Bab 7 - Masih Perawan?

1177 Words
Mendengarnya membuat mataku membola. Ini anak sehat, kan? Nggak teler, kan? Kenapa bahasanya ngelantur seperti ini? “Eh, lo punya pacar nggak, sih?” tanya Galaksi. Dia masih bersendang dagu sambil mencolek-colek lenganku dari seberang. Aku yang sudah salah tingkah sedari tadi langsung mengambil piring, lalu menuang bumbu kacang yang sudah dicairkan ke piring kosong. Kontan Galaksi terbahak. “Lo grogi? Sayur dulu, woy. Ini ngapa bumbu pecelnya dituang ke piring kosong?” Eh, iya. “Lo sih ngajak ngobrol mulu!” protesku. Galaksi merebut piringku. Dia menaruh beberapa sayuran lalu menuangkan bumbu pecel ke dalamnya. Seketika aku meleleh. Ini aku disiapin makan sama cowok ganteng, ya? “Nih. Gue siapin. Mana ada majikan baik kayak gue?” Narsisnya membuat pujianku meluap tertiup angin. Aku berdesis, memicingkan mata memandangnya. Di seberang, Galaksi hanya cengar-cengir sambil menaruh piring pecelnya di hadapanku. “Eh, serius. Lo punya pacar nggak?” tanyanya masih belum menyerah. “Ya punya, lah!” jawabku. Sekalipun parasit, Andra tetaplah pacarku. Jadi aku tetap harus mengakuinya. “Emang lo laku?” “Lo ngeledek mulu, ya. Kesel gue lama-lama!” Galaksi malah cengengesan tanpa dosa, setelahnya dia memakan pecel dari mangkuk tanpa protes. Kukira dia akan mengomentari rasa masakanku, ternyata tidak. Syukurlah, setidaknya aku nggak perlu repot-repot menahan emosi saat mendengar celotehannya. Dan keheningan merebak ketika kami sibuk dengan makanan di piring masing-masing. Hanya suara dentingan kaca dari sendok yang beradu dengan piring keramik, selebihnya sunyi. “Damara?” “Apa?” “Di kamar gue ada kutang bunga-bunga. Itu punya lo, ya?” Sialan. Mukaku merah padam mendengarnya. Kamar Galaksi kan memang bekas kamarku. Mungkin beberapa barangku ada yang tertinggal di sana. Tapi ini? Kenapa harus dalaman? Padahal Galaksi bisa membuangnya lalu berpura-pura tidak menemukan apa pun, kan? Lantas alasan apa yang membuat Galaksi amat senang mempermalukanku. Baru sehari bekerja dengannya sudah membuat otakku stress. “Buang aja. Mungkin punya orang!” “Kayaknya punya lo. Ukuran dadanya kayaknya sama.” Galaksi menurunkan pandangannya untuk menatap dadaku. Matanya menelisik seolah menilai ukuran payudaraku. Seketika aku menyilangkan tangan menutupi bagian itu. “Lo bisa buang dan pura-pura nggak nemuin itu, g****k! Kenapa lo seneng banget ngeledek gue, sih?” “Masalah kutang doang histeris banget, sih. Kayak anak perawan aja,” celetuknya. “Apa?” Aku memang masih perawan. Ingin aku mengatakan itu, tapi rasanya percuma. Dia hanya akan menjadikan itu sebagai bahan cemoohan. “Lo kayak anak perawan. Atau jangan-jangan ... lo memang masih perawan?” Galaksi menaik-turunkan alisnya sambil menyeringai. Kuambil centong nasi lalu melemparnya ke Galaksi saking kesal. “GALAKSI!” *** “Ulang tahun? Kamu mau apa, gitu?” Galaksi tertawa-tawa sendiri sambil tiduran di atas sofa. Kuterka, pasti dia sedang telponan bareng pacarnya. Idih, alay sekali. “Tas apaan itu? Harganya berapa? Hah, 150 juta? Iya, nanti aku beliin,” lanjutnya. Aku cekikikan sendiri sambil mencuci piring-piring kotor. Ternyata cowok seganteng itu bucin parah. Suara cekikikanku membuat Galaksi menoleh lalu menatapku dengan sorot mata mengancam. Kontan aku membekap mulut, menahan tawa agar tidak meledak. Omong-omong, antara sofa ruang televisi dan pantry tidak ada sekat, sehingga Galaksi dan aku bisa saling melempar pandang dengan bebas. “Sayang, udah dulu, ya. Ada yang kepo, nih!” ucapnya sambil melirikku. Aku hanya mencebikan bibir sambil membilas piring-piring kotor. “Sirik, ya, lo? Makanya, kalau punya pacar suruh nelpon!” cibirnya sambil bangkit dari sofa menuju pantri. Dia membuka kulkas, mengambil sekaleng soda lalu membukanya. Kini Galaksi bersandar