Wanita yang Licin

1063 Words
'Memperkosa?!' Gianna mendengar pembicaraan dua preman yang tadi menculiknya di tengah jalan menuju apartemennya sontak menjadi ketar-ketir. Dia menerka-nerka siapa big boss yang dimaksud oleh mereka. Kecurigaannya tertuju pada tamu night club yang memaksa untuk dilayani di luar pekerjaan Gianna sebagai seorang penari erotis itu. Pikirannya melayang pada sepasang mata biru cemerlang bak batu safir dan tulang wajah tegas yang menyorotkan aura dominan itu. 'Tidak. Ini tak bisa dibiarkan! Aku harus kabur dari mobil penculik secepatnya. Aduh ... bagaimana ini?' teriak Gianna dalam hatinya. "Tom, ckk ... bensin mobil menipis. Sial betul, orang yang memakai kendaraan kantor ini, pemalas sekali. Kenapa tidak diisi?!" gerutu Karl kepada rekannya. Pasalnya, mereka sedang terburu-buru. Namun, tidak lucu juga kalau belum sampai tujuan malahan harus mendorong mobil kehabisan bahan bakar. "Hey, lihat itu ada pom bensin, Karl. Kita mampir dulu di sana sebentar, kebetulan aku juga sesak kencing!" Tom melirik ke jok tengah mobil mini van dan berkata lagi, "wanita itu masih pingsan, amanlah!" Mobil penculik itu membelok ke pom bensin sepi di sisi kiri jalan. Ada fasilitas toilet dan mini market untuk pengunjung juga. Sebelum turun, Karl pun berpesan, "Kau mau ke toilet 'kan, Tom. Aku nitip rokok dan kopi kaleng ya. Nanti kuganti uangnya!" "Oke, sampai nanti, Karl!" tukas Tom seraya menjauh dari mobil. Gianna yang sejak tadi pura-pura pingsan segera mencari celah untuk kabur. Dia enggan menjadi korban pemerkosaan pria tak dikenal. Cita-citanya menjadi wanita karir yang sukses masih bergelora di d**a. Ternyata pintu di sisi tengah mini van bisa dia buka secara manual, kedua penculiknya berpikir dia memang benar-benar tak sadarkan diri sehingga tangannya pun tak diikat. t***l sekali! Gadis itu menyelinap pelan-pelan dari sisi lain lubang pengisian tangki bahan bakar di mana Karl sedang memegangi alat selang bensin. Dia menutup hati-hati pintu mobil meskipun jadinya tidak rapat sekali. Segera langkah kakinya berlari meninggalkan pom bensin menuju ke jalan raya. Hari telah lewat tengah malam, tak ada orang normal berkeliaran di jalanan terutama yang sepi begini. Gianna mengenal daerah itu karena dia sejak remaja tinggal di sana. Ada tempat karaoke dan bar yang buka 24 jam nonstop. Dia memilih masuk ke sana untuk memesan satu ruangan karaoke pribadi. "Hello, Bro. Aku butuh satu ruang karaoke!" ucap Gianna seperti lazimnya orang-orang muda yang senang menghabiskan waktu di luar rumah di malam hari. "Oke. Kamar nomor tujuh bisa kau pakai, bayar di muka. Berapa jam mau kau sewa, Nona? Lima dolar per jam. Ngomong-ngomong ... apa kau sendirian saja?" jawab petugas penjaga karaoke dan bar itu sambil menatap Gianna penuh penilaian. "Aku ingin menghibur diri, pacarku selingkuh. Kusewa tujuh jam sampai pagi saja, Bro. Tentu saja sendiri, hatiku sangat kacau dan tak ingin bicara dengan siapa pun saat ini. Menyanyi saja pasti lebih menyenangkan!" Gianna berpura-pura sedih seraya membuka dompetnya, ada uang gaji setelah dia menari di night club pamannya. Empat lembar pecahan sepuluh dolar berpindah tangan, dia berkata sisa pembayarannya untuk air mineral botol saja. Dia pun minta air mineral itu diantar ke karaoke room nomor tujuh. Berkebalikan dengan Gianna yang lega telah berhasil melarikan diri, kedua anak buah Leonardo Caprini dilanda rasa cemas dan depresi. "Sialan! Dasar jalang kecil, berani dia kabur dari kita!" teriak Tom memaki-maki sambil berkacak pinggang di tepi jalan raya dengan napas terengah-engah sehabis berlari mencari-cari Gianna. "Huhh! Mampuslah kita ... big boss pasti ngamuk besar karena wanita sialan itu kabur. Gimana ini, Tom?" ujar Karl menyisir kasar rambut gondrongnya yang basah oleh keringat. Tom duduk di trotoar berusaha memikirkan jalan keluar untuk mereka berdua yang terancam antara babak belur atau mati konyol di tangan Leo. Dering telepon di ponsel Karl mengejutkan mereka berdua sehingga kata-kata kotor meluncur lancar dari mulut Tom dan Karl. "Angkat teleponnya cepat, itu dari Bos Leo!" tukas Tom. Dia beruntung karena Karl yang harus menjawab panggilan mengerikan itu. Tangan Karl mendadak tremor ganas, dia memencet tombol jawab telepon lalu berkata, "H—haloo, Bos!" "Halo, Karl. Ke mana saja kalian? Sudah berjam-jam aku menunggu sampai habis satu botol wine masih tak nampak batang hidung kalian membawa gadis penari erotis itu ke sini!" Suara berat sang mafia bengis berdentum terdengar dari ponsel Karl yang dipasangi fitur pengeras volume. Karl bertukar pandang meminta tolong ke Tom, sedangkan rekannya itu menyuruhnya bicara jujur saja. "Ehm ... maaf—gadis itu kabur saat kami mengisi bensin, Bos Leo!" "Fûck! Apa yang kalian lakukan, hahh?! Sudah bosan hidup rupanya! Cari dia sampai ketemu atau jasad kalian akan mengapung di Sungai Hudson besok pagi!" teriak kalap Leo di telepon. Botol wine yang telah kosong di meja sofa dia raih lalu dilempar ke dinding sampai pecah berkeping-keping. "Hmphh ... sialan! Wanita itu licin sekali. Bagaimana dua anak buahku yang segede king kong bisa dikibuli hingga dia kabur? Gianna Malvis, jangan harap kau akan membuatku kecewa terus menerus. Aku harus mendapatkanmu dengan cara apa pun!!" geram Leo dengan tatapan bengis. Karena sudah kepalang tanggung dan butuh pelampiasan maka Leonardo Caprini memesan dua Lady Companion untuk membuatnya puas. Kegagalannya malam ini mendapatkan Gianna bukan berarti memupuskan niat Leo untuk memiliki wanita itu. Karl dan Tom yang takut nyawa mereka melayang segera berinisiatif menyelidiki tempat tinggal Gianna. Mereka berniat menunggu sampai gadis itu muncul lalu meringkusnya lagi. Baltimore Avenue nomor 230 adalah alamat apartemen untuk kalangan menengah dengan sewa murah. Kedua anak buah Leonardo Caprini duduk di coffee shop seberang bangunan pencakar langit 25 lantai tersebut. Sekitar pukul 07.30 waktu New York, gadis incaran mereka muncul dengan langkah gontai di trotoar menuju ke bangunan apartemennya. "Lihat, Karl. Itu Gianna Malvis. Ayo kita ringkus sekarang!" seru Tom penuh semangat lalu bangkit bersama rekannya dari kursi cafe. Gianna yang melihat dua preman yang semalam ingin menculiknya segera berlari-lari ke pintu masuk apartemen. Dia dikejar hingga lobi dan nyaris tertangkap oleh mereka bila pintu lift tidak menutup tepat waktu. "ARRGH!" erang Karl kesal. Mereka kehilangan Gianna sekali lagi di depan mata. Sementara itu di dalam lift Gianna sibuk memencet-mencet tombol lantai lain untuk mengaburkan jejaknya dari kedua preman yang mengejarnya. "Mereka tak boleh tahu aku tinggal di lantai mana!" ucapnya panik dan gemetaran hingga kakinya lemas. "TING." Pintu lift terbuka di lantai lima lalu menutup lagi, Gianna tidak keluar dan meneruskan perjalanan ke lantai delapan. Dia turun di sana karena sebenarnya kamarnya ada di lantai sembilan yang sengaja tidak dia pencet tombolnya. Sembari berderap menapaki anak tangga darurat Gianna berucap, "Situasinya semakin kacau saja. Siapa sih pria yang semalam menggangguku di club? Nampaknya dia bukan pria biasa!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD