“Yiven, kamu dengar mama?”
Ratna Susila berulang kali menyentuh dahi, garis-garis kecemasan dan ketidaksabaran terukir jelas di sana. Panggilan ini adalah upaya kesekiannya. Seharian ini, ia merasa seperti sedang berteriak ke dalam sumur hampa, hanya mendengar nada sambung yang patah. Ketika sambungan itu akhirnya menyala, keheningan dari seberang terasa lebih memekakkan telinga, daripada dering yang mati.
“Yiven?!!”
“Mm… Kenapa ma?”
Ratna menghembuskan napas lega saat kemudian suara anaknya terdengar. Suaranya terdengar lelah, dingin, dan jauh—seolah datang dari dimensi lain. Sebulan ini memang cukup melelahkan untuk putranya yang baru kembali bekerja di tanah air. Tapi Ratna tidak bisa menyerah untuk satu misi pribadinya: memastikan Yiven hidup normal. Putranya kini telah mencapai usia matang tiga puluh satu tahun, namun ia menjalani hidup seperti seorang biksu di tengah gemerlapnya ibu kota.
Enam tahun di luar negeri seharusnya melunturkan kekakuan budayanya. Namun Yiven justru kembali dengan membangun tembok es yang tak tertembus di sekeliling hatinya. Padahal, Ratna sudah menyiapkan jalanan karpet merah, mengenalkannya pada putri-putri kolega yang berparas menawan, berpendidikan tinggi, dan memiliki silsilah mumpuni. Anehnya, Yiven tidak pernah menolak ajakan kencan buta itu, namun penolakannya selalu datang dalam kesopanan yang mematikan, menampik setiap peluang dengan kelembutan yang dingin.
Ratna menghela napas yang terasa berat dan berpasir. Kalau bukan karena Yiven sempat memiliki beberapa pacar di masa lalu saat sekolah di Indonesia, Ratna pasti sudah merasa Yiven adalah seorang gay. Atau… jangan-jangan, kini Yiven sudah berubah menyukai laki-laki? Ratna bergidik ngeri membayangkan hal itu. Kemungkinan itu menamparnya.
“Yiven. Tolong kosongkan jadwal kamu Senin depan, ya? Mama atur pertemuan untuk kamu bertemu dengan anak teman mama. Dia cantik, anggun, dan cerdas sekali. Lulusan Botani Harvard, lho! Cocok sekali untuk mendampingimu!”
Saking antusiasnya, Ratna sampai seolah sedang menjual putrinya sendiri dengan memaparkan segala keunggulannya.
Setelah menunggu hampir satu menit penuh tanpa ada tanggapan, Ratna mengetuk-ngetuk layar ponselnya.
“Yiven, kamu dengar mama ga sih?”
“Mama masih ingat Maria?” tanya Yiven tiba-tiba. Pertanyaan itu, sederhana dan lirih, menerobos keheningan seperti panah es yang menembus perisai baja.
Maria!
Nama itu! Hanya dua suku kata, namun efeknya bagaikan ledakan di pusat sanubari Ratna. Jantungnya, yang sedetik lalu berdetak normal, kini mendadak tersentak, seperti mesin yang berhenti tiba-tiba. Udara di sekitarnya seakan membeku menjadi kristal es, mencekik paru-parunya hingga ia kesulitan mengambil napas. Nama itu adalah jangkar yang ditarik paksa dari dasar laut masa lalu, menyeret serta lumpur rasa bersalah yang tak terhindarkan. Ratna berjuang mencari kembali kendali atas dirinya, sebuah topeng ketenangan yang selama ini ia pakai.
“Maria siapa?” Ratna berhasil memaksakan suaranya keluar. Kata-katanya terdengar tajam dan rapuh, seperti kaca tipis yang siap pecah.
Sesaat hening yang menyakitkan, lalu, “Mm… Pacar aku dulu, ma… Saat kuliah.”
“Ooh.” Ratna menggigit bibirnya sampai terasa sakit, kemudian berusaha berbicara dengan nada setegas mungkin, mencoba mengubur nama itu lagi. “Dia sudah berpulang ke Tuhan, Yiven… Sebaiknya kita tidak perlu ungkit-ungkit lagi. Biarkan masa lalu beristirahat dengan tenang.”
Tidak ada jawaban. Sunyi itu kembali menyelimuti.
“Yiven, sudah dulu ya. Sepertinya papa mu memanggil mama.” Ratna berbohong, suaranya terburu-buru, ingin segera mengakhiri interogasi tak terucapkan ini. “Jangan lupa ya, Senin minggu depan! Kalau ada waktu mampir ke rumah, sayang. Mama akan masak makanan kesukaan kamu. Sudah dulu ya…” Ratna segera menutup sambungan telepon mereka secara sepihak, sebelum kehilangan ketenangannya dan meruntuhkan benteng pertahanannya.
Ratna menjatuhkan diri di sofa beludru kamarnya, seolah seluruh energi tersedot habis oleh dua suku kata yang mematikan itu. Setelah merenung beberapa saat, ia melangkah gontai menuju balkon, mencari pelarian dari sesak ruang itu. Ia mengangkat wajah, menatap bulan yang bersinar dingin. Ia berharap cahaya bulan itu mampu membasuh dan membersihkan jiwanya dari noda kesalahan.
Maria Christie…
Enam tahun. Enam tahun adalah rentang waktu yang cukup untuk mengubur sebuah nama, namun tidak cukup untuk mengikis bayangan dan rasa bersalah. Mati-matian Ratna berharap alasan Yiven yang menampik segala jenis wanita yang ia tawarkan kepadanya, bukan karena Maria. Namun sepertinya, kemungkinan yang paling ia pungkiri untuk terjadi, memang menjadi alasan utama Yiven terus sendiri. Ratna menghela napas penuh rasa bersalah. Ia memejamkan mata, membiarkan gelombang penyesalan memukul d*danya. Karena biar bagaimana pun, Ratna tahu, andilnya dalam memisahkan dua insan itu adalah satu-satunya alasan di balik kesendirian Yiven.
................................