ke pintu kulkas sambil menatapku. “Kayaknya pacar lo cuek banget. Dari kemarin nggak ada khawatir-khawatirnya sama lo.” “Bukan urusan lo!” jawabku sambil berlalu. Galaksi membuntutiku. Entah mau apa, yang pasti aku risih. “Ngeliat lo marah-marah, kok lucu banget, ya?” katanya. Aku nggak salah dengar, kan? “Apaan, sih? Gue mau tidur. Liat, tuh, udah jam sebelas malam.” Aku berhenti di depan pintu kamar. Memandang Galaksi yang kini mengenggak soda dengan santai sambil cengar-cengir mirip orang nggak punya beban. “Gue biasanya tidur jam satu malam, malahan.” “Gue nggak nanya.” “Gue ngasih tahu!” jawabnya nggak mau kalah. “Serah lo!” Galaksi hanya cekikikan tanpa dosa. “Gue baru tahu, ternyata Damar punya adik kayak lo. Tahu gitu udah gue pungut dari dulu,” celetuknya sambil memasukan sebelah tangannya ke saku kolor. Dia masih nyengir memandangku yang melipat tangan di d**a. “Lo pikir gue anak kucing?” “Lo jadi piaraan gue aja, deh. Besok gue grooming ke pet shop!” “Sialan!” Galaksi tertawa, setelahnya dia mengacak pelan rambutku. “Good night,” ucapnya kemudian berlalu pergi ke kamarnya. Aku masih mematung di depan pintu sambil melongo. Barusan aku diucapin good night sama orang ganteng. Tidak salah, kan? *** Pukul empat subuh. Aku sudah bangun untuk beberes rumah, mencuci baju, dan membuat sarapan untuk Galaksi. Begini rutinitas baruku saat ini. Di rumah bekerja, di toko pun bekerja. Otakku telah dipenuhi oleh uang, uang, dan uang. Semua itu gara-gara Damar. Untuk bisa membeli rumahku kembali, aku perlu banyak uang. Untuk bisa membuat wajahku lebih bening, aku juga perlu uang. Dengan begitu, Andra akan sedikit lebih perhatian padaku. Mungkin. Kusajikan nasi goreng di atas meja makan, lantas bergegas mengetuk pintu kamar Galaksi. Sepertinya dia masih tertidur karena pada ketukan ketiga masih belum ada sahutan. “Gala! Sarapan udah siap.” Aku mengetuk pintu kamarnya kembali. Entah sudah ke berapa kali. Hening sebagai jawaban. Kudorong daun pintu yang ternyata nggak dikunci. Di dalam tidak ada siapa pun, tapi suara gemericik air terdengar. Kutebak, pasti Galaksi sedang mandi. Mumpung nggak ada orangnya, aku pun membereskan tempat tidur Galaksi. Nuansa kamar ini berbeda dari sebelumnya yang penuh poster BTS. Sekarang kamar ini jauh lebih kalem. Mungkin karena Galaksi yang menempatinya. “Penyusup!” Aku menoleh, melihat Galaksi yang berdiri di ambang pintu kamar mandi sambil bertolak pinggang. Dia mengenakan handuk sebatas pinggang ke bawah. Rambutnya basah, otot perutnya terlihat ... seksi? Astaga. Apa yang kupikirkan? Segera kubuang pandangan ke sembarang arah. Kembali beberes tanpa mempedulikannya. “Ngapain cewek main masuk ke kamar cowok?” tanya Galaksi terdengar menyebalkan. Dia berjalan mendekat, berdiri tepat di sampingku yang tengah membereskan nakas. “Ini masih pagi, Damara. Masih jam setengah enam.” “Siapa bilang Ashar?” jawabku tanpa menoleh. Galaksi menarik tanganku untuk berbalik memandangnya. Saat ini dia duduk di atas ranjang. Masih dengan setelan handuk di bawah pinggangnya. “Ngapain lo ke kamar gue?” “Gue mau bangunin lo buat sarapan.” Aku memberanikan diri memandangnya. Astaga, kenapa harus ada mahluk semenawan ini, sih. Fokusku terpecah, pesona Galaksi membawanya tak tentu arah. “Ngapain pakai masuk segala?” “Bukannya lo kemarin marah-marah ke gue gara-gara kamar lo belum dibersihin?” Seketika dia nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Iya, sih.” Kedua bola mataku berputar sebal. Memandang Galaksi yang masih nyengir tanpa dosa, lantas beranjak pergi. Tapi baru berjalan dua langkah, Galaksi malah mencekal tanganku. “Mau ke mana?” “Keluar, lah. Lo juga mau pakai baju, kan?” “Lo nggak mau ngintip gue pakai baju?” “GILAK AJA!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD