bc

My Boss and My Baby

book_age18+
78
FOLLOW
1K
READ
forced
second chance
pregnant
CEO
single mother
sweet
city
office/work place
affair
office lady
like
intro-logo
Blurb

Dinda berpikir apa yang ia lakukan selama ini sudah benar. Pergi dan melarikan diri sejauh mungkin dari seorang pria yang telah memporak porandakan takdirnya. Perjalanan teramat jauh telah Dinda lakukan, laut pun rela ia arungi untuk menjauhi pria tersebut.

Tapi apa ini?

Susah payah ia pergi, takdir seolah mempermainkannya. Dinda sekarang bagia itik bodoh yang sedang mencari tempat berteduh ketika hujan datang. Sial, dia masuk ke kandang buaya, itik bodoh itu pun hanya bisa berdiri merapat ke dinding saat seekor buaya akhirnya muncul dengan seringainya yang licik, itik bodoh itu tidak yakin bisa pulang ke rumahnya lagi.

Setelah lima tahun pergi, Dinda akhirnya terjebak di sebuah perusahaan besar tempat ia bekerja. Dinda tidak menyangka sama sekali ia akan bekerja di perusahaan pria yang selama ini ia jauhi. Pria yang telah memporak porandakan takdirnya. Akankah ia bisa melarikan diri lagi?

chap-preview
Free preview
1. Kia
Seorang gadis kecil cantik nan imut tengah berceloteh ceria ketika ibunya memakaikan baju seragam sekolah TK warna biru di tubuh mungilnya. Suara cempreng gadis itu memenuhi rumah mungil mereka yang berukuran enam meter persegi. Sambil bicara, gadis itu sesekali tertawa cekikikan ketika merasa ada yang lucu dengan ceritanya. Dan ia begitu bersemangat saat menceritakan tentang sekolah yang baru ia masuki selama tiga hari. Ia mengungkapkan, jika sudah tidak sabar pergi ke sekolah. Ia lalu mengatakan jika ia lebih senang bermain dengan teman-teman perempuannya, daripada dengan teman laki-laki yang menurutnya hampir semuanya nakal. "Papa ku juga pasti nakal kayak anak laki-laki di kelas ku. Makanya Mama nggak suka dan ninggalin dia.” ujar Kia polos. Ia telah selesai memakai baju, ibunya kini sedang menyisir rambut tebalnya yang tergerai sepunggung. Dinda yang sedang menyisir rambut putrinya seketika berhenti. "Mama ninggalin Papa? Kapan mama bilang gitu?” Dahi wanita cantik berusia 24 tahun itu berkerut. “Aku nggak suka anak laki-laki di kelasku, mereka nakal-nakal, kalau bercanda sukanya gelut, dikit-dikit berkelahi, walau udah di lerai bu guru, sebentar lagi mereka pasti berkelahi. Papa ku juga pasti kayak gitu. Dia nakal, makanya Mama nggak suka dan ninggalin dia.” Mendengar kata-kata putrinya, Dinda seketika memutar kursi yang diduduki Kia menghadap padanya, tangannya gemetar ketika membelai rambut Kia, ia berjongkok di depan gadis kecilnya, matanya memandang lembut mata yang agak sipit tersebut, berbeda dengan matanya yang bening dan bulat. “Kia nggak boleh ngomong kayak gitu tentang papa, hm?” Dinda memaksakan senyum getirnya. Ini bukan salah putrinya yang mempunyai anggapan buruk tentang papa nya. Dinda tidak pernah sekalipun menceritakan tentang papa nya, ia bahkan selalu menghindar ketika Kia bertanya tentang papa nya. Tanpa terasa air mata jatuh di pipi Dinda, buru-buru ia menyekanya. “Kenapa aku nggak boleh ngatain papa nakal? Aku tau dia emang nakal kok, mama selalu aja nangis waktu aku tanya tentang papa.” “Mama nangis bukan karena papa nakal. Tapi…, karena mama sedih, papa Kia udah meninggal.” ucap Dinda pahit. Sepertinya ia harus berbohong seperti ini di sepanjang sisa hidupnya. “Papa ku udah meninggal?” tanya Kia, Dinda pun menjawabnya dengan anggukan. “Kapan?” lanjut Kia. Dinda lalu berdiri, mengambil kuncir warna pink. Dengan lihai ia menggulung rambut panjang putrinya ke atas, membentuknya seperti sanggul kecil, lalu mengikatnya dengan karet rambut. “Papa Kia meninggal waktu Kia masih kecil, makanya Kia nggak ingat apa-apa tentang papa. Nah, rambutmu udah jadi kayak cup cake lucu.” Dinda sengaja mengubah topik pembicaraan yang awalnya membahas tentang papa Kia yang tidak ingin ia bahas, menggantinya dengan percakapan tentang penampilan putrinya yang selalu terlihat menggemaskan. Dinda lalu mengambil ponselnya, memotret cup cake mungil itu dari atas, lalu memperlihatkannya pada Kia. Seperti biasa, Kia yang melihat cepolan imut di atas rambutnya yang membentuk cup cake di hiasi dengan tiga jepit kecil bentuk bintang langsung memekik gembira. Ia memuji tangan ibunya yang mahir merias rambutnya. Selesai mendandani putrinya, Dinda segera ke dapur, mengambil sarapan sederhana buatannya omelet telur yang ia masak dengan irisan wortel dan sosis sudah ia masak pagi tadi setelah sholat subuh. Di ruang keluarga, di depan televisi, Dinda menyuapi Kia yang sedang melihat video di ponsel, sesekali Dinda juga menyuapi dirinya sendiri, menyiapkan tenaga untuk kerja nanti. “Minum…,” rengek Kia di tengah sarapannya. Dinda yang sudah menyiapkan air di meja, segera meraihnya dan memberikannya pada Kia. Dinda tersenyum melihat putrinya meneguk minumannya dengan semangat. Kia sehat. Itulah yang Dinda syukuri. Di tengah keadaannya yang tidak mudah, membesarkan anak seorang diri sejak bayi tanpa suami di sampingnya tentu menjadi perkara sulit. Apalagi ia harus selalu berbohong pada para tetangga nya waktu tinggal di Semarang, bahwa suaminya sudah meninggal. Di tengah ketidak hadiran ayah Kia di sampingnya dan ia hanya menggantungkan hidupnya dari gaji kerjanya. Kia bisa tumbuh dengan baik, cantik, dan yang paling penting Kia jarang sakit. Cup… Dinda mencium sayang kening putrinya. Dan saat Dinda ingin mencium pipi gembil putrinya, Kia justru melengos, menjauh dari bibir Dinda, menjauh karena ingin berkata bahwa ia tidak mau disuapi lagi. Dia sudah kenyang. Tok-tok-tok…. Tepat saat Dinda berdiri, pintu rumah kontrakannya di ketuk seseorang. Tidak berapa lama, terdengar seorang wanita mengucapkan salam. “Assalamualaikum….” suara akrab seorang wanita paruh baya yang berada di pintu depan sedang mengucap salam terdengar hingga dalam ruang keluarga. “Masuk aja langsung Mak Usis. Kia baru selesai sarapan.” ucap Dinda dengan sedikit mengeraskan suaranya, sudah tahu jika wanita di depan adalah pengasuh putrinya. Satu Minggu yang lalu, saat Dinda baru saja pindah ke kontrakan barunya. Mak Usis tiba-tiba datang dan meminta pekerjaan apa saja pada Dinda. Wanita itu miskin, rumahnya tak jauh dari rumah kontrakannya. Dinda yang bingung hendak bersikap bagaimana dengan Mak Usis, ia minta pendapat pada pemilik kontrakan. Sang pemilik kontrakan itu lalu mengatakan jika Mak Usis memang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Keluarganya yang miskin semakin terpuruk saat suaminya yang bermata pencaharian sebagai pemulung meninggal dunia. Meninggalkan Mak Usis dan cucu laki-lakinya yang duduk di kelas empat SD. Dan menurut sang pemilik kontrakan, Mak Usis adalah sosok wanita yang baik dan penyabar. Ia dulu pernah bekerja sebagai pembantu, namun karena cucunya yang masih kecil di berikan padanya, tidak jelas pergi kemana orang tuanya yang sudah bercerai. Membuat wanita itu terpaksa berhenti bekerja dan memilih merawat cucunya. Dinda yang masih mempunyai uang, apalagi ia mendapat uang pesangon dari perusahaan Semarang sebelum pindah ke Jakarta, akhirnya mempekerjakan Mak Usis sebagai pengasuh Kia saat ia bekerja. Mak Usis pun tidak keberatan dengan gaji yang tidak banyak yang dia terima. Ia ingin bekerja tak jauh dari tempat tinggalnya. Untunglah Kia sudah terbiasa dengan orang asing. Jadi dia tidak keberatan dirawat pengasuh barunya. Kia yang tahu pengasuhnya datang, menyuruh wanita itu membantunya memeriksa isi tas nya. Mengatakan apakah barang-barang nya ada yang kurang? Ia sudah tidak sabar pergi ke sekolah walau hanya berjalan kaki, karena sekolah Kia memang tak jauh dari kontrakan Dinda. Sedangkan Dinda segera mempersiapkan diri untuk bekerja di sebuah perusahaan peralatan medis. Sebuah perusahaan besar dengan gaji yang besar pula, Dinda bersyukur setelah ia di keluarkan dari perusahaan cabang yang ada di Semarang, bos nya justru menempatkan dirinya di perusahaan pusat yang ada di Jakarta, yang tentu saja mempunyai gaji yang lebih besar dari cabang nya. Dinda mematut wajah cantiknya d cermin kamar, ia memakai skincare dan sedikit make up untuk penampilannya, ia juga memakai lipstik warna natural. Ia tidak ingin penampilannya terlihat mencolok, apalagi sampai menyita perhatian para karyawan. Dinda mengambil pelajaran dari tempat kerjanya kemarin di Semarang. Alasan mengapa dirinya dipecat dari perusahaan itu sangat tidak masuk akal. Ia dipecat hanya karena mempunyai wajah terlalu cantik. Karena kecantikannya para karyawan pria di sana banyak yang menggodanya. Setiap kali ia pergi, ada saja karyawan yang menempel padanya. Bahkan ada juga yang sudah beristri terang-terangan mendekatinya. Dinda yang saat itu memang masih junior tentu tidak berani menolak atau mengusir para pria yang seringkali mengerumuninya secara langsung. Dan akibat dari itu, para karyawan wanita menganggap Dinda wanita perayu, gatel, suka cari perhatian. Puncaknya ketika ada wanita yang memaksa masuk kantor, melabrak Dinda di depan banyak orang. Ia mengaku sebagai istri dari salah satu pria yang mendekati Dinda. Wanita itu lalu tanpa segan memarahi dan memaki Dinda di depan banyak orang. Setelah itu ia mengajak para karyawan wanita protes pada pimpinan perusahaan. Mereka mendesak agar Dinda segera dikeluarkan karena telah mengganggu ketenangan kantor. Bos Dinda yang saat itu juga seorang pria tidak bisa bertindak apa-apa selain menuruti tuntutan para karyawannya. Diam-diam karena merasa tidak enak pada Dinda, telah memecat nya secara tidak profesional, pria itu justru mengirim Dinda ke kantor pusat yang saat itu kebetulan memang membutuhkan karyawan baru di bidang desain. Dinda yang lulusan desain langsung dikirim oleh bos nya ke kantor pusat yang ada di Jakarta. “Gimana Mak Usis, saya kelihatan cantik nggak?” Gumam Dinda seraya menyisir rambutnya di ruang keluarga. Dinda merasa kecantikannya seolah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Kecantikan itu bagai kutukan dalam hidupnya. Dinda lalu menguncir rambutnya ke belakang. Semoga rambut yang ia kuncir, tidak lagi di gerai seperti dulu, dan make up naturalnya tidak menarik perhatian siapa pun. “Cantik.” jawab Mak Usis sambil, mengacungkan jempolnya. "Cantik? Masa sih?" Dinda refleks meraba wajahnya. "Mak pasti bohong, aku udah nggak pakai apa-apa loh." Dinda hanya memakai skincare, bedak tabur, lipstik warna nude, dan sedikit eyeliner di kelopak matanya. "Masa nggak pakai apa-apa udah secantik Natasha Wilona? Gimana kalau nanti pakai make up beneran? Memangnya kenapa kalau kelihatan cantik? Kamu tidak suka?" "Aku nggak boleh kelihatan cantik, Mak. Itu bahaya buat kerjaan aku." Dinda mematut wajahnya di cermin, frustasi dengan wajah cantiknya. "Ada-ada aja Mbak Dinda ini, di kasih cantik malah nggak suka. Kalau kamu nggak mau kelihatan cantik ya nggak usah pakai dandan, kalau perlu wajahmu di tempeli tompel yang besar atau pakai aja bedak arang." Sambil memeriksa tas Kia Mak Usis geleng-geleng kepala. Kebanyakan orang di dunia ini berlomba-lomba mempercantik penampilan, bahkan ada yang rela operasi plastik agar terlihat cantik. Tapi Dinda sungguh aneh. Wanita yang memakai celana krem panjang, dan kemeja putih tersebut terlihat sempurna dengan wajah cantiknya, rambutnya di kuncir ke belakang. Walau Dinda berpenampilan sederhana tetap saja ia terlihat cantik. "Walau aku nggak mau kelihatan cantik, tapi ya jangan berpenampilan jelek juga Mak. Orang-orang Nenti malah jijik sama aku." ucap Dinda sembari melihat ponselnya. "Ah ojol ku udah sampai. Aku berangkat dulu, Mak. Dinda lalu membungkuk di depan Kia. Mencium sekilas kening putrinya yang tertutup poni. Lalu berpesan agar Kia jadi anak pintar dan menurut pada pengasuhnya. Setelah menyambar tas, menyampirkan di bahu rampingnya, memakai sepatunya dengan kecepatan kilat, Dinda segera menemui ojolnya. Kontrakan Kia yang berada di perkampungan membuat ia harus memakai jasa tukang ojol untuk mencapai jalan raya. Di jalan raya, ia nanti naik bus menuju kantornya. Penampilan Dinda yang berubah sejak masuk ke perusahaan besar itu lumayan berpengaruh. Apalagi di kantor barunya juga banyak wanita cantik, ia jadi tidak terlalu mencolok, dan para pria akhirnya tidak terlalu memperhatikan dirinya, hanya ada beberapa pria yang memperhatikan dirinya itu pun dilakukan dari jauh jadi tidak terlalu berpengaruh pada dirinya. Tidak hanya itu. Dinda bahkan merasa beruntung sejak pindah ke kantor pusat, selain pria yang tak lagi mengerumuninya Dinda bahkan sudah mendapatkan dua teman wanita yang baik dan cantik, tidak seperti di perusahaan sebelumnya, ia kesulitan dapat teman perempuan, karena para lelaki selalu mengerumuninya, mereka berebut duduk di samping nya. Di atas ojol Dinda berdoa, semoga pekerjaan barunya ini benar-benar cocok dengannya, ia harus betah dan bertahan di sana untuk Kia. Jalan Kia masih panjang, bahkan pendidikannya baru saja dimulai. Itu artinya dia harus kerja keras untuk menghidupi putri semata wayangnya tanpa mengandalkan ayah Kia yang entah ada di mana. Bersambung….

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook