Nayla yang baru saja masuk ke dalam ruang acara, langsung buru-buru duduk di kursinya. Nayla menutup wajahnya yang pucat dengan kedua tangan sambil menyenderkan tubuhnya di kursi. D*da Nayla terasa seperti dihimpit berton - ton beban. Napasnya tercekik, seolah udara di ruangan itu berubah menjadi debu halus yang menyumbat kerongkongannya.
Demi tuhan saat tiba–tiba Yiven muncul begitu saja di hadapannya, dan matanya bertemu pandang dengan lelaki itu, hampir saja ia tak bisa bernapas!
Di hadapannya. Saat sepasang mata cokelat itu menatapnya dengan hangat. Saat bibirnya tersenyum kecil sambil berbicara dengannya, membuat Nayla hampir gila. Astaga. Sepertinya ia tidak bisa lagi terus bertemu dengan Yiven seperti ini. Enam tahun ia habiskan untuk membangun benteng. Hanya dalam hitungan detik, Yiven berhasil meruntuhkan gerbang pertamanya.
“Nayla, coba lihat deh.”
Nayla memutar kepalanya ke arah Vina, “Apaan, Vin?”
“Ini.”
Nayla menatap layar ponsel yang disodorkan Vina. Matanya seketika membelalak. Disitu, di layar itu, terlihat Yiven yang sedang tersenyum menatap wanita cantik yang duduk di hadapannya.
“Tadi aku ke toilet, terus waktu aku lewat ruang ketiga dari ujung koridor, aku lihat cowok, ganteng banget! Sampai kukira artis. Cuma waktu lihat dia berdua sama cewek secantik itu, aku nyerah deh buat minta nomornya.”
Vina mengomel sambil mengerucutkan bibirnya. Tidak perhatian pada wajah Nayla yang semakin pucat dan hampir menangis.
“Ganteng banget, kan?! Walaupun takut aku tahu salah, tetap aku foto deh wajahnya. Semoga aja masuk mimpiku nanti malam.” Vina tersenyum malu-malu di kursinya sambil mengintip layar ponselnya yang berada di tangan Nayla.
Saat tidak didengarnya tanggapan apa pun dari Nayla, Vina menoleh dan menatap Nayla yang terdiam di tempatnya duduk.
Vina tertegun. Dia belum pernah melihat ekspresi Nayla seterbuka ini, karena biasanya Nayla jarang berekspresi. Barusan, Vina bisa melihat segalanya di sana. Di pupil mata hitam Nayla. Kobar dari kemarahan, kesakitan, kelamnya kesedihan, dan pekatnya keputusasaan. Hanya sesaat. Dengan cepat Nayla menutup kembali semuanya. Wajahnya kembali normal seperti Nayla yang ia kenal.
“Nay, kamu gapapa?” tanyanya pelan sambil mengusap tangan Nayla yang meremas ponselnya sampai buku-buku jarinya memutih. Matanya memandang Nayla heran. Apa Nayla mengenal lelaki ini?
Hanya beberapa detik terdiam, kemudian Nayla menoleh sambil tersenyum tipis.
“Ngga papa. Eh, ngomong-ngomong udah malam, nih. Kayaknya aku harus pulang. Tolong kamu sampaikan ke Pak Aros, ya. Kelihatannya kalau aku ijin sekarang, dia nggak akan ngebolehin.”
“Iya, santai. Nanti kalau dia cariin aku kasih alasan. Lagipula kelihatannya dia udah mabuk. Nggak bakal sadar.”
Nayla tersenyum manis sambil mengembalikan ponsel Vina.
“Sip. Makasi ya.” Nayla hendak bangkit sambil merapikan tas jinjingnya.
“Nggak bareng aku aja Nay?” Vina tiba-tiba menawarkan dengan nada khawatir melihat wajah pucat Nayla.
“Nggak papa kok. Belum terlalu malam. Di depan pasti banyak taksi. Udah dulu ya…” Nayla mengusap bahu temannya pelan, lalu bangkit pelan-pelan ke satu-satunya pintu keluar diruangan itu.
Tak pelak Vina cemas sambil mengawasi Pak Aros yang sedang bergumam sendiri sembari menenggak wine di gelasnya. Ketika akhirnya Nayla menghilang di balik pintu, Vina menggigit bibirnya.
Apa aku melakukan kesalahan ya? Pikirnya.
Yang tidak Vina ketahui, Nayla keluar dari restoran itu sambil terus berjalan tak tentu arah di sepanjang trotoar. Ketika kakinya yang memakai hak tinggi mulai terasa perih akibat luka goresan sepatu, Nayla akhirnya menghentikan langkahnya dan mendongak menatap langit malam di atasnya.
“Benar. Sudah enam tahun berlalu. Dia pasti sudah melupakanku. Memang sejak awal aku bukan siapa-siapa untuknya.”
Nayla merasa ada kubangan hitam di dalam d*da dan kepalanya, saat mengingat Yiven yang sedang tersenyum dengan wanita lain di foto tadi. Nayla menelan ludah dengan susah payah karena terasa sangat menyakitkan.
Nayla sudah tahu hari ini akan datang. Enam tahun sudah berlalu. Dia yang memilih pergi meninggalkan Yiven yang telah menyakitinya. Tentu saja harusnya ia sudah rela dan tak peduli jika ternyata Yiven sudah melupakannya dan bahagia bersama perempuan lain. Malah ia sangat berharap Yiven melupakannya dan pergi selama-lamanya dari hidupnya.
Tetapi…
Melihat senyum yang ia gilai dulu, saat ini Yiven tunjukan pada wanita lain, ternyata masih membuat hatinya sakit. Rasa sakit di hatinya mengalahkan semua pertahanan yang sudah susah payah dibangunnya.
Tak lagi sadar, air mata Nayla langsung menetes. Padahal Nayla sama sekali tidak bermaksud menangis, tetapi air mata itu keluar dengan sendirinya.
Otak Nayla memang telah memerintahkannya untuk melupakan bahkan membenci Yiven, tapi ternyata hatinya tidak bisa. Nayla sekarang tahu kalau air mata dan kesedihan tak ada hubungannya dengan otak.
Sekuat apa pun Nayla berusaha menahannya, air matanya tetap jatuh.
........................