bc

To L (Romantic Doctor's)

book_age18+
712
FOLLOW
3.7K
READ
billionaire
dark
love-triangle
CEO
doctor
sweet
mxb
ambitious
office/work place
first love
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana jadinya jika lelaki yang pernah ia sukai semasa SMA datang kembali ke kehidupannya?

Mikalea tak pernah berpikir bahkan membayangkan bahwa Ridho, lelaki dari masa lalunya akan datang dan berusaha mendapatkannya. Apalagi setelah kejadian malam itu di Apartemen Mika. Ridho semakin sering menemuinya di Rumah sakit bahkan saat wanita itu sedang melakukan operasi bersama Reza. Ridho masih senantiasa menunggunya.

Lantas bagaimana jadinya kisah mereka bertiga? Jangan lupa tekan love dan kasih komen yaa

Terima kasih :*

chap-preview
Free preview
1. She's Doctor
'Kamu datang dengan hati-hati membawa hati, lalu pergi dengan hati-hati membawa hati. Apa kamu benar lelaki sejati?' - Mikalea Alibra. Surabaya, 9 Januari 2020. *M i k a l e a* Langkah kaki yang terlihat lelah itu melewati pintu kaca buram, seorang wanita melepas masker berwarna soft blue yang serupa dengan baju serta celana yang dikenakan. Tanpa melepas penutup kepala, wanita itu terpaku sejenak menatap seorang gadis kecil yang meringkuk di pelukan ayahnya sambil menangis di kursi tunggu. Menunggu sesuatu yang tak bisa dipastikan, tetapi penuh dengan pengharapan dengan hasil sesuai harapan. Wajah wanita itu turut sendu, seolah melihat dirinya di masa lalu. Setelah menghela napas pendek, kini ia berjalan mendekat sambil menyuguhkan senyum ramah. Melihat kehadirannya, lelaki paruh baya berwajah kuyu tersebut segera berdiri dan melontarkan pertanyaan padanya. "Bagaimana keadaan istri saya? Dia, baik-baik saja, 'kan?" Wajah penuh kecemasan itu menatapnya penuh harap. Seolah apa yang barusan dilontarkan bukan sebuah kalimat pertanyaan, melainkan suatu pernyataan yang ia harap menjadi kenyataan. Wanita itu tersenyum manis disusul dengan anggukan kecil kepalanya. "Operasinya sukses. Istri anda akan dipindahkan ke Ruang rawat jika sudah siuman nanti," jawab wanita itu hangat. Lelaki paruh baya itu sontak memegang tangannya sambil membungkuk penuh haru dan berulang kali mengucapkan kalimat terima kasih. Buru-buru ia menahan pundak lelaki tersebut sambil menggeleng. "Terimakasih, Dokter. Terima kasih!" "Ini memang sudah kewajiban kami, jadi anda tidak perlu bersikap seperti ini," ucapnya, "saya permisi." Setelah sempat mengusap puncak kepala gadis kecil yang bediri di sebelah ayahnya. Ia menyunggingkan senyum dan berpamitan. Meninggalkan si wali pasien kecelakaan motor di ruang tunggu. Wanita yang masih mengenakan baju operasi itu melewati koridor rumah sakit yang sepi untuk menuju ruang ganti. Malam ini sampai satu minggu ke depan ia yang harus bertugas untuk jaga malam sebagai dokter spesialis syaraf. Mengingat hal itu, wanita tersebut mendongakkan kepala melakukan peregangan ringan sambil memijat tengkuk yang terasa berat. "Benar juga, aku harus tidur sebentar." gumamnya dengan nada lelah. Setelah sekitar lima menit duduk di depan loker ruang ganti, ia mendongak untuk meregangkan leher yang kaku. Matanya terpejam, sebelah tangan memijit lehernya sendiri. Lagi. Matanya ingin sekali terlelap karena kantuk. Sedangkan hari ini adalah giliran jaga malam untuknya. Ia menghela napas pendek karena merindukan kasur yang jarang dijamaah. Namun, sedetik kemudian wanita mengingat satu hal yang kemudian membuatnya tersenyum manis  dan segera menegakkan tubuh. Ia masih mengenakan setelan operasi, lantas menutupnya dengan mengenakan jubah putih sepanjang lutut. Di saku d**a bagian kiri tertulis nama dan jabatannya. Dr. Mikalea Alibra. Sejak tadi pagi, ia sudah melakukan empat kali operasi. Dan yang terakhir adalah operasi paling berkesan untuknya. Senyum itu mendadak hilang digantikan suara keroncongan yang berasal dari perut. Secara alami Mika menyentuh perutnya kemudian meringis. Ingat bahwa sejak pagi tadi, perutnya hanya terisi dengan dua potong sandwich dan satu gelas milk tea. sudah bukan hal yang tabu bahwa Mika kerap kali meninggalkan waktu makan untuk menangani pasien yang membutuhkan. "Oke, enaknya makan apa hari ini!" sejak beranjak meninggalkan ruang ganti wanita itu sudah memikirkan menu yang malam ini ingin ia santap untuk mengisi perut. Jika biasanya Mika memilih makanan katin yang sangat ekonomis dan lebih cepat, malam ini sepertinya wania bermata hazel tersebut menginginkan sesuatu yang lain. Ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Hanya ada beberapa perawat yang melintas untuk melakukan pemeriksaan pada pasien yang harus tinggal di Rumah sakit untuk sementara waktu. Mika membetulkan tatanan rambut cokelat sepundaknya. Sesekali ia membalas senyum para dokter koas yang menyapanya. Belum sampai kakinya berhenti di tempat yang dituju, ia merasakan sentuhan di pundak. "Apa?" sentak gadis itu terkejut. "Itu ... Dok, pasien di kamar 212 mengalami kejang." salah seorang perawat memberitahu Mika bahwa ada pasien yang mengalami shock. Mika yang tadinya sibuk mengisi tabel kesehatan pasien di meja resepsionis, segera berbalik arah dan menuju ke ruangan yang disebutkan. "Kenapa bisa begini?" tanya Mika tenang saat sampai di depan pintu. Di sana sudah ada dua orang yang ia kenal di sebelah ranjang. Perawat Yura dan Yoga, salah satu koas di tahun pertama. Buru-buru ia mendekat, memeriksa apa yang salah dengan pasien dan segera melakukan penanganan. "Siapa Dokter yang bertanggung jawab?" tangannya dengan lihai mengambil sebuah suntikan dan mengisinya dengan obat pereda nyeri lalu menusukkan jarum suntik tersebut ke tangan pasien. Mika menghela napas pendek. Ia memasukkan sebelah tangannya ke saku jas putih tersebut, dan tangan yang lainnya sibuk mengatur TPM pasien wanita paruh baya tersebut. Sedangkan Yura dan Yoga yang berdiri di sana masih menatap Mika yang terlihat lelah. "Dokter Alia," jawab Yura menunduk. Ia merasa tidak enak dengan Mika karena sebenarnya pasien yang baru saja Mika tangani bukan tanggung jawabnya. Akan tetapi, berhubung sudah larut malam dan banyak staf rumah sakit yang sudah pulang. Jadi Mika, yang harus menangani pasien tersebut. "Dia ke mana?" "Sudah pulang setengah jam yang lalu, Dok." Kali ini Mika menghela napas pendek. Ia menatap secara bergantian pada dua orang yang berdiri di depannya. Kemudian tersenyum. "Kasih satu botol morphine per-enam jam sekali. Kalau membaik, kurangi jadi setengah botol. Sambil terus pantau status vitalnya, Oke?" ucap Mika menepuk bahu Yura. "Baik, Dok. Te-terimakasih." Mika menggeleng pelan sambil tersenyum. "Nggak perlu sungkan, memang sudah seperti ini harusnya." Ia berbalik untuk meninggalkan ruangan tersebut. Namun, lagi-lagi berhenti di depan pintu dan menoleh ke belakang. "Kerja bagus!" wanita itu mengangkat kedua ibu jarinya untuk dokter koas dan perawat yang masih menatapnya. Kemudian bergegas pergi setelah sempat saling lempar senyum. "Wah, dia emang selalu keren, 'kan?" ucap Yoga. Sedangkan perawat di sebelahnya mengangguk antusias untuk meng-iyakan. Sebab perawat Yura juga tahu, bahwa sejak awal melihat dokter Mika, Yoga sudah mengidolakan sosok wanita cantik tersebut. Mendadak Yoga menepuk jidatnya cukup keras, membuat Yura menoleh menatap cowok tersebut heran. "Kenapa?" tanya Yoga melihat mimik wajah Yura yang terlihat murung. "Sebenarnya malam ini Dokter Alia juga harus berjaga malam bersama Dokter Mika, aku merasa tidak nyaman karena harus membebankan pasien ini pada Dokter Mika." "Benar, juga. tapi, kamu juga tahu sendiri seperti apa Dokter Alia dengan tempramen buruknya," Yoga bergidik ngeri membayangkan hal itu. "Wah, aku bahkan sudah merinding hanya dengan membayangkannya." Keduanya lantas sama-sama mengangguk sambil mengamati pasien yang kini sudah kembali tenang. sebelum kemudian Yga menepuk jidatnya dengan cukup keras. "Aku lupa!" "Aih, kamu ini kenapa? Bikin kaget aja!." Tidak ada jawaban dari Yoga. Lelaki itu berlari sambil memegangi d**a yang dipenuhi pena juga sebuah tanda pengenal. Ia celingukan mencari keberadaan Mika yang baru saja keluar dari sana. Dan benar saja, wanita itu belum jauh dari ruangan tersebut. "Dokter Mika?" "Ya?" Wanita itu spontan menoleh. Ditatap Yoga dengan heran. Baru saja mereka bertemu, tapi Yoga kembali mengejarnya dengan napas memburu. Mika mendelik memikirkan pasien barusan. "Kenapa? Pasien— "Bukan, Dok." Dahinya berkerut sejenak bersipandang dengan Yoga, "Itu ..., tadi, Dokter dicari sama Profesor Reza," ujar Yoga. Bersamaan dengan Yoga yang menyelesaikan ucapannya, ponsel dalam saku jas Mika berdering panjang. Wanita itu buru-buru menariknya lalu tersenyum tipis. Ia menunjukkan nama yang tertera pada layar ponselnya pada Yoga. melihat nama yang terpampang di sana membuat Yoga tersenyum kikik sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Udah balik sana." Mika tersenyum menepuk bahu Yoga. Ia berbalik lebih dulu sebelum Yoga beranjak pergi. Dengan langkah santai melewati koridor Mika menempelkan benda pipih tersebut pada telinganya. "Kenapa?" "Di mana?" sahut suara dari sebrang. "Cari makan." "Kalau begitu, ayo makan malam denganku," suara Reza terdengar sangat bersemangat. Mika menghela napas pendek sambil mematikan panggilan secara sepihak. Ia masukkan kembali ponsel dalam saku jas, dan segera pergi untuk mengisi perut yang keroncongan. Setelah itu, mungkin Mika bisa tidur sebentar di ruangannya. Satu tahun yang lalu adalah masa terakhir magang Mika. Satu tahun belakangan ini pula ia sibuk menekuni pekerjaannya sebagai seorang dokter spesialis bedah syaraf. Selama enam bulan terakhir ini bahkan ia belum kembali berkunjung ke tempat ibunya. Namun, ia pun yakin ibunya pasti paham bahwa Mika sibuk menjalani mimpi yang sangat ibu harapkan. *M i k a l e a* Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Mika menjatuhkan diri di atas kursi ruang kerjanya dengan penat. Setiap hari ada saja kejadian menyedihkan yang dialami orang lain. Lalu ia menyadari bahwa setiap detik, setiap menit, setiap waktu ... selalu ada air mata dan jerit ketakutan. Gadis itu menguap lebar setelah melakukan pengecekan pada pasien yang baru saja ia operasi tadi pagi karena mengalami kejang ringan. Mika bahkan belum sempat mengisi perut yang kelaparan, tetapi sialnya ia sudah terlanjur lelah dan malas untuk pergi keluar mencari makan. Alhasil di sinilah gadis itu berada sekarang, di ruangannya sendiri memejamkan mata dengan tubuh bersandar pada kursi kerja. "Mikalea Alibra?" seru lelaki berkulit kuning langsat, yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya sambil melotot galak. "Aih, kamu ngagetin, aja." Mika tersentak kaget menoleh menatap si pemilik suara dengan pandangan acuh. Kembali ia meletakkan kepala di atas meja. "Kenapa nggak jawab panggilan dariku, sih?" "Aku sibuk," balas Mika singkat. Seruan keras dengan raut jenaka barusan itu telah memperjelas nama perempuan yang memakai jas putih kebesarannya. Sebuah name tag tergantung di saku kiri dilengkapi foto manisnya. Ia perempuan berusia dua puluh delapan tahun. Sedangkan lelaki yang berdiri di ambang pintu itu, Pradana Bintang Syahreza. Seorang Profesor ahli bedah syaraf berlisensi. "Dokter macam apa kamu? Pasien kejang-kejang malah ngilang." Reza kini menjatuhkan diri di kursi dan menatap puncak kepala Mika yang bahkan sangat menggambarkan bahwa gadis itu sedang sangat lelah. "Hmm ... nggak tahu. Kayaknya aku emang nggak bakat jadi Dokter," balas Mika pendek, ia menenggelamkan wajah di antara lipatan tangan. Reza yang duduk berseberangan dengan wanita itu tersenyum menampakkan jejeran gigi yang rapi. Tangannya terulur mengacak rambut cokelat tua milik Mika. "Astaga, kayaknya kamu beneran capek, ya?" "Seorang Dokter bukan cuma harus mengayomi pasien. Tapi, mereka juga harus mampu menjaga kesehatan dan mengatur waktu mereka sendiri." Mendengar itu Mika mengangkat kepalanya menatap Reza dengan pandangan protes. "IGD penuh malam ini. Semuanya kelabakan, ke mana aja kamu? Alia juga masih seenaknya sendiri, mentang-mentang udah jadi Dokter tetap, pulang gitu aja. Harusnya 'kan, dia piket sama aku." Reza tertawa melihat ekspresi lelah bercampur kesal dari Mika. Selalu seperti ini, ketika gadis itu merasa kesal, pribadi yang sangat jarang memulai pembicaraan itu akan mulai berbicara dengan cepat. Setara dengan seorang rapper. "Ada rapat pertemuan Dewan. Aku bisa disunat dua kali sama kakek kalau nggak hadir, " jelas Reza apa adanya. Ia mengusap kembali rambut cokelat Mika dengan hangat, "Maaf, ya." Klek ... Suara derit pelan dari pintu bercat broken white itu menyita perhatian kedua dokter di ruangan tersebut. Lelaki pendek yang rambutnya berwarna serupa dengan rambut Mika meringis lebar, di tangan kanannya sebuah sterofoam tergenggam erat. Mika ingat terakhir kali Yoga menawarkan s**u vanila ketika ia memasuki ruang operasi tadi. Melihat tatapan Yoga yang masih berdiri terpaku di ambang pintu, Mika menegakkan tubuh sambil menepis tangan Reza yang masih berada di puncak kepalanya. "Pesanan Dokter," ucapnya awkward. Mika mengangguk, seolah mendapatkan kode untuk masuk, lelaki pendek yang memiliki name tag bertuliskan Rulli Prayoga itu melangkah masuk ke dalam ruangan Mika. Akan tetapi, baru dua langkah melewati pintu, Reza yang duduk di kursi menahan langkahnya. Ia merebut minuman di tangan Yoga lalu dengan bahasa isyarat meminta Yoga segera pergi dari ruangan Mika. "Permisi, Prof," pamit Yoga patuh. "Thank's, Ga!" ucap Mika sebelum koas tahun pertama itu menghilang dari ruangannya. Sedetik setelah kepergian Yoga, suasana hening. Hanya sesekali terdengar suara Mika yang sibuk menyeruput minuman hangat untuk mengisi perut yang meronta kelaparan. Membiarkan Reza diam menatap aktifitasnya seperti biasa. "Kapan kita makan bareng?" celetuk Reza memecah keheningan di ruangan itu. "Nggak sekarang." Mika menjawab pendek tanpa membalas tatapan Reza. "Besok?" "Nggak." "Lusa?" "Nope." "Besok lusanya lagi?" kejar Reza. Mika membuang napas penat sambil menatap Reza kesal. "Belum!" "Kenapa, sulit banget nerima aku, sih? Aku serius sama kamu," Reza menjeda ucapannya sambil menatap wanita yang sibuk menikmati minuman hangat tersebut, "Atau kalau kamu nggak percaya, kita beli cincin tunangan sekarang juga?" tanya Reza serius. Mika memejamkan mata sejenak, kemudian meletakkan gelas sterofoam di atas meja. Ia memutar kursi yang ia duduki hingga sepenuhnya menghadap ke arah Reza. Reza pun melakukan hal yang sama. Bahkan lelaki itu memajukan posisi duduknya hingga mentok meja. Karena baginya jawaban untuk makan bersama Mika adalah hal paling sulit ia dapatkan. Sejak satu tahun yang lalu, ketika Reza pulang dari London untuk mengurus rumah sakit milik kakeknya, sejak saat itulah Reza mendeklarasikan bahwa ia jatuh pada Mika. Uniknya, Reza meminta Mika untuk bersedia makan bersamanya jika Mika telah benar-benar membalas perasaannya. Namun, sayang sampai detik ini, Mika tidak juga menyetujui makan bersama dengan lelaki cerdas itu. "Kenapa harus bahas ini, sih? Mending kamu kasih tau Alia supaya nggak seenaknya sendiri." Lelaki itu mengangguk pelan seraya tersenyum kecil, kemudian berkata, "Tentu saja aku akan memberinya peringatan. Tapi, jawab dulu, kapan kita akan makan bersama." Kini giliran Mika yang menghela napas panjang. wanita itu menyeruput minuman hangatnya sambil memalingkan pandangan dari Reza. "Kenapa kamu masih di sini, sih? Mending pulang." Mika bergerak dari kursi, ia kenakan lagi jubah dokter lalu memasukkan tangan ke dalam saku. Wanita itu berjalan keluar ruangannya meninggalkan Reza yang menghela napas dengan kekehan ringan. Ia tahu wanita ini pasti akan menghindarinya lagi. Buru-buru ia bergegas dan mengikuti jejak Mika. "Mau ke mana?" Reza menghentikan langkah Mika di koridor rumah sakit. "Cari makan." "Pulangnya aku yang antar, oke? Nggak boleh nolak!" "Aku piket hari ini, Za," ucap Mika menguap