Andra!"panggil guru wali kelasnya.
" Ya, Bu!"
"Rumah kamu yang berdekatan dengan rumah Shabila. Apakah kamu tidak tahu kenapa Shabila tidak hadir sudah lebih tiga hari. Dia hanya mengirimkan pesan kalau menemani neneknya yang sakit di rumah tantenya."
"Saya juga tidak terlalu dekat dengan Shabila walau rumah kami bersebrangan, Bu,"jawab Andra malas.
" Kalau kamu melihatnya nanti, sampaikan kepada Shabila untuk datang ke sekolah seperti biasa. Sudah kelas tiga, tidak ada kesempatan untuk bermain lagi. Jika tidak ada keperluan yang terlalu mendesak, usahakan jangan absen."
Andra mengangguk diam.
"Ini bukan untuk Shabila saja, untuk kamu semua. Bagaimanapun juga kalian semua sudah kelas tiga. Hanya beberapa bulan lagi belajar. Jangan sampai ketinggalan pelajaran apa pun!"
Saat guru wali kelasnya berbicara, Andra juga nampak berpikir. Karena selama itu pula Shabila tidak lagi menunggunya di depan rumah dan tidak nampak di sekitaran rumahnya sendiri.
Pulang sekolah yang sore hari, Andra memperhatikan rumah Shabila yang sepi. Biasanya memang sesepi itu, karena yang tinggal hanya dia dan nenek Lenny. Namun, lampu terasnya selalu hidup selama tiga haru.
Andra mengalihkan pandangannya, kenapa pula dia memperhatikan gadis itu. Peduli apa dengan Shabila yang tidak sekolah selama tiga hari. Bukankah ini yang diinginkan oleh Andra. Tidak ada Shabila yang selalu menempel kepadanya seperti lintah.
***
Besok paginya, ketika Andra memanaskan motor, matanya menatap ke arah rumah Shabila.
"Lampu terasnya mati, berati dia sudah di rumah,"bisik Andra kepada dirinya sendiri.
Yang membuat Andra berpikir adalah kenapa Shabila tidak berada di depan rumahnya. Duduk menjongkok sambil mencoret-coret tanah, berdiri mondar-mandir seperti setrika hanya untuk menanti pria itu keluar rumah.
Andra kembali mengacuhkan pikirannya, dia melajukan motornya menuju sekolah. Saat pertengahan jalan, Andra melihat seseorang yang mengatakan pakain seragam sekolah, yang dia yakini adalah Shabila. Gadis itu menelusuri jalan menuju sekolah mereka sendiri. Dia mengenakan hoodie berwarna putih, dan menutupi kepalanya.
Dengan sengaja pria itu membunyiklan klakson motor, tapi Shabila tetap jalan menunduk tanpa memperdulikan ke sekelilingnya. Ketika motor Andra sudah melaju lebih dulu dari Shabila, pria itu melihat Shabila dari kaca spion. Shabila sama sekali tidak mengadahkan wajahnya, gadis itu tetap berjalan menunduk.
***
"Shabila,"sorak Riri ketika melihat Shabila di ambang pintu saat sudah berada di kelas.
Shabila membalas lambaian tangan Riri dengan ceria seperti biasa. Melewati tempat duduk Andra tanpa menyapanya seperti yang dia lakukan setiap hari. Andra pun juga melirik sekilas lalu kembali fokus kepada buku di atas mejanya.
Sepanjang pelajaran di mulai hujan deras menemani mereka saat proses pembelajaran. Andra sedikit penasaran dengan tingkah cuek Shabila. Sedangkan Shabila tertawa kecil menlihat punggung Andra. Dia duduk di kursi paling belakang sedangkan Andra di kursi paling depan.
"Hari ini, aku ingin pura-pura cuek kepadamu. Aku penasaran bagaimana reaksimu,"kata Shabila di dalam hati sambil terkekeh.
Dia sudah berencana mengubah caranya agar Andea sedikit memperhatikannya. Tiga tahun sudah dia mengejar pria itu dengan menempel kepada Anda. Namun selalu ditolak olehnya dengan lebih tegas lagi. Beberapa hari menemani nenek Lenny sakit dia sempat mencari ide agar Andra sedikit luluh. Dan inilah cara yang sedang dia lakukan.
Akan tetapi, saat pulang sekolah Shabila tidak tahan lagi bersikap cuek kepada Andra. Karena pria itu juga tidak merespon sedikit pun.
"Hatinya memang seperti kutub utara, dingin dan keras. Dia sama sekali tidak peduli,"rutuknya sepanjang koridor sekolah.
Andra berjalan cepat menuju parkiran sedangkan Shabika berdiri di perkarangan sekolah berteduh. Hujan masih sangat lebat dan air mulai menggenang.
Shabila mengeluarkan mantel hujannya dan payung kecil. Dia memasukan sepatu ke dalam tas dan mulai berjalan dengan tanpa alasan kaki. Beberapa siswa ada yang dijemput oleh orangtua mereka, ada yang memesan transportasi online dan ada yang masih menunggu hujan berhenti. Hanya Shabila sendiri yang berjalan di tengah hujan dengan mengenakan mantel hujan dan payung kecil.
***
"Andra! Andra!"teriak Shabila sambil mengetuk keras pintu rumah Andra.
Andra mendengarnya tapi pura-pura tuli dan membiarkan Shabila berteriak di depan pintu.
" Kak Unna! Bang Andro!" Kali ini bukan nama Andra saja yang dipanggil Shabila.
Shabila masih berusaha mengetuk pintu rumah tapi tidak ada yang membuka.
"Andra tolong aku!"soraknya masih berusaha.
Karena terlalu berisik di waktu maghrib dengan malas Andra membuka pintu dan memarahi Shabila.
" Bisakah kau tidak membuat keributan di rumahku! Tidak ada orang di rumah, hanya ada aku untuk apa kau mencari semua keluargaku!"bentaknya keras di depan wajah Shabila.
Dengan napas yang tersendat Shabila menjawab." Tolong bawa aku ke rumah sakit, asma ku kambuh karena kehujanan tadi. Obat ku juga habis, sedangkan rumah sakit sangat jauh dari sini."
Andra tersenyum sinis dan tidak mempercayai drama yang dibuat oleh Shabila.
"Kau pikir aku mempercayaimu dan mengasihani mu! Kau cari sendiri transportasi online."
Andra menutup pintu dengan cara membantingnya dengan keras. Shabila tertegun, hanya Andra sendiri yang di rumah. Tidak ada Unna dan Andro.
"Aku tidak punya uang,"bisik Shabila pelan.
Dia tidak memegang uang, kalaupun ke rumah sakit, Shabila bisa menggunakan BPJS dan mendapatkan oksigen gratis. Karena kasusnya juga darurat.
Asma nya kambuh karena hujan dan dingin. Shabila berjalan menembus hujan yang masih belum berhenti. Napasnya sangat sesak dan dia benar- benar membutuhkan pengasapan di IGD.
***
Shabila menatap beberapa macam obat di atas meja di dalam kamarnya.
Pukul setengah sepuluh malam dan dia baru saja pulang dari rumah sakit.
"Shabila!"katanya memulai berbicara kepada dirinya sendiri.
" Delapan bulan itu tidak lama lagi, kamu hanya butuh bersabar sedikit lagi."
Gadis itu menangis terisak di dalam kamarnya sendiri. Dia sendiri, tidak ada satu orang pun yang menemani Shabila. Dia tidak mungkin pindah sekolah lebih dekat dari rumah tantenya, karena sudah kelas tiga SMA. Tante Shabila juga tidak mungkin bisa menemaninya di sini, karena memiliki keluarga dan anak- anak. Sedangkan nenek Leni lebih sering menginap di rumah tantenya. Karena tidak mungkin ditinggal sendiri saat Shabila sekolah.
Orang tuanya sudah tidak ada, dia juga tidak punya kakak dan adik.
"Ma!" Lirih Shabila menangis.
"Anakmu sebatang kara, aku sakit tapi tidak ada yang merawatku. Aku tidak pintar dan tidak ada yang mengajariku. Aku kesepian dan merasa sendiri di sini. Apakah kamu memperhatikan ku di atas sana?"
Gadis itu naik ke atas tempat tidurnya, memeluk guling dan meredam tangisnya. Selama ini Shabila berusaha untuk tidak terlalu ketergantungan baik dengan keluarga ataupun dengan orang lain. Untuk biaya hidup dan sekolahnya Shabila masih ditanggung oleh pemerintah karena mamanya seorang ASN. Setiap bulan dia masih mendapatkan kiriman gaji mamanya.
Rumah yang ditempati oleh Shabila juga rumah peninggalan mamanya yang juga tidak terlalu besar.
"Setelah ujian akhir nanti, aku akan pergi dari sini untuk selama- lamanya." Lirih Shabila sebelum masuk ke alam bawah sadar.
***