalam Schulmachdenn walau ibu tirinya melarangnya. Hanya sedikit wanita keturunan pribumi disana, tetapi ia bukan pribumi, ia adalah blesteran~~hasil buah cinta dari ayah pribumi dan ibu yang kompeni.
Ibu tirinya menganggap bahwa ia adalah seorang wanita, dan tugasnya adalah mencuci, memasak dan melayani suaminya kelak. Semua itu tak perlu sekolah tinggi karena hanya akan menghabiskan waktu dan biaya. Tetapi tekatnya begitu keras, ia mewarisi mata sang ayah yang tegas walau hatinya lembut seperti ibunya.
Akhirnya sang ayah luluh ketika ia bercerita tentang Alicia Piterzon Coen yang pada masanya telah menjadi penulis banyak buku, penjelajah, dan peneliti yang handal. Melanie menganggap bahwa dirinya seperti Alicia, ayahnya adalah seorang Governoor jendral pada masanya dan ia memberikan kebebasan pada putrinya. Alhasil putrinya menjadi wanita yang cerdas dan berguna.
Tak hanya menelurkan Novel cerita cinta yang barusaja Melanie pinjam dari Schone Letteren ini. Alicia juga menghasilkan buku tentang kedokteran, pertanian, dan keanekaragaman hayati di negeri ini. Disamping ia seorang ilmuwan dan petualang, ia juga sastrawan yang banyak menciptakan banyak karya sastra yang dimainkan dalam opera di dunia barat sana. Ia digadang-gadang menjadi pesaing dari Dr. Rafless yang hebat dengan buku flora dan faunanya. Malahan Alicia lebih unggul karena tak hanya hebat dalam ilmu pengetahuan, ia juga hebat dalam menuangkan setiap karyanya pada kisah novel klasiknya yang melegenda.
Melanie begitu tergila-gila pada sosok Alicia. Ia ingin seperti dirinya, yang hebat dalam segala bidang. Namun Melanie tak tahu bahwa buku itu tak hanya menceritakan tentang Ahras dan Saras, tetapi menceritakan tentang kehidupan cinta Alicia yang tak pernah berbalas.
Setelah sekian lama, ia menunggu menguak tabir penuh haru dan hasrat dari buku yang baru ia pinjam itu. Namun sepertinya buku itu sia-sia, siang tadi ia mendapatkan pengalaman yang cukup mengejutkan dari sesosok pria bernama Ahras. Ia semakin penasaran dengan percintaan singkatnya dengan pria yang barusaja dikenalnya itu. Dan mungkin Melanie merasa ingin mengulanginya lagi.
Suasana rumah yang hiruk pikuk membuatnya tak tenang. Pikirannya mengumpat dengan semuanya yang terjadi. Lalu ia berpikir lagi, jika tak ada hari ini. Ia tak akan pernah mendapatkan pengalaman yang cukup istimewa hari ini.
Ia menghela nafasnya dan menutup sampul bukunya. Lalu ia menyimpannya di laci, tepat di bawah mejanya sendiri. Ia berdiri sembari menghela nafas tinggi dan keluar menyongsong hari yang sangat spesial baginya ini.