Ronde 2 : Gaun Sang Nona

4599 Words
Ronde II : Gaun Sang Nona   Siang telah beranjak senja ketika sepasang mata sayu memandang rindangnya pepohonan. Sepasang mata yang membuat siapa saja hanyut dalam lamunan yang tabu. Tak khayal, sepasang mata itu memandang sepasang burung merpati di pepohonan randu. Sepasang merpati yang saling mencintai, sedang b******u di balik rimbunnya dedaunan. Tak ada yang bisa mengganggu mereka, bahkan angin kencang dan hujan deras yang akan menerjang. Sang merpati jantan yang mematuk leher betina yang terus bergelayut mesra di tangkainya. Sepasang mata kecoklatan itu terus memandang, diantara rintikan hujan yang terus berdatangan. Tak pelak dirinya ikut terharu dalam dengusan nafas sang merpati yang sedang b******u. Dalam pikirannya, sepasang mata gadis itu ingin seperti itu. Hidup bebas dan liar, dengan pasangan yang dicintai dan mencintainya. Merpati jantan itu mengepakan sayapnya agar menimpa tubuh betina yang begitu pasrah dengan cekikan paruh pasangannya. Cekikan paruh yang tak begitu menyakitkan, namun malah membangkitkan hasrat terpendam si betina. Sehingga ekor panjang sang betina terangkat untuk memudahkan sang jantan menanamkan benihnya. Melanie memandang dengan penuh rasa penasaran ke pasangan merpati yang sedang b******u itu. Jantung berdegub dan darahnya berdesir melewati aliran wajah sayunya. Lalu petir menyambar dari kejauhan sehingga menghasilkan kilatan langit yang menakutkan. Seketika gluduk terdengar dan sepasang merpati terbang karena kejutan. Melanie mendengus kesal dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ia kesal karena langit sedang tak bersahabat dengan dirinya. Pergumulan sepasang merpati itu ia lamunkan, ketika rintikan hujan mulai terdengar. Rintikan menyentuh dan mengetuk atap genting tanah liat yang mengalir mengikuti alurnya, lalu terjatuh ke tanah. Ia berpikir bahwa kedua merpati itu sedang berteduh di suatu tempat, entah di balik dedaunan atau di sela-sela atap perumahan. Mereka mungkin sedang b******u dan merayu, seakan hujan menjadi pemanas nafsu. Baru tadi siang ia merasakan gelegar nafsu singkat yang menghadirkan lamunan sendu. Sejenak Melanie ingin menyesali tubuhnya yang dijamahi oleh pria yang baru dikenal, namun Melanie tak sanggup menerima setiap rangsangan belia yang baru saja ia terima. Ia cukup memikirkan sosok pria pribumi yang misterius itu. Terakhir ia berkata bahwa pria itu berada dirumah Prof. Herringard. Dan mungkin mereka akan bertemu lagi. Semua perasaan itu menyisip lembut hingga membuat tubuh Melanie memanas sendiri. Lama berselang, ketukan pintu terdengar dari luar kamar. Ketukan lembut yang berasal dari seseorang yang ia kenal. Ia adalah seorang ibu, walau Melanie tak lahir dari rahimnya. “Sebentar!” teriak Melanie sembari merapikan beberapa buku-bukunya. Ia tak ingin ibu tiri yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri itu melihat bacaan dewasa di dalam kamarnya. Padahal ibu tirinya itu berharap Melanie tumbuh dewasa dan menjadi wanita seutuhnya. Lalu langkah kaki pucatnya menuju pintu dan membukanya perlahan. Pintu baru setengah terbuka, ibunya merangsek masuk ke dalam kamar anak perawannya. Wajahnya tersenyum lembut dengan bibir gincu yang selalu teroles setiap waktunya. Gelungan konde yang terikat membuat belakang kepalanya membesar seperti penyakit tumor yang digambarkan di pelajaran biologinya. Wajah ibu tirinya, sangat pribumi namun menawan. Tidak seperti dirinya yang blesteran. Kulitnya sawo matang dengan hidung sedikit menjorok kedalam, bibirnya lebar seperti orang tersenyum walau ia sedang tak tersenyum. Pipinya sedikit tembem dan keriput dimatanya menandakan berapa usianya. Sifatnya anggun dan pemerhati setiap insan membuat Melanie betah berada di dekatnya. “Ibu!” gumam Melanie singkat. “Nah, siapa yang ulang tahun hari ini! Ibu sudah pesan kue dari toko Zachte. Ibu pesan yang paling besar dan paling spesial!” Ujar ibunya memamerkan kasih sayang kepada putri yang sebenarnya bukan putri kandungnya. “Kenapa acaranya semeriah ini, bu? Aku malu!” ujarnya merengek dan menggelayut pada tubuh ibunya yang tingginya hanya setinggi telinga