Melanie termenung meninggalkan segala bentuk kehidupan di dunianya. Kemarin dan semalam, ia menuntaskan segala bentuk kesenjangan birahi yang selama ini dirasakannya. Tubuhnya menggelinjang dan birahinya mengejang, ketika itulah saat paling membahagiakan di dunia ini. Melanie sadar bahwa usianya sudah menginjak dewasa, walau ia belum menyadari bahwa setiap kenikmatan pasti ada batasnya.
Melanie melamunkan sosok pria yang telah menjamahnya hari kemarin. Waktu masih belum terlalu lama, namun Melanie sudah merindukan sentuhan sang pria itu. Ahras, nama itu begitu terpaku di benak belia Melanie saat ini. Walau ia belum mengetahui pasti siapa pria berbusana ala peningrat itu. Melanie hanya mengetahui bahwa Ahras tinggal bersama Prof. Herringard~~salah satu ilmuwan di Schulmachdenn ini. Melanie tak begitu mengenal Profesor berbangsa kompeni itu, namun yang ia tahu bahwa salah satu orang terpintar di Batavia itu cukup ramah terdapat siapa saja. Atau mungkin Melanie dapat bertanya kepada sang Profesor dimanakan Ahras berada.
Jam istirahat sudah dimulai dan Melanie enggan untuk keluar kelasnya. Ia duduk sendirian di bangkunya tanpa seorangpun yang mempedulikan dirinya. Suasana siang yang cukup mendung membuat udara terasa panas, dan disaat itulah Melanie merasa gerah. Ia sedikit meregangkan kedua tangannya, lalu menguap melepaskan setiap lelah yang hinggap di dirinya. Melanie tak sadar bahwa ketika ia mengangkat kedua tangannya, buah dadanya begitu menjelma bak buah pepaya yang menggantung di pohonnya. Belahannya begitu indah dengan bentuk tiada duanya. Melanie tak pernah memperhatikan bentuk buah dadanya yang kian membesar itu, walau sesekali ia merasakan mata-mata lelaki melirik kepadanya. Dalam kesenduan suasana siang itu, entah apa yang membuat Melanie gusar. Ia merasa di perhatikan di kelas yang cukup sepi ini.
Lalu dari balik tatanan meja dan kursi di ruang kelas itu, Melanie melihat sebuah pergerakan. Pergerakan berupa ujung rambut yang baru saja menyusup ke balik Meja. Melanie tersentak lalu berdiri, "siapa itu!?"
Tak ada jawaban atas teriakan itu, hanya saja tak berapa lama. Kepala seseorang muncul dari balik susunan meja. Wajah lelaki muda yang cukup membuatnya tertawa ketika Melanie mengetahui bahwa ia adalah Panji~~namun Melanie tak tertawa karena kesopanan tengah merajut pribadinya.
Wajah Panji begitu kurus dengan pipi tirus dan bola mata yang cukup besar. Bibirnya tipis dengan hiasan geligi yang tanggal. Lalu yang lebih lucu adalah bentuk cukuran rambut yang mirip batok kelapa. Kebanyakan temannya memanggil Panji dengan batok kelapa karena ia wajahnya model rambutnya itu~~dan hanya Alam dan Melanie saja yang tetap memanggil si anak prematur itu.
"Panji," sapa Melanie sembari keheranan karena sejak kapan Panji memasuki kelas ini.
Panji hanya berdiri tanpa melakukan apapun. Ia menggaruk rambut batok kelapanya dan tak berani menatap Melanie yang sudah berdiri di ujung ruangan.
"Ada apa?" Tanya Melanie.
"Ah, tidak, mnnn," seperti biasa, si Batok kelapa in cukup canggung jika berbicara dnegan Melanie. "A-aku ingin berbicara tentang sesuatu?"
"Oh, kemarilah," pinta Melanie yang kembali duduk di bangkunya.
Perlahan Panji mendatangi Melanie. Wajahnya terlihat bingung dan linglung ketika dalam perjalanan. Melanie juga biasa saja, karena begitulah si Panji. Setelah sampai, Panji hanya berdiri di hadapan Melanie tanpa mengatakan sesuatu. Hal ini membuat Melanie harus mengatakannya lebih dulu.
"Ada apa?" tanya Melanie.
"Mnnn, ini mengenai soal kemarin." Kata Panji terbata.
"Kemarin yang mana?" cecar Melanie karena ia belum terlalu mengerti maksud Panji.
"Kemarin, ketika Alam mencerca, mnnn,,, penampilanmu. Aku hanya mmnnn meng-iya-kan saja." Ujar Panji kelabakan.
"Oh, itu, tak masalah. Memang Alam seperti itu? Aku tak heran jika,,," perkataan Melanie terhenti ketika disela oleh Panji.
"Bukan itu, te-tetapi engkau sangat cantik ketika menggunakan gaun itu." Sela Panji dengan penuh keberaniannya. Sebenarnya, ada sesuatu dibalik diri Panji ketika menatap Melanie. Tetapi hal itu adalah hal yang wajar karena Melanie sendiri sangat cantik berdandan dengan pakaian apapun. Bahkan yang paling cantik adalah ketika ia tak mengenakan apapun.
Melanie tak menanggapi serius perkataan Panji, sehingga ia hanya berkata, "ah, terima kasih. Banyak yang mengatakan aku lebih cantik menggunakan gaun daripada kebaya. Tetapi gaun susah dipakai dan terlalu terbuka." Melanie mengatakan itu sembari melirik bagian dadanya yang menyembul.
"Oh, begitu." Ujar Panji sembari berpamitan dengan Melanie. "Ya sudah, permisi."
Sejenak Melanie termenung sembari menatap punggung Panji yang meninggalkannya. Lalu pikirannya terbesit oleh sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan. "Panji, tunggu!" Panggil Melanie.
Sejenak Panji menoleh ke arah Melanie. Raut wajah kekanak-kanakannya begitu kental dengan ekspresi terkejut seperti itu. Ia tak menduga bahwa Melanie memanggilnya.
"Kau tahu rumah Prof. Herringard?" Tanya Melanie sembari berdiri lagi dari bangkunya.
"Mmmnnn, kalau tak salah." Jawab Panji sembari memutar otak kecilnya untuk mengingat rumah itu. "Ya, aku tahu. Rumah Profesor terletak di sebelah timur Batavia, tepatnya di bantaran sungai Kalimalang."
"Kau tahu tempatnya?" Ungkap Melanie sembari melangkah menuju Panji.
"Ya, aku tahu." Jawab Panji yang mulai terbiasa dengan Melanie.
"Bisa kau antar aku kesana!?" Pinta Melanie.
Panji cukup sungkan untuk menjawabnya, namun ia akhirnya menjawab. "Mmmnnn, tetapi tempatnya cukup jauh dan butuh andong untuk kesana."
"Tak masalah, aku yang bayar biaya perjalanannya!" Ungkap Melanie memohon agar Panji mau mengantarkan Melanie.
"Kalau begitu, sepulang sekolah kita kesana." Jawab Panji menerima ajakan Melanie.
°•○●
Awan hitam menerpa kota Batavia. Udara mulai dingin dibawah rintikan hujan ringan yang mendera. Rintikan ringan itu sebentar lagi akan berubah menjadi derasnya hujan, atau terkadang petir akan menyambar. Beruntung sekali, Melanie dan Panji sudah berada di pucuk kereta andong yang mereka sewa. Perjalanan cukup jauh dan perkiraan senja nanti mereka akan tiba. Walau kereta andong terdapat penutup diatasnya, dinding yang terbuka membuat butiran air menerpa tubuh Melanie. Beberapa kali Melanie harus menutupi muka dan menahan rambutnya agar terhindar dari butiran air hujan itu.
"Hujannya lebat sekali, den." Keluh sang kusir yang berusaha menenangkan kudanya ditengah derasnya hujan. Congklangan kaki kuda itu tak teratur sehingga cukup berbahaya jika berjalan ditengah cuaca seperti ini.
"Ya, pak. Tetapi kita harus sampai ke Kalimalang, sore ini." Sanggah Melanie yang tak mempedulikan keselamatannya.
Kusir kuda itu terdiam sembari melecutkan tali kekangnya. Sehingga laju lari kuda semakim cepat menembus derasnya hujan.
Panji hanya duduk terdiam di tempatnya, tepatnya di hadapan Melanie yang sibuk merapikan pakaiannya. Mata lugunya sesekali melirik tubuh Melanie yang sintal melebihi teman sebayanya. Entah apa yang diimpikan Panji semalam? Sehingga hari ini ia bersama bidadari blesteran cantik putri sang adipati Batavia.
"Kenapa kau kerumah profesor?" Tanya Panji yang penasaran dengan perjalanan ini. Melanie terkejut dengan pertanyaan itu karena ia tak siap dengan jawabannya.
Sekiranya Melanie mengingat sesuatu tentang sebuah selebaran. Selebaran yang pernah ia baca di salah satu sudut dinding di Schulmachdenn. Selebaran berisi beberapa tim peneliti yang akan berangkat ke suatu tempat terpencil di pulau Jawa ini. Tetapi sebenarnya, Melanie tak begitu menghiraukan penelitian itu, pikirannya terpaku kepada seseorang yang tengah berada di kediaman milik Prof. Herringard.
Sejenak Melanie menelan ludahnya untuk memilih diantara kedua jawaban yang harus ia katakan kepada Panji. "Ekpedisi Kedaton," jawab Melanie menetapkan jawaban bagi Panji.
"Apa!?" Panji terkejut ketika mendengar jawaban itu. "Itu untuk para ilmuwan dan tentara. Tidak mungkin engkau mengikuti para ekspedisi itu!"
"Kenapa tidak?" Balas Melanie.
"Romo-ku bilang bahwa Ekspedisi itu mengarah ke reruntuhan Kedaton Ardaka di tengah pulau Jawa. Daerahnya sangat liar dan berbahaya, banyak binatang buas dan banyak makhluk-makhluk mengerikan disana." Ujar Panji menakut-nakuti Melanie.
Seketika bulu kuduk Melanie bergidik ngeri, namun akal pikiran telah menghapus kengerian itu. Ia berdalih bahwa makhluk mengerikan itu hanya ada di buku-buku dongeng saja, dan sudah pasti ada banyak tentara yang mengawal para peneliti dari serangan binatang buas.
"Hmn, aku tetap akan mengikuti perjalanan itu. Tetapi sebelumnya, aku harus mendaftar terlebih dahulu." Ujar Melanie dengan tenangnya, "maka dari itu, aku memintamu untuk mengantar ke rumah Profesor."
Panji terdiam ketika mendengar pernyataan Melanie tersebut. Ia tak habis pikir kenapa Melanie mau mengikuti ekspedisi tersebut. Padahal sudah pasti ekspedisi kedaton sangatlah berbahaya dan akan menimbulkan korban. Namun teman sekelasnya yang cantik jelita ini memaksa untuk mengikutinya, entah apa yang terjadi? Ia tak tahu.
Senja sudah mulai menimpa dan langit mulai menjingga. Pulasan awan hitam mulai menghilang dan digantikan kiasan cahaya dari puncak cakrawala. Gerimis yang masih menetes membuat udara cukup sejuk untuk menikmati sore hari ini. Kuda yang menarik kereta Melanie dan Panji mencongklang mengikuti jalanan berbatu. Jalanannya begitu rapi dengan pepohonan menghiasi kiri dan kanan. Beberapa kali kereta mereka berpapasan dengan mobil-mobil bersuara kasar dan berasap hitam.
"Belok ke kiri pak." Ucap Panji menunjukan dimana rumah Prof. Herringgard. Kereta kuda itu lalu berbelok ke sebuah pertigaan yang cukup sepi. Lalu terlihatlah sebuah rumah mewah di ujung jalan itu. Halamannya terlihat luas dengan gerbang jeruji besi memisahkannya dari dunia luar. Di hadapan pagar itu berdiri dua orang tentara kompeni bersenapan panjang~~mata-mata biru tajam mereka mengintai pergerakan kereta andong yang mendekati mereka.
Bukan para tentara itu yang menjadi perhatian Melanie, melainkan besar dan luasnya rumah yang tersaji sempurna di hadapannya. Rumah dengan halaman luas dn sebuah air mancur berpatung malaikat siap menyambut siapa saja yang memasuki gerbangnya. Melanie meyakini bahwa seperti inilah rumah orang-orang dari barat~~megah dan terbuat dari batuan yang disusun rapi, lalu diukir sedemikan indahnya. Di belakang air mancur itu, terdapat sebuah pintu kayu dengan kayu eboni mengkilat menyilaulan mata. Lalu bayangan kemegahan Melanie terhenti ketika seorang tentara menghentikan mereka.
"Berhenti! Mau apa kalian kemari!?" Seru salah seorang tentara dengan bahasa kompeni.
Tak ada yang dapat menjawab kecuali Melanie, atau Panji juga bisa, tetapi tak akan lebih baik daripada Melanie. "Kami ingin bertemu profesor Herringard!"
"Pulanglah! Tuan Herringard sedang tak ada dirumah." Jawab Tentara dengan tegas.
Tak mungkin! Melanie sudah jauh-jauh kemari dan ia tak menemukan apapun.
Lalu tentara itu menatap wajah sang kusir andong yang terlihat ketakutan. "Putar keretanya dan kembalilah ke rumah!" ujar tentara kompeni itu dengan bahasa pribumi yang cukup mumpuni.
"Raden Ahras," sergah Melanie kepada dua tentara penjaga itu. "Aku juga ingin bertemu dengannya!"
Tiba-tiba, Kedua tentara itu terdiam dan saling pandang. Seakan mata-mata biru kompeni itu berbicara satu sama lain. Lalu salah satu dari tentara itu berpaling kearah Melanie. Dengan suara beratnya ia berkata kepada temannya, "Oliver, buka gerbangnya!"
Melanie merasa lega karena ia diperbolehkan masuk ke rumah milik Herringard yang mewah itu. Seketika suara berat dari gesekan besi berderit kencang menandai terbukanya gerbang. Suasana senja yang tenang dibuahi dengan taman bunga yang elok. Melanie terkagum dengan gaya rumah para kompeni ini, walau sebenarnya tanah ini tetaplah milik pribumi. Suara kaki kuda mencongklang pelan dan berhenti di pelataran. Melanie turun dari kereta diikuti Panji yang harus melompat karena tubuhnya tak lebih tinggi dari pintu andong itu sendiri.
Mata Melanie menatap atap berbentuk segitiga yang cukup tinggi dan terdapat sebuah patung wanita bersorban. Wanita itu membuka kedua tangannya seakan mempersilahkan siapa saja untuk memeluknya. Tetapi bukan karena patung itu Melanie kemari. Ia segera menatap pintu kayu yang megah dengan gagang besi berlapis yang menyilaukan. Seketika pintu kayu itu terbuka, suaranya begitu berat sehingga menghasilkan deritan yang cukup menggelegar. Melanie terheran karena pintu itu terbuka walau ia belum sesekali mengetuknya.
Tenyata, seorang nenek tua dengan rabut memutih sempurna dan kulit keriputnya tengah berdiri diambang pintu. Matanya terlihat juling sebelah dan dengusan nafasnnya terdengar hingga telinga Melanie. Panji juga ikut terkejut dengan keberadaan nenek tua tersebut.
"Selamat sore, nona Melanie." Sapa nenek itu dengan ramahnya, walau suaranya cukup mencekam. "Raden Ahras sudah menunggu anda."
Melanie dan Panji sontak terkejut dengan sambutan itu. Mata mereka terbelalak menatap sang nenek yang sangat uzur itu. Namun wajah keriput dan gigi ompongnya tetap menunjukan senyum yang cukup ramah.
"Nona dan Raden kecil ingin bertemu Raden Ahras, bukan?" ujar nenek tua itu.
Nona yang dimaksud adalah Melanie dan Raden kecil adalah Panji. Mereka tetap terdiam, sampai suatu saat Melanie mulai menjawab, "i-iya nek."
"Mari masuk," ujar nenek tua itu.
Seketika aroma melati bercampur kayu manis tercium oleh hidung Melanie. Rumah prof. Heringard memang menakjubkan. Ruang tengahnya begitu luas dengan lantai marmer dan lampu gantung yang indah. Lalu hiasan dan lukisan mematri setiap dinding di sela-sela jendela sebesar pintu rumah. Tirai-tirai sutra menjuntai setiap jendela yang semakin memperindah suasana. Lalu Melanie dan Panji dibimbing oleh nenek itu ke sebuah kursi kayu yang cukup besar. Kayunya begitu jernih dengan pelamir alami, Melanie memastikan bahwa kayu itu adalah kayu eboni, kayu hitam daratan sebelah barat jauh dari Jawa.
Melanie duduk bersebelahan dengan Panji di kursi itu. Bantalan kainnya begitu empuk dan memanjakan siapapun yang duduk disana.
"Sebentar lagi, Raden Ahras akan datang." Ujar nenek itu, lalu ia undur diri dari hadapan Melanie dan Panji.
Melanie membayangkan bagaimana hidup di rumah sebesar ini. Rumah milik seseorang terpintar di Batavia ini. Menurut cerita, Prof. Herringard adalah utusan langsung dari Ratu Juliana. Tugasnya adalah memberikan pendidikan bagi putra-putri kompeni di negeri ini, terkecuali para sanak pribumi yang kaya.
Lalu, seseorang yang ditunggu telah tiba. Pria yang semalam menghantui mimpi Melanie. Pria berdarah Jawa dengan kulit sawo matang dan bertubuh kekar. Pria yang sedikit memberikan pelajaran birahi untuk Melanie.
Mata Melanie terbelalak menatap Ahras yang bertelanjang d**a. Keringatnya membasahi sekujur tubuhnya, dan rambutnya terlihat basah oleh guyuran hujan ringan. Entah apa yang barusaja dilakukan Ahras? Apakah ia baru mandi, atau apapun? Tetapi yang jelas penampilannya yang berantakan sedikit membuyarkan pikiran Melanie.
"Melanie," sapa Ahras sembari melangkah kearah kursi dan duduk tepat dihadapan Melanie. Lalu Ahras terheran menatap remaja kecil yang duduk disamping Melanie. "Ah,,, kau ajak adikmu kemari?"
Panji serta merta menoleh ke arah Melanie, ia ingin mengatakan sesuatu namun Melanie mengatakannya lebih dulu. "Oh, bukan paman. Ini Panji, temanku sekelas di Schulmachdenn. Ia yang menunjukan padaku jalan kemari."
Ahras mengangguk saja mendengar pernyataan dari Melanie. Rambutnya yang basah sedikit mengkeriting diujungnya. Hal itu membuat Melanie salah tingkah karena terpesona dengan tubuh Ahras yang kekar dan jantan.
"Apa tujuanmu kemari, Lanie?" Tanya Ahras sembari mencondongkan tubuhnya kedepan. Mata coklatnya menatap tajam ke arah Melanie yang kebingungan harus menjawab dengan jawaban apa.
"Sebenarnya, aku ingin bertemu dengan profesor Herringard. Namun sepertinya ia belum pulang." Ungkap Melanie menghaturkan maksudnya.
"Ia tak akan pulang dalam beberapa hari. Ia juga tak berada di Batavia saat ini." Sela Ahras. "Tetapi engkau bisa mengatakannya padaku, siapa tahu aku dapat menyampaikannya kepada profesor."
Seketika detakan jantung Melanie berdegup kencang. Wajahnya memanas seiring dengan keputusannya yang janggal. "Hmn, paman, mnnn, apakah paman mengetahui soal ekspedisi Ardaka itu?"
"Ya, aku tahu, bahkan aku juga mengikuti ekspedisi itu."
"Benarkah paman!"
"Ya, benar."
Seketika lecutan hati Melanie berpadu dengan irama kelegaan yang telah diberikan Ahras. Jika Melanie mengikuti ekspedisi, maka ia akan bersama pria yang kekar itu. Mereka akan berpetualang membelah belantara hutan di tempat yang bernama Ardaka.
"Aku ingin mendaftar sebagai peneliti di ekspedisi Ardaka." Bibir Melanie mengatakan itu dengan tegasnya. Hal yang sulit namun dan menegangkan, namun kehendak hatinya berkata demikian.
"Apa!?" Ahras terkejut, "apa kau yakin ingin mengikuti!?"
"Ya, aku ingin."
"Tetapi itu berbahaya."
"Berbahaya, tetapi aku ingin seperti Alicia Coen. Ia seorang ilmuwan wanita yang pernah menjelajah nusantara."
Seketika Ahras terdiam dengan ungkapan Melanie tersebut. Entah apa yang ada dipikirannya, mimik mukanya seakan menegaskan bahwa Melanie mampu menanganinya.
"Hmn, baik. Sekarang pulanglah!" Ucap Ahras sembari menatap jendela. Langit mulai gelap dan ia takut Melanie pulang terlalu malam. "Aku akan sampaikan hal ini kepada profesor secepatnya, dan semoga kalian berdua diterima sebagai peserta ekspedisi itu."
"Bu-bukan, aku tidak ikut. A-aku hanya mengantar Melanie saja." Sanggah Panji terbata-bata karena ia mendengar kata Ardaka sudah ketakutan, apalagi mengikuti ekspedisi berbahaya itu.
"Oh, baiklah kalau begitu." Kata Ahras, "hanya Melanie saja yang mengikuti ekspedisi."
Melanie menatap wajah Ahras yang mengangguk kearahnya. Sesaat ia memperoleh kelegaan karena telah bertemu dengan pria sekekar Ahras. Sejak dahulu ia tak pernah memandang pria sebagai pasangannya kelak, kecuali Dennis kompeni yang menawan dan Ahras pribumi yang menantang. Malam itu Melanie pulang bersama Panji ke rumahnya masing. Sisi gelap sepanjang perjalanan membuat imajinasi Melanie melambung tinggi, seiring dengan semilir angin malam yang menerpa tubuh Melanie.
Beberapa minggu kemudian.
Udara pagi menusuk tulang diselingin dengan suara kokokan ayam. Burung-burung beterbangan membentuk sebuah barisan panjang melewati banyak ruang. Cahaya pagi menyaring sebagian embun yang menetes di antara dedaunan. Tanah lembab karena hujan semalam~~berbau humus dan sangit menyeruak di balik dengusan.
Tiba-tiba, terdengar sayup suara ketukan. Ketukan yang semula pelan, berubah keras seiring dengan tingkat kesabaran tangan yang kini menggedornya~~bukan mengetuknya lagi.
“Lanie, Lanie! Bangun nduk! Sudah pagi, nanti kamu terlambat!” suara ibu yang terdengar sangat keras karena tak biasanya ia berteriak seperti itu.
Dari dalam kamar, Melanie menguap sembari meregangkan otot tangannya yang kaku akibat perbuatan semalam. Matanya terbuka setengah dan melihat jam tua pemberian teman ayahnya. Jarum jam meja itu berdetik pelan dan jarumnya melambat kelam. Melanie terkejut menatap jarum jam itu mulai menunjukan pukul tujuh. Pukul Tujuh merupakan waktu dimana ia harus memasuki kelas dan Leraar atau Lerares akan melakukan Strapp bagi siapa saja yang terlambat.
Seketika darahnya berdesir dan jantungnya seakan melompat dari dadanya. Melanie tak sempat lagi menutupi tubuh telanjangnya dan berlari ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Setelah sebelumnya ia berteriak kepada ibunya di luar sana.
“Iya bu! Lanie sudah bangun!”
Sang ibu hanya terkekeh saja melihat putrinya yang terlambat bangun. Lalu sang ibu berjalan menuju Suami sekaligus ayah Melanie yang sedang serius membaca surat paginya. Matanya muram seakan tak mengerti tentang kata-kata di surat buram itu. Tulisan itu tertuju pada ayah Melanie dari Schulmachdenn~~tempat Melanie belajar.
Mata sang ayah seakan tak percaya bahwa Melanie mendaftarkan diri sebagai anggota peneliti yang akan dikirim jauh ke Ardaka. Tim yang dipimpin oleh Profesor Herringard untuk meneliti puing-puing di Kedaton Ardaka. Ayahnya tak mengerti puing-puing yang tak berharga itu. Yang ia takutkan adalah keselamatan Melanie, putri satu-satunya. Disurat itu juga tertulis bahwa semua biaya perjalanan akan di tanggung oleh Universiadenn. Tapi Melanie masih duduk di Schulmachdenn, usianya belum sampai ke arah jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Ibunya yang baru tahu mendadak khawatir, namun ia mencoba tenang ketika Melanie dengan langkah buru-buru keluar dari kamarnya. Sang ayah yang tak sanggup untuk memberitahu Melanie isi surat itu. Ia menyelipkan lebaran kusut itu di balik taplak meja dan menindihnya dengan cangkir kopi yang baru saja disesapnya. Sang ayah tahu, jika Melanie ingin kesana, ia harus kesana apapun yang terjadi. Bahkan dahulu kala, ketika Renville merapat di pelabuhan Sunda Kelapa~~Melanie merengek meminta ayahnya untuk membuatkan kapal perang terbesar yang berjaya pada masanya itu. Alhasil, sang ayah hanya bisa mengajaknya jalan-jalan di dalam kapal itu, tentu saja dengan upeti yang cukup mahal.
“Hah! Aku terlambat.” Ujarnya kebingungan. “Romo, ibu! Lanie berangkat dulu.”
Setelah mencium kedua tangan kedus orang tuanya, Ia berlari menyongsong pagi yang menurutnya sudah terlalu siang. Kakinya bergerak cepat dengan salah satu tangannya menyingkap kain jariknya. Tangan satunya mengapit buku yang selalu menemaninya beberapa tahun ini.
Larinya begitu cepat sehingga buah dadanya bergoyang walau kembannya sudah rapat. Ia tak mempedulikan mata-mata pria yang melihatnya. Bahkan tukang kebun tetangga juga menaikan jakunnya ketika melihat buah d**a muda yang berayun.
Tak ada yang ia takutkan kecuali Strapp dari para Leraar dan Lerares yang terkenal kejam. Hukumannya biasanya cukup kejam, mereka yang terlambat akan diminta untuk berdiri diluar kelas sampai kelas berikutnya berakhir. Sehingga ia akan mendapat malu dan tak mengikuti pelajaran itu.
Dengan nafas terengah, Melanie sampai di gerbang Schulmachdenn yang tertutup setengah. Hatinya pilu ketika melihat suasana sepi di areal bangunan sekolahan itu. Para pelajar sudah duduk di kelas mereka masing ketika Melanie berlari menuju kelasnya. Lalu setelah lama ketika ia sampai di depan kelasnya, ia melihat Panji dengan tubuh kecilnya berdiri di samping pintu. Ia juga terkena Strapp dari Madam Suzan yang mengajar pagi itu.