"Tuan-tuan tolong tinggalkan gedung apartemen ini karena kalian berdua bukan penghuni salah satu unit di sini, bukan?" tegur petugas sekuriti berseragam resmi itu kepada Tom dan Karl. Kedua anak buah Leonardo Caprini tersebut digelandang ke pintu luar.
Tepat saat mereka berada di depan gedung hunian tempat tinggal Gianna Malvis, handphone di saku Tom berbunyi nyaring. Pria itu menghela napas lalu mengangkat panggilan dari big boss mereka. "Halo, Master Leo!" sapanya ramah.
"Halo, Tom. Bagaimana tugas yang kuberikan semalam?" tanya Leonardo tanpa basa basi.
"M—maaf, Bos. Kami memang mengejarnya sampai ke apartemen gadis penari itu, tapi dia meloloskan diri di lift. Petugas sekuriti gedung baru saja melempar kami keluar!" jawab Tom jujur karena Leonarno benci kebohongan.
"Kalian berdua kembali ke markas, kirim saja share location tempat tinggal Gianna. Aku sendiri yang akan membereskan kekacauan ini!" perintah Leo sebelum memutus panggilan telepon.
Sebuah koordinat gedung diterima beberapa detik kemudian di layar ponsel Leonardo. Dia pun menyeringai licik. "Gadis kecil, kau tak mungkin selamanya menghindariku. Kita lihat saja nanti!" gumam Leo penuh percaya diri.
Hari-hari Gianna dilanda kecemasan setiap kali dia harus beraktivitas di luar apartemen tempat tinggalnya. Sudah seminggu semenjak percobaan penculikan sepulang dari night club milik sang paman, dia mengambil cuti bekerja paruh waktu sebagai penari erotis di sana.
Sore ini karena perutnya lapar, Gianna memakai penyamaran seperti biasa; topi bucket hitam, masker medis, dan kaca mata Rayband. Rambut panjangnya diikat sehingga dia sekilas terlihat seperti anak laki-laki.
"Aku harus ke supermarket untuk membeli bahan kebutuhan dapur selama seminggu ke depan. Rekening tabunganku menyusut cepat gara-gara menggunakan layanan food delivery terus belakangan ini!" keluh Gianna sambil berjalan cepat menyusuri trotoar dari apartemennya menuju ke supermarket yang berjarak 350 meter saja.
Tatapan matanya menyapu ke segala arah, dia masih waspada bilamana ada penguntit yang akan menculiknya lagi. Sesampainya di supermarket, Gianna segera menyusuri lorong antar rak dan memasukkan barang yang dia butuhkan ke keranjang belanja.
Dalam perjalanan pulang, Gianna yang berjalan kaki tak menduga kekuatirannya menjadi kenyataan. Sebuah mobil Land Rover hitam mendadak menepi ke trotoar di depannya lalu beberapa pria bersetelan serba hitam seperti dalam film-film mafia bergegas turun menyergapnya.
"Hey ... apa mau kalian?! Tidak, lepaskan atau aku teriak!" ucap Gianna dengan keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Lakban ditarik lalu ditempel ke mulut gadis itu dan kedua tangannya diikat dengan tali. Kejadian penyergapan Gianna berlangsung sangat cepat di trotoar yang sepi. Tak ada saksi mata langsung yang memergoki mereka di sekitar tempat itu.
Semua pria penculiknya tak ada yang bicara sepatah kata pun. Mereka bagaikan robot hidup yang menjalankan tugas atasan. Kecepatan mobil Land Rover hitam itu melaju kencang di jalan raya hingga nyaris terbang di atas permukaan aspal.
Kesunyian di dalam mobil menambah ketegangan Gianna, matanya melebar dicekam rasa panik. Kemungkinan besar dia akan diperkosa bos pria-pria misterius itu seperti pembicaraan dua penculik sebelumnya.
Mobil memasuki parkiran basement sebuah gedung pencakar langit. Gianna tak sempat melihat di mana lokasi dia dibawa karena terlalu cepat. Begitu mobil berhenti dan dimatikan mesinnya, dia diseret turun oleh dua pria dan dikawal dua pria lainnya memasuki lift beraroma wangi khas gedung hunian golongan kelas atas.
'Sialan, siapa pun yang menculikku, dia seharusnya bisa membeli wanita pendamping yang memang dibayar. Kenapa harus aku?!' protes Gianna dalam hatinya. Air mata spontan menetes membasahi pipi mulusnya.
Mereka turun di lantai paling atas yaitu tiga puluh. Jantung Gianna bertalu-talu menantikan apa yang akan dia alami selanjutnya. Dia diseret lagi oleh dua pria berbadan seperti gorila itu ke depan sebuah pintu griya tawang mewah.
"TING TONG."
Tak perlu menunggu lama, pintu di hadapan Gianna terayun membuka ke arah dalam. Sesosok pria bermata biru dengan tulang wajah sempurna itu menyambut kedatangannya. Tiga kancing kemeja hitam pria tersebut terbuka, memperlihatkan bulu gelap yang subur menyemak. Penampilannya begitu jantan sekaligus dominan.
"Ohh ... rupanya kali ini kalian berhasil membawa Nona Gianna Malvis kepadaku. Kerja bagus! Bonus menanti kalian. Tinggalkan dia berdua saja bersamaku dan jaga pintu ini dengan ketat!" ujar Leonardo disertai kilatan mata berbahaya.
"Baik, Boss!" sahut anak buahnya singkat lalu menutup pintu.
Leonardo mengunci pintu dengan kode pin acak di mesin. Kemudian dia meraup tubuh ramping Gianna yang berdiri mematung di hadapannya ke gendongan ala bridal style. Senyuman puas terukir di bibir tebalnya.
"Baby, kau sulit sekali didapatkan. Kenapa di saat begitu banyak wanita berlomba-lomba melemparkan diri ke pelukanku, tetapi kau justru kabur terus?" tanya Leo sembari menurunkan Gianna dengan lembut ke atas tempat tidurnya.
Lak ban di mulut Gianna dilepas oleh Leo, dia ingin berbicara dari hati ke hati dengan tawanan cantiknya. Pandangan mata mereka bertemu dalam keheningan.
Sesaat kemudian Gianna menjawab, "Karena aku bukan perempuan murahan. Aku tidak dijual dengan harga berapa pun, Tuan. Anda salah orang!"
Tawa renyah meledak bergema di ruang penthouse mewah beraroma woody musk sore itu. "HAHAHA. Jawaban yang hebat, Gia. Aku juga sudah mendengarnya dari pamanmu, Roberto Malvis. Namun, aku bukan ingin membelimu saja. Aku mau kau jadi milikku selamanya!" balas Leo sungguh-sungguh. Dia sudah tergila-gila selama seminggu ini terhadap penari erotis yang harga dirinya setinggi langit itu.
Kedua lengan Gianna tertahan di atas kepalanya oleh tangan kiri pria bermata biru itu. Dia terkesiap dan mulai meronta-ronta saat telapak tangan kanan Leo bergerilya di balik kaos tshirt longgarnya.
"Tidaak ... jangan sentuh aku, Tuan! Kumohon lepaskan aku—aku tak mau melayanimu!" teriak Gianna nyaring sambil terisak-isak.
Sayangnya, dia berada di sarang mafia bengis itu. Teriakan sekeras apa pun hanya dianggap angin lalu. Leonardo mulai mengecupi leher jenjang beraroma citrus nan segar milik Gianna sambil tangan kanannya bebas melucuti celana kain katun gadis itu.
"Ohh ... mulus sekali kulitmu, Gia. Aku tak sabar menikmati rasa terbenam di dalam sana!" ucap Leonardo penuh gairah.
Kain segitiga tipis berenda warna merah muda itu ikut disingkirkan oleh Leo sehingga bagian pribadi Gianna terpampang nyata di depan mata pria mafia itu.
"Hmm ... aku tak akan berhenti sampai pagi tiba. Kau akan kupastikan merasakan betapa perkasanya aku!" Tatapan mata biru itu terbakar nafsu yang memuncak hingga ke ubun-ubun.
"Please, lepaskan aku, Tuan. Aku akan menjadi pelayanmu, tapi kumohon jangan lakukan ini!" Gianna menangis meminta dilepaskan dan melawan sekuat tenaganya. Namun, segalanya percuma. Leonardo Caprini sudah dikuasai oleh gairah terlarang yang tak terbendung lagi.