Melanie. “Lho, lho, lho! Bukannya Lanie sendiri yang dulu bilang bahwa acara ulang tahunmu harus dirayakan setiap tahun!” goda ibunya, sehingga raut wajah Melanie mengheran seakan mengingat apa yang pernah ia katakan. “Kapan Lanie ngomong seperti itu?” ujarnya keheranan. “Dulu, waktu ulang tahun Lanie yang kelima!” “Ah, itu sudah lama! Aku lupa. Sekarang aku malu berada ditengah-tengah keramaian dan menjadi pusat perhatian.” Keluh Melanie sembari melangkahkan dirinya ke cermin besar di kamarnya. Ia mencoba menerawang bentuk tubuhnya semakin tumbuh dewasa. Dadanya terlihat membusung dan pantatnya membentuk sempurna. Lalu ibunya melangkah mendekati Melanie yang sedang berkaca sembari merapikan rambutnya. “Kamu memang cantik, putriku!~~sebentar Romo dan Ibu punya hadiah untukmu.” Dengan tergesa ibunya keluar kamarnya. Melanie hanya berdiam saja di kamarnya sembari memandang tubuhnya sendiri. Wajahnya putih kadang kemerahan kadang pucat. Seakan warna kulitnya berubah seiring dengan suasana hatinya. Sekarang ia terlihat pucat seperti mayat, ditambah lagi dengan cuaca dingin yang melembabkan tulang. Matanya coklat, mewarisi mata ayahnya. Hidungnya lancip dan bibirnya tipis lentik mewarisi ibunya. Itulah yang ia dengar dari ayahnya yang sesekali bercerita tentang ibu kandungnya. Tak lama, ibunya datang dengan membawa sebuah kotak. Ia tak tahu apa isinya itu, tetapi itu bukanlah sebuah kado. Kado semestinya dibungkus dengan kertas berwarna dan pita agar mempesona. Namun kotak itu terbuat dari kayu lapis dan terkesan usang dimakan usia. “Ibu sudah mencuci dan membersihkannya.” Ujar ibunya sembari tersenyum meletakan kotak itu dinatas meja. Lalu ibunya meneruskan kata-katanya. “Romo dan Ibu sudah tak sabar ingin melihatmu mengenakan ini!” ujar ibunya sembari membuka kotak itu perlahan. Betapa terkejutnya Melanie ketika melihat isi dalam kotak itu. Sebuah gaun pesta yang indah berwarna biru muda dengan renda di bagian kerahnya. Kainnya begitu halus dan lembut terasa di setiap kulitnya menyentuhnya. “Ini...” Melani yang terkejut hanya bisa menatap dan menyentuh gaun yang masih berupa tumpukan itu. “Gaun milik ibu kandungmu.” ujar ibu tirinya sembari memeluk pinggang Melanie. “Cobalah, Lanie akan terlihat cantik malam ini!” Batin Melanie seakan berteriak. Ia membayangkan dirinya sendiri di balik gaun biru muda itu. Kata sang ayah, ia begitu mirip ibunya, namun mewarisi mata ayahnya. Matanya sayu dan tetap memandang gaun itu, seakan ia tak berani menyentuh apalagi memakainya karena takut merusaknya. “Sekarang cobalah gaun ini. Kau akan memakainya malam ini!” ujar ibu tirinya sembari meraih gain biru muda itu. Seketika panjang gaun itu menghampar menyentuh lantai batu yang dihaluskan. “Tapi bu, aku sudah siapkan kebaya-ku untuk malam ini!” “Sudah pakai saja! Jarang sekali kau memakai gaun seperti ini.” Paksa sang ibu tiri sembari mengepaskan gaun itu pada tubuh Melanie. Walau gaun itu hanya menempel ditubuhnya saja, serasa cocok dengan kulit asingnya yang pucat. Dengan sigap, Melanie melepas pakaian luarnya untuk mencoba gaun itu. Tanpa kata lagi, ia melepas kancing kebaya kusutnya. Sehingga kemben yang ia kenakan terlihat di kaca. Buah dadanya menyembul di bagian atas, buah d**a yang tentu saja lebih besar dari teman sejawatnya. Tangan Melanie bergerak melepas stagen yang melingkar di perutnya. Tak beberapa lama, stagen itu terlepas dan kenditnya mengendur. Sehingga kain jarik yang ia kenakan mengendur juga. Tanpa sadar, kain jarik miliknya lolos dari tubuhnya. Paha jenjangnya terlihat sempurna oleh matanya sendiri di cermin itu. Bulu halus di selangkangannya terlihat jelas dengan daging kemerahan menyembul di balik lipatan keriput itu. Mata Melanie seakan terbius oleh tubuhnya sendiri. Ia meraba perutnya dan mengalirkan tangannya ke bagian bawahnya. Maksudnya adalah untuk menutupi rongga malunya, namun rasa desiran mengalir ke seluruh tubuhnya. Ketika jemarinya menyentuh bagian hangatnya sendiri. Mukanya yang pucat memerah terlihat di kaca. Ibunya tak begitu memperhatikannya karena ia terlalu sibuk menyiapkan gaun yang akan Melanie kenakan. Tangan satunya melepas kain yang menutupi tonjolan dadanya yang besar. Dengan sekali tarikan, buah d**a itu menyembul dari balik kain itu. Putingnya hitam kemerahan dan terasa tegang karena kedinginan. Buah dadanya yang subur di usianya, membuat beberapa lelaki menatapnya keji. Tatapan yang seakan menelanjanginya luar dan dalam. “Nah! Sudah. Sekarang cobalah!” ujar sang ibu tiri dengan memberikan kemban yang khusus di pakai di gaun itu. “Bentangkan tanganmu!” Melanie terhentak dalam lamunan tabunya. Dengan segera, ia membentangkan tangannya sembari menunggu ibunya menutup tubuh indahnya dengan kemban yang ketat itu. Seketika tubuh indahnya tertutup oleh kemban putih yang memiliki tonjolan di area dadanya. Namun penutup d**a itu tak menutup sempurna, hanya setengah saja sehingga Melanie harus menariknya keatas lagi agar p****g susunya tersembunyi. Jemari lincah sang ibu mengurusi tali temali di bagian punggungnya. Rasa sesak terasa ketika tarikan kuat mengikat tubuhnya. “Tahan nafasmu!” Perintah ibunya lembut. Melanie menarik nafas panjang dan menahannya. Sehingga perutnya mengempis dan dadanya membusung. Sungguh busungan d**a yang indah dan menarik pria mana saja yang melihatnya saat itu. Perutnya mengempis dibalik kemban berenda itu, rasanya sungguh menyesakan dan tak biasa ia lakukan. Kemban itu begitu ketat, tak seperti kendit atau stagen yang biasa ia kenakan. Lalu sang ibu mengurungi tubuh Melanie dengan gaun yang akan menjadi hiasan tubuhnya. Seketika keindahan tubuhnya berubah menjadi lebih indah. Biru muda sangat cocok dengan kulitnya yang putih. Melanie terlihat canggung dengan balutan gaun yang menutupi tubuhnya, seakan gaun itu mempercantik dirinya yang terlihat di cermin tua. Dalam sekejap, Ibu tirinya tersenyum menatap putrinya yang berkaca di cermin itu. “Sungguh! Lanie bagai seorang putri kompeni!” Puji ibunya sembari tersenyum dan terbelalak menatap Melanie yang tersipu malu. “Baik, sekarang mandilah! Kita harus bergegas. Tamu akan segera datang!” “Tapi bu!” sela Melanie. Ibunya menatap keheranan ke wajah Melanie yang menunduk. Sepertinya ia memandang belahan dadanya yang menonjol karena potongan gaun itu terlalu pendek. “I~Ini, terlihat menyembul!” gumam Melanie sembari menunjuk belahan dadanya sendiri. “Oh, itu! Biarlah, memang seperti itu. Lanie kelihatan lebih dewasa sekarang!” Goda ibunya sembari menjawil belahan d**a putrinya sendiri. Sehingga respon spontannya mengarahkan tangan Melanie untuk menutupi d**a sintalnya itu. Namun gerakan tangannya sebanding dengan getaran tubuhnya. Kulitnya serasa hangat dan jantungnya bergerak cepat. Tak pernah ia merasakan seperti itu ketika tubuh sensitifnya tersentuh oleh seseorang. Walau yang menyentuhnya adalah ibu tirinya sendiri. “Ya, sudah! Ibu juga siap-siap dulu!” Ujar ibunya sembari tersenyum lebar dan melangkah keluar kamar. °•○●  Tubuh Melanie terasa bergetar, seakan getaran itu terasa menyengat tubuhnya. Tak ada yang ia ketahui karena pelajaran di Schulmachdenn belum menjelaskan apapun tentang bereproduksi. Pernah dalam satu waktu, ia bertanya kepada ibu tirinya. Bagaimana bayi itu dapat hadir di perut sang ibu? Tentu saja ibu tirinya begitu gelisah dengan pertanyaan sang putri yang membingungkan. Akhirnya ibunya tak bisa menjawab apapun, lalu berganti sang ayah yang menjawab. Ayahnya berkata bahwa suatu saat engkau akan tahu jawabannya, disaat kau menikah nanti. Dan disaat itulah, Melanie kecil yang lugu dan pemaksa ingin menikah sekarang juga. Akhirnya gelak tawa dari kedua orang tuanya terpecah di keheningan ruangan. Sifatnya yang keras dan selalu ingin tahu, membuatnya menjadi gadis cerdas. Ayahnya mungkin sekarang sedang berpikir untuk memilih jodoh untuk Melanie kelak, apakah ia akan dijodohkan oleh seorang ningrat pribumi atau seorang tentara kompeni. Ia belum tahu. Bunga melati menggenangi tubuh sintalnya yang sedang berendam di sebuah bak mandi berwarna keemasan. Bak mandi ala kompeni yang dibeli oleh ayahnya yang ningrat. Air mandi itu beraroma melati yang baru saja dipetik dari belakang rumah Melanie. Ia begitu suka aromanya, karena alami dan asli. Walau sebagian besar keluarganya sudah menggunakan sabun mandi dibeli di toko-toko para kompeni. Menurutnya, benda berbuih itu tak asli dan merusak kulit, walau sebenarnya lebih praktis dari pada bunga-bunga ini. Melanie memikirkan kejadian siang tadi, ketika pria pribumi mengerjai tubuhnya. Walau masih dalam batas wajarnya. Melanie merasa bahwa ia menginginkan lebih dari kejadian tadi. Namun pria bernama Ahras itu hanya merangsang saja. Melanie mengingat setiap lekukan b***************n yang masih terbenam dalam kain jarik Ahras. Tak terasa kini tubuh Melanie makin menghangat. Tangan Melanie bergerak, menyusuri setiap lekuk tubuhnya. Ia mencoba menghilangkan daki dan sisa keringat yang menempeli tubuh indahnya. Tak ada yang ia pikirkan kecuali perlakuan Ahras terhadap dirinya siang tadi. Kebanyakan wanita akan marah jika tersentuh oleh pria. Namun berbeda dengan Melanie yang hasratnya membahana bagai birahi yang tak kunjung usai. "Ahras,,, nama yang bagus." Gumam Melanie sembari menggosok kulit tubuhnya. Jemari lentiknya bergerak mengusap bongkahan dadanya yang kenyal, dengan p****g s**u ranum hitam kemerahan. Ia tak tahu, bahwa nafasnya mulai mendengus. Ketika jemarinya mengenai p****g s**u yang ranum berwarna hitam kecoklatan itu.  Tubuhnya merosot mengikuti lengkungan bak mandi. Punggungnya melengkuk sempurna ketika kedua tangannya mengusap kedua buah dadanya. Ia meremas dan memelintir p****g susunya sendiri. Jemari lentiknya berputar memberikan rasa sakit berikut nikmat diantara gerimis yang mulai mereda. Matanya mulai terpejam, membayangkan seorang pria yang sedang merengkuh tubuhnya. Ia membayangkan pria itu jemari kekar dan kasarnya di buah dadanya. Gerakan jemarinya semakin kental ketika ia mencubit bagian p****g susunya yang mengeras. Sungguh lentur dan mempesona. Gerakan jemarinya memberikan rasa gigitan, seolah p****g susunya di gigit oleh geligi nakal pria yang ada dibayangannya. Tak ada bayangan lain dibenak Melanie kecuali seorang pria pribumi berbeskap yang baru ia temui siang tadi. Wajahnya terbayang jelas ketika Melanie menutup matanya dan menghembuskan nafas panasnya. Perlahan, Melanie yang terangsang mulai meraba perutnya ratanya. Jemarinya bergerak lambat dipusarnya agar memberikan rasa geli dalam tubuhnya. Ia menggigit kecil bibirnya sendiri, ketika tangannya bergerak mengusap bulu halus nan hangat mewangi. Tangannya bergerak lambat dan menggesek bagian bibir kawinnya yang mulai terbasahi. Bukan terbasahi oleh air, tetapi semacam lendir yang menyentuh jemarinya. Rasanya seperti melayang, ketika ia melonggarkan pahanya. Sehingga bibir itu seperti terbuka lebar. Jemarinya bergerak cepat menggesek bagian penuh lendir itu. Tak ada yang perlu ia katakan selain desahan dan desisan hangat dari hidungnya yang memanas. Jemarinya semakin cepat dan lebih cepat, sehingga pinggulnya bergetar dan menggelinjang seperti orang yang kesetanan. Aroma melati bercampur anyir tercium dari lubang kawinnya yang mulai memerah muda. Matanya memutih sempurna ketika kejangan terjadi di dalam tubuh belianya. Pipinya merah merona dan dadanya melengkung membusung, seakan seorang pria impiannya sedang menghisap kuat p****g susunya. Pinggulnya bergerak liar, seiring dengan gerakan tangannya mengusap lubang berlendir itu. Teriakannya tertahan karena salah satu tangan halusnya menutupi mulutnya. Dahinya mengernyit dan matanya tertutup rapat, merasakan desiran birah yang mengalir cepat memenuhi ubun-ubunnya. Terasa kejutan tubuhnya memberikan efek cipratan pada air berlumur bunga melati itu. Tubuhnya serasa hangat diiringi dengan desahan lirih dari dalam rongga hidungnya. Tangannya terkulai lemas menikmati sisa-sisa puncaknya. Dirinya bagai berada di pucuk bambu yang tertiup angin. Wajahnya menebal seiring dengan rona pipinya yang memerah. Tak pelak ia beristirahat sejenak, walau sebentar lagi ia harus bangun dan menyongsong tamu-tamunya. "Ah, paman Ahras." Melanie tak sadar tengah menggumamkan sebuah nama yang membuatnya setengah gila. °•○● Malam telah tiba, para tamu sebagian sudah datang dan bola-bola lampu sudah menyala terang. Musik berdendang dari biola dan cello dari para pemusik jalanan yang didandani ala pemusik profesional. Anggur-anggur dan penganan sudah berjajar menunggu siapa saja yang meraih dan menyantapnya. Terlebih lagi, sebuah kue dengan hiasan lilin kecil berjumlah tujuh belas menancap dari balik cream putih nan bersih. Melanie masih terlalu sibuk gaun rumitnya, karena ia tertidur di bak mandinya. Sehingga ibu tirinya bergegas membantunya untuk memakai gaun pestanya. Baru kali ini, ia memakai gaun itu. Di acara-acara lainnya, Melanie selalu memakai kebaya sederhana namun selalu cocok untuk dirinya, bahkan di Schulmachdenn sekalipun. Ia sadar bahwa kebiasaan orang tuanya yang pribumi, harus ia bawa keluar ke lingkungan luarnya. Tak ada yang bisa protes dengan dirinya karena tingkat anak-anak kompeni setara dengan dirinya, malah lebih tinggi Melanie. Ayahnya adalah salah satu demang ningrat di Batavia. Gelarnya adalah Adipati dan tugasnya adalah menyuplai bahan makanan bagi para kompeni. Semua orang di kota ini kenal pada dirinya, termasuk para pribumi paling miskin sekalipun. Wajah Melanie terlihat lelah dengan rambut basah dan rona pipi yang memerah. Merah bukan karena dipulas, tetapi karena teroles biduk birahi yang mengalirkan aliran darahnya ke wajah putihnya. “Kenapa Lanie bisa tertidur di acara seperti ini?” Gumam ibunya kesal sembari menyisir rambut putrinya yang akan merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Melanie hanya diam saja, ia hanya perlu keluar kamar, bersalaman, bernyanyi sebentar, meniup lilin, berbincang basa basi, lalu acara selesei dan ia bisa kembali ke kamar untuk tertidur pulas. Namun acara yang begitu singkat di benaknya serasa begitu lama jika dijalani dengan kondisi saat ini. Desakan nafsu yang dipaksa keluar dari dalam tubuh membuat Melanie lemah dan tak berdaya. Pikirannya kacau dan nafasnya normal lagi. Ia menyerahkan semua penampilannya malam ini pada ibu tirinya yang dengan tergesa memulas wajahnya. Bubuk bedak seharga 5 Gulden, lipstik gincu 3 Gulden dan celak seharga 30 Duiten telah terpasang sempurna di wajahnya cantiknya. Wajahnya memang cantik, namun cantik yang sesungguhnya bukan berasal dari pulasan yang didatangkan dari negeri seberang itu. Namun ekspresi wajah yang ceria yang membuatnya cantik. “Sudah! Sekarang tersenyumlah!” ujar ibu tirinya sembari mengajak putrinya untuk tersenyum lebar, walau Melanie tak bisa tersenyum selebar dirinya. Melanie hanya tersenyum tipis sembari menunjukan mata sayu karena kelelahan. Tak pelak, ibu tirinya harus menepuk kedua pipi Melanie agar menghilangkan rasa kantuknya. “Nah! Seperti itu!” ujar Ibu tirinya sembari melihat ekspresi Melanie yang berubah ceria, walau sedikit dipaksakan. Sepatu hak tinggi ala nona kompeni sudah tersemat di kakinya. Tubuhnya sedikit membungkuk karena tak biasanya ia memperlihatkan belahan dadanya kepada siapa saja, apalagi di hadapan teman-temannya di Schulmachdenn. “Eh, jangan bungkuk seperti orang sakit seperti itu. Membusung!” Ujar ibu tirinya sembari memperagakan buah dadanya yang besar di balik kebaya hijau biru tua miliknya. Dengan perasaan canggung, Melanie membusungkan dadanya. Ia tahu bahwa d**a mengkalnya akan menjadi objek liar para teman prianya diluar sana. Dengan sekali tarikan nafas dan d**a yang membusung, ia keluar kamarnya. Jika ia tak keluar, maka acara tak selesei tepat pada waktunya. °•○● Semua berdiri, ketika Melanie memasuki ruangan pesta. Sejenak biola dan cello berhenti bergesek untuk menunggu tuan putri untuk duduk di singgasana tertinggi. Tatapan Melanie kacau, ia tak seharusnya ada disini. Menjadi pusat perhatian adalah gurauan baginya. Namun kali ini, tak ada yang tertawa cekikikan atau memanggilnya blesteran kepadanya. Semuanya terpaku dalam keheningan ketika kecantikan terhampar dihadapan teman-teman pria di Schulmachdenn-nya. Melanie melirik kearah para tamu. Ia melihat Sonja, teman sekelasnya yang menganggap dirinya paling cantik di sekolahnya. Mata Sonja terbebelak dan bibirnya tertegun menatap Melanie yang sering diejeknya. Menurutnya blesteran itu sebuah kutukan, namun sekarang ia merasa bahwa blesteran lebih cantik dari dirinya. Lalu Arjen, teman prianya yang bertubuh besar layaknya seekor babi yang diberi makan setiap hari. Tanpa sadar ia menatap Melanie dengan dandanan ala putri kompeni dengan rakusnya. Jarang-jarang Arjen tambun ini mengalihkan pandangannya dari makanan yang entah kenapa sudah di tangannya. Mulutnya belepotan dan matanya hijaunya terlihat membesar menatap Melanie yang mulai duduk di kursi singgasana. Perasaan canggung menjalar di benak Melanie, ketika melihat teman-temannya yang terkesan aneh saat ini. Biasanya mereka menertawakannya karena keturunan blesteran, atau menjauhinya karena sifat Melanie yang acuh dan pendiam. Namun saat ini mereka hanya terdiam tanpa suara ejekan atau canda cekikikan. Seolah tatapan mereka mengandung beban bahwa sesungguhnya ia begitu cantik, jika ia menyadarinya. Salah seorang yang ditunjuk sebagai pembawa acara telah berkumandang, namun Melanie tak begitu memperhatikan apa yang ia ucapkan. Bola matanya bergerak, mencari seseorang. Seseorang yang menjadi idola di Schulmachdenn, bahkan teman laki-laki atau perempuan, selalu ingin menjadi temannya. Pemuda dengan goresan alis tebal, hidung mancung, dan bibir merah tipis. Rambutnya pirang membelah tengah dan tekstur lancip. Rahangnya keras dan bicaranya tegas.  namanya Dennis. Pria yang telah lama mencuri pandangan Melanie muda. Walau sebenarnya Sonja lebih pantas bersamanya. Bahkan Melanie mendengar bahwa ayah Dennis dan Sonja adalah teman sesama petinggi di kemiliteran kompeni. Tentu saja, mereka serasi. Bahkan sudah dipastikan kelak mereka akan menjadi suami istri. Bola mata Melanie bergerak lagi, ia hanya menemukan teman-teman sejawatnya yang tak begitu penting baginya. Ia juga menemukan Panji dan Alam, dua anak pribumi yang orang tuanya ningrat juga. Tubuh mereka kecil seperti kurang gizi, beruntung mereka punya orang tua dan tidak di dandani seperti layaknya anak petani. Dennis tak datang malam ini. Mungkin orang tuanya ada urusan sehingga ia tak datang. Atau jangan-jangan ia sakit dan meringkuk di ranjangnya. Atau bahkan ia tak sudi untuk datang ke acara ulang tahun seorang Blesteran. Semua terangkum dalam benak Melanie muda yang begitu cantik jelita. Acara pemotongan kue berlangsung samar dan seperti biasanya. Pikirannya tak tertuju pada kue-kue lezat yang di pesan oleh orang tuanya. Tetapi kepada pria yang secara rahasia mendatangi setiap mimpinya. Ia tak begitu takjub, ketika nyanyian bernada barat mengalir dan tepukan tangan beegemuruh ruih menyelamati Melanie. Semua itu hanyalah kehidupan dan spontanitas semata saat ini. Rasa tertekan itu mengendur, ketika semuanya telah selesei. Seperti biasa, para ayah semua berkumpul sembari menyesap anggur dan menghisap cerutu tembakau yang berbau menyengat. Para ibu juga berkumpul membicarakan sesuatu yang tak begitu penting. Dan beberapa teman sekelasnya berdatangan untuk menyelamati atau memuji kecantikan Melanie. Sonja yang pertama datang ke hadapan Melanie memandang takjub, namun ketakjuban itu hanya kepura-puraan semata. Sonja berpikir bahwa esok hari, Melanie akan menjadi blesteran dengan pakaian pribumi, seperti biasanya. “Tak kusangka! kau bisa secantik ini, Lanie?” puji Sonja dengan tatapan takjub, namun dibuat-buat. “Dimana kau beli gaun ini? Berapa harganya? Aku mau beli juga!” “Terima kasih, Sonja!” ujar Melanie pada kawan sekaligus lawannya itu. “Ini gaun milik ibu kandungku. Tidak dijual di butik manapun.” “Oh, begitu!” Kata Sonja melemah. “Baiklah, selamat ulang tahun!” Sonja berlalu mendekati ayahnya. Ia adalah putri tunggal seorang tentara. Sifatnya sangat manja dan semen-mena. Melanie melihat Sonja berbisik kepada sang ayah, sembari menunjuk Melanie dari kejauhan. Ia sepertinya sedang memberitahu kepada ayahnya bahwa ia menginginkan gaun seperti Melanie, namun ayahnya yang biasanya terlihat garang dan tegas, hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Ayahnya tak begitu tahu soal kegunaan gaun kecuali untuk menutupi tubuh wanita. Akhirnya, bibir Sonja mengerucut dan tangannya terlipat sembari meninggalkan sang ayah dengan tapakan kaki penuh amarah. Tak lama, Arjen datang. Mulut dan tangannya penuh dengan penganan khas pribumi. Lemper, arem-arem, dan wajik selalu menjadi incaran Arjen yang sepertinya menyukai masakan negeri ini. Tak segan ia juga menyelipkan beberapa potong lemper di kantung celananya. Pipinya merah, tebal dan menggelembung seperti balon. Rambutnya keriting berantakan seperti orang yang tak pernah mandi. Namun Melanie tak begitu benci dengan pemuda tambun itu. Arjen sama seperti dirinya, selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. “Ah, ss-laa-mat uwang tahuun, Anie!” Ucap Arjen dengan mulut penuh dengan makan yang seperti di jejalkan di mulutnya. Melanie hanya tersenyum manis sembari menunggu teman tambunnya ini menelan seluruh makannya.  “Makanannya banyak dan enak sekali! Aku suka yang ini, rasanya gurih. Apa namanya ini?” “Itu lemper!” ujar Melanie sembari memandang Arjen yang perhatiannya terbagi, antara Melanie dan nasi ketan yang dibungkus daun pisang itu. “Ah, iya. Boleh aku bawa pulang!” Ujarnya meminta. “Yah, makanlah sesukamu!” Arjen lalu berpaling dari Melanie dan menuju meja makan. Gerakan mulutnya yang mengunyah tak berhenti. Lalu dua anak pribumi mendatangi dengan beskap dan keris palsu terselip di pinggangnya. Dua remaja itu bernama Alam dan Panji. Mereka tinggal bersebelahan dan menjadi teman semenjak kecil. Orang tua mereka adalah pengepul padi dan jagung. Sosok mereka sungguh berbeda, Alam dengan tubuh sedikit tegak dan setinggi Melanie. Sedangkan Panji tubuhnya kecil pendek, kurus seperti kurang gizi. Tubuh Panji hanya setinggi buah d**a Melanie. Jadi jika Panji berbicara kepada Melanie, Panji seakan berbicara kepada kedua buah d**a Melanie yang membusung itu. “Kau berdandan seperti kompeni?” ujar Alam dengan berani. “Hmn, memang aku setengah kompeni.” Bantah Melanie dengan tegasnya. “Kau tahu, mereka sedang merencanakan sesuatu!” Alam mendekatkan wajahnya dan berbisik kepada Melanie. Lalu ia berbalik kepada Panji yang berlagak seperti orang ketakutan. “Ya, kan? Panji.” “Eh, eh, Iyaaa!” ujar Panji terkejut dan seperti mengiyakan saja kata-kata sahabatnya. “Hmn, semuanya memang penuh dengan rencana. Jika tak ada rencana, mana bisa kita seperti ini!” Ujar Melanie melawan Alam yang memandang curiga kepada kumpulan kompeni itu. “Hmn!” dengusnya menantang. “Memang benar! Kau adalah kompeni! Ayo Panji!” Alam berlalu meninggalkan Melanie yang kesal dengan sikap teman pribuminya itu. Seharusnya Alam tak perlu bicara seperti itu disaat damai seperti ini. Sedangkan Panji juga meninggalkan Melanie. Ia seperti kacungnya Alam yang terlihat lebih tinggi dari tubuhnya. Mata Panji melirik Melanie, namun ia melirik yang bagian mana, sepertinya ia melirik tonjolan buah d**a Melanie yang membelah sempurna di balik gaunnya. Entah kenapa? Darah Melanie serasa berdesir menatap lirikan remaja yang pantas menjadi adik kecilnya itu. Tak lama, pestapun usai dan para tamu mulai meninggalkan rumah keluarga Arthaprawirya. Mobil-mobil dan andong yang sedari tadi berjajar di depan rumah lambat laun pergi. Setelah semuanya sepi, rintikan hujan kembali terdengar kembali. Nadanya begitu damai menandai setiap titikan air yang menyentuh bumi. Udara dingin menusuk sehingga tidurpun menjadi cukup nyenyak ketika hujan tiba. Tapi tidak bagi Melanie. Malam semakin larut dan suasana makin sepi. Rintikan hujanitu membawa desiran birahi yang menggelayut di sekujur tubuhnya. Seakan birahi menuruni sekujur tubuhnya ketika buku tebal berceritakan cerita tentang pergumulan dua insan manusia tercetak di dalamnya. Di meja belajarnya, jemarinya menggelitiki p****g susunya. Matanya nanar memijar membayangkan seorang pria sedang menghisap keras p****g susunya yang memgeras. Salah satu tangannya membuka lembar demi lembar buku novel itu dan tangan satunya lagi meremas, merengkuh dan memutar buah d**a mengkalnya. Tubuhnya kembali terguncang ketika ia berdiri sejenak untuk membuka kain jarik yang menjadi penutup tubuhnya sebelum tidur tiba. Kini tubuh telanjangnya terlihat jelas di cermin besar miliknya. Kedua tangannya mengikat rambutnya, agar helaian itu tak menganggu kulitnya. Melanie memandang tubuh indahnya sendiri. Tubuhnya begitu dewasa di usia belia ini. Ia mengingat bentuk tubuhnya itu sama seperti tubuh milik Nyi Jinah. Nyi Jinah adalah salah satu pelayan dirumahnya di masa lalu. Tubuhnya indah seperti diri Melanie saat ini. Namun beberapa tahun yang lalu ia harus di berhentikan karena tertangkap basah sedang b******u dengan Pak Sarwo, penjaga kebun. Padahal Pak Sarwo sudah memiliki dua orang cucu. Alhasil Pak Sarwo juga diberhentikan oleh ayahnya. Melanie mendengar bahwa akhirnya Nyi Jinah bekerja sebagai pelayan di kedai tuak di pinggiran kota. Ada yang bilang bahwa ia sering dipakai oleh para p****************g. Tak ada yang tahu, karena itu hanya gosip belaka. Jika iya, maka sekarang tubuh Melanie sama seperti tubuh Nyi Jinah. Sama seperti tubuh seorang p*****r yang didambakan para pria yang menantang tajam. Melanie tak peduli, seperti inilah ia diciptakan dan seperti inilah ia harus beraksi. Tubuhnya tegap berdiri dan berputar di hadapan cermin besar itu. Dadanya membusung dan p****g susunya mencuat seiring dengan nafsu hasratnya yang menguar melewati dinding-dinding batas kewajaran dalam dirinya. Tubuhnya bergerak dihadapan cermin itu, seakan di dalam cermin itu adalah lelaki yang tergoda oleh tubuh sintalnya. Matanya sayu memandang dan pipinya merah merona seiring dengan bangkitnya nafsu. Ia menarik kursinya, tepat di hadapan cermin itu. Lalu ia duduk di hadapan dirinya sendiri. Jemari lembutnya meremas leher dan buah dadanya. Tangannya bergerak kasar menjepit p****g susunya, seakan terdapat bibir yang sedang menancap nikmat di pusat dadanya itu. Lidahnya menjulur menjilati jemarinya sembari membayangkan bahwa bagian jemari itu adalah kulit pria yang menjamahinya. Tangannya bergerak turun menuruni pusar dan mengutiknya sejenak. Tubuhnya menggelinjang, ketika salah satu tangannya mendapati rongga kawinnya yang telah sembab dan hangat. Jemarinya berputar di area itu. Matanya sayu memandang daerah kewanitaan itu dari cermin yang memantul jelas. Desahannya lirih mengikuti jari-jarinya yang menerobos ke rongga nikmat itu. Pinggulnya bergerak perlahan, mengikuti desiran nafsu yang mengurungnya sendirian di kamar yang sepi itu. Tak lama, gerakan pinggulnya semakin kencang dan seirama dengan desisan nafasnya. Lalu Melanie menyandarkan tubuhnya di sandaran kayu kursi beruntung itu. Kini rongga k*********a terlihat jelas di cermin besar miliknya. Bulu halus berwarna hitam terbelit kusut, kulit tipis seperti bibir terlihat keriput dan bibir rongga berwarna kemerahan membuatnya semakin surut. Ia membasahi tangannya sejenak dengan liurnya. Lalu mengusap lagi s**********n hangat itu. Mata Melanie tertutup. Di bayangannya, ia merasakan sebuah lidah menjulur dari bibir seorang. Lidah itu memainkan rongga hangat miliknya itu. Lidah itu bergerak cepat menyapu bagian berlendir itu sehingga membuat mendengus kenikmatan. Tangan satunya yang bebas meremas kasar buah dadanya. Walau sakit, namun sakit itu membawa kenikmatan bagi tubuhnya. Seakan rasa sakit menjadi perangsang birahi yang meninggi itu. Ia merasakan lidah yang sebenarnya tangannya itu mengoyak setiap relung nafsunya. Lidah itu bergerak cepat dan lentur, sehingga membuat Melanie kelojotan. Walau sebenarnya yang dihadapinya adalah jemari tangannya sendiri. Tanpa sadar, ia membuka matanya. Melanie hanya memandang tubuhnya sendiri yang penuh peluh di cermin besar miliknya. Jemarinya bergerak semakin liar seiring dengan gerakan pinggulnya yang berantakan. Lalu, desiran birahinya meninggi. Seakan darah mengalir cepat dari leher ke otaknya. Wajahnya menengadah dan lidahnya menjulur ke udara. Seakan ada sesuatu yang ingin diraihnya di atas sana. Getaran tubuhnya berubah mengejang seiring dengan lendirnya yang memuncrat keras mengenai kaca cermin dan membiaskan bayangan tubuhnya. Cairan tubuhnya seakan terkuras dengan muncratan cairan birahi itu. Tanpa sadar, pekikan suara seperti tercekik melanda tenggorakannya. Entah berapa banyak muncratan cairan yang mengenai cermin kacanya. Yang ia tahu, cermin itu basah dengan lendir yang menyirat membiaskan bayangnya. Kursi kayu kesayangannyapun basah juga, aroma anyir dan amis menyeruak di hidungnya. Aroma penuh kenikmatan yang membuat mengejang dan menggelinjang dengan rasa kenikmatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD