Bab 2 - Dia Galaksi

1253 Words
Dompet milik Galaksi selalu kubawa ke mana pun. Aku bingung untuk mengembalikannya. Aku takut Galaksi akan menganggapku sebagai pencopet, walaupun sedikitnya iya karena aku mengambil beberapa lembar uangnya. Niatnya, aku akan menyerahkan dompet ini ke kantor polisi. Motorku mogok. Lengkap sudah penderitaanku. Rese memang motor butut ini, demen banget nyusahin. Untung hari ini libur kerja. Coba kalau motor butut ini mogok di hari-hari biasa? Dah kujual ke tukang rongsok. Entar lo yang susah? Batinku mengingatkan. Benar juga, ya. Ya udah deh, nggak jadi dijual. Kurogoh saku, mengambil ponsel demi meminta bantuan Andra untuk membawa motorku ke bengkel terdekat. Lagu Syahrini sebagai NSP-nya memekikan telinga. Kepalaku bergoyang refleks, sampai sadar bahwa ternyata telponku nggak diangkat. Ngakunya nggak punya pulsa, tapi dia rutin memperpanjang NSP? Ini aku yang b**o, atau bagaimana, sih? Sampai tiga kali menelpon, Andra tak kunjung mengangkatnya. Aku mendesah pasrah, entah kapan Andra memiliki manfaat untuk hidupku. Sekali lagi, aku mencoba menyalakan motorku. Syukurlah, kali ini starter-nya berfungsi. Segera kubawa motor sialan ini menuju bengkel. Di depan gerbang, aku berpapasan dengan Damar yang berjalan santai memasuki halaman rumah. Dia bersiul-siul santai selayaknya orang banyak duit. Dasar jamet miskin, malas, dan ngeselin. Pengen kujorokin tubuhnya ke arena Squid Game biar bermanfaat. "Mau ke mana lo?" tanya Damar. Wajahnya meneleng menatapku yang memelankan kecepatan. "Bengkel." "Punya duit, nggak? Stok telor di kulkas habis, nih!" Mulutku mendesis mendengarnya. "Nggak ada!" bohongku. "Bohong, lo!" "Beneran." "Jangan bohong!" “Matamu!” Aku mencebik bibir. Kutarik gas dan memajukan kecepatan motorku membelah jalanan. Lantas aku berhenti di sebuah bengkel. "Kenapa, Neng?" tanya salah satu pegawainya. "Nggak tahu. Agak susah di starter nih motor!" Selagi pegawai bengkel mengurus motorku, aku duduk di bangku panjang seraya memainkan ponsel. Seseorang duduk di sampingku, berdeham pelan guna memecah keheningan. Aku meliriknya sekilas dan menyadari bahwa seseorang itu sangat ganteng, membuatku menoleh padanya sekali lagi dan tersenyum. Sialnya, ia malah menatapku datar. "Dompet gue mana?" tanyanya tanpa ekspresi. Ha, dompet? Kulirik dia sekali lagi, lalu mataku membola saking kagetnya. Untung nggak latah. Cowok ganteng itu menaikan sebelah alis yang malah membuat mulutku terasa kaku. Dia Galaksi. "Lo ngambil dompet gue, kan?" tanyanya terdengar mengintimidasi. "S-siapa?" "Lo!" "G-gue cuma nemu." Jari telunjuknya mengacung tepat di depan wajahku. "Ngaku, kan, lo akhirnya." Galaksi tertawa mengejek, selanjutnya ia menjitak kepalaku saking kesal. "Mana ada nemu? Kemarin lo ngeliat gue masuk toko dan lo malah buang muka. Emang niat nyolong, kan lo?" "Kagak. Beneran." "Balikin dompet gue! Kartu-kartunya penting banget. Isinya milyaran," ucapnya sombong. Dih, emang gue nanya? Bodo amat, ah. Mau milyaran, mau triliunan kek. Aku nggak ikut ngabisin juga. Lantas kuambil dompetnya dari dalam tas gendongku. Memberikannya pada Galaksi secara cuma-cuma. Galaksi buru-buru merebutnya dari tanganku dengan tatapan sinis. Dasar orang kaya pedit. "Lo diem! Gue periksa dulu, takut ada yang hilang," perintahnya seraya memandangku dengan mata memicing. Aku merapatkan bibir. Semoga Galaksi tak menyadari bahwa uangnya kuambil tiga lembar. Galaksi menyipitkan mata saat menatapku, pandangannya kembali pada lembaran uang di telapak tangan, lalu memandangku lagi secara bergantian. "Lo ngambil duit gue, kan?" tanyanya penuh selidik. Pertanyaan itu membuatku secara refleks menyelipkan rambut ke belakang telinga. Kubuang tatapanku ke sembarang arah karena takut ketahuan. "Enggak." "Kok kayaknya duit gue kurang, ya? Atau gue salah ngitung?" Galaksi bermolog dengan raut wajah kebingungan. Dasar bocah b**o. "Lo salah ngitung kali!" "Masa, sih?" "Udah, lah. Motor gue kayaknya beres. Gue mau pergi dulu." Sengaja aku memelankan langkah. Sudut mataku sedikit melirik visual Galaksi yang malah anteng memainkan ponsel. Ini anak tidak tahu terimakasih apa, ya? Kucebikan bibir lantaran kesal, kemudian berjalan menuju meja kasir untuk membayar total perbaikan motorku. Ternyata aki-nya yang rusak dan harus diganti. Dari dalam saku, aku mengeluarkan uang sebanyak dua ratus ribu dan membayarnya ke pegawai bengkel. Untung saja otakku cerdik. Coba kalau sebagian uang Galaksi tak kuambil, mungkin saat ini aku sedang ketar-ketir kebingungan karena tak punya uang, terlebih pemuda itu pelitnya minta ampun. Jangankan memberiku imbalan, mengucapkan terimakasih saja tidak. Semula aku mengagumi ketampanannya, tapi sekarang sudah tidak lagi, perasaanku padanya berubah ilfeel. Galaksi berjalan mendekat saat aku hendak menaiki motor matic. Sudut bibirku tertarik membentuk senyum miring. Akhirnya pria itu mendekat juga. Kuharap ia memberiku imbalan yang setimpal karena telah menjaga beberapa kartu penting dalam dompetnya. Sialan, ternyata Galaksi menghampiri motor sport merah di sebelahku. Ia mencabut kunci motornya—yang sepertinya tertinggal—kemudian kembali ke tempat duduk semula. Bibirku mencebik kesal memandangnya. "Woy!" teriakku tak tahu malu. Masa bodoh dengan semua mata yang memadangku aneh, lagi pula mood baikku sudah hangus terbakar sinar matahari. Galaksi menoleh dengan wajah tanpa ekspresi. Melihatku yang kini bertolak pinggang di atas motor membuatnya menaikan sebelah alis. "Nggak tahu terimakasih, ya lo?" "Terimakasih," ucap Galaksi lempeng. "Udah? Gitu doang rasa terimakasih lo?" sindirku. "Terus? Lo mau duit?" What? Aku memang butuh uang, tapi tidak dengan cara seperti ini. Mendengar ucapannya membuatku merasa terhina. Lantas kunyalakan starter motor dan meninggalkan bengkel dengan hati bergemuruh. Galaksi sialan. *** Libur telah berlalu. Seperti biasa, aku kembali pada rutinitasku; bekerja. Semalam Andra tidak menelponku dan aku yakin sekali kalau pria itu sedang ngode-ngode untuk dibelikan pulsa. Maklum, sekarang tanggal satu dan nanti sore transferan gaji akan masuk ke rekeningku. Andra sudah tahu itu, dan aku sudah tahu Andra akan menonaktifkan mode data-nya. Kalian ada yang pernah memiliki kekasih parasit seperti Andra? Kalau ada, kuharap kalian segera memutuskannya sebelum terlanjur dibodohi sepertiku. Aku sudah terlanjur takut kehilangan. Siapa yang mau memacari gadis pas-pasan sepertiku selain Andra? Yes, i am the real bucin. Seperti kata temanku, "Andra mau berpacaran dengan lo pun sudah untung alhamdulillah. Lo jangan banyak nuntut." Nyatanya, hatiku kerap kali tersiksa dengan sikap acuhnya. "Marlboro satu!" Seseorang mengetuk meja kasir menunggu responku. Mataku membeliak saat menyadari bahwa ternyata orang itu adalah Galaksi. Pemuda itu nyengir seraya mencolek sikutku. "Buruan ah, lelet amat!" Ini bukan saatnya untuk marah-marah. Di tempat ini, aku dituntut untuk ber-make up dan senantiasa memasang senyum lebar sepanjang hari. Itu yang saat ini kulakukan pada Galaksi; tersenyum semanis madu tawon. "Berapa bungkus, Kak?" "Satu aja, Dek!" Dedek pala lo peyang, cebikku dalam hati. Kulihat cengirannya semakin lebar, sepertinya Galaksi sangat puas melihat ekspresiku saat ini. "Kok nggak marah-marah kayak kemarin, sih?" godanya. "Ada lagi yang mau dibeli, Kak? Terimakasih sudah berbelanja," ucapku sopan. Dia masih mematung di depan meja kasir, tertawa-tawa sampai matanya menyipit. Baru kusadari bahwa Galaksi memiliki gigi kelinci yang membuatnya terlihat imut layaknya bayi. Ih, kok malah gagal fokus, sih? "Gue belum bayar, woy! Kok lo main terimakasih-terimakasih aja, sih? Minta dipecat, nih kasir!" Galaksi menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. "Parah lo. Gue aduin sama bos lo baru tahu rasa!" "Ih. Tiga puluh rebu!" ucapku mulai ketus. "Jiah. Kepancing juga, kan?" "Buruan. Tuh, di belakang lo ada yang ngantri!" Galaksi menoleh ke belakang dan menyadari bahwa ucapanku hanya sebuah bohong belaka. Sudut bibirnya terangkat satu. Kali ini pemuda itu merogoh saku dan mengambil dompetnya, lalu membayarku dengan selembar uang lima puluh ribu. "Kembaliannya buat lo, deh." Aku terdiam, menyobek struk belanja dan menyerahkannya pada Galaksi. Ia membaca struk belanjanya kemudian tertawa samar. "Terimakasih, Damara," ucapnya. "Nama lo Damara, ya? Damara Sima G. G-nya apaan? g****k?" "Lo ngapain ke sini, sih? Mau ngejek gue doang? Udah pergi, lo!" "Gue mau beli rokok," jawabnya seraya memamerkan sebungkus rokok di depan wajahku. "Sekalian gue mau nawar rumah di komplek sini. Ada satu rumah kecil tapi desainnya bagus banget. Gue mau beli." "Dih, pamer!" "Sirik, ya?" "Ngapain gue sirik sama lo?" Galaksi mengendikan bahu. "Udah, ah. Gue mau nemuin pemilik rumahnya. Sibuk, nih!" Serah lo, Bambang! Bersambung... Masih ada yang nungguin? Kuy, Komen di bawah!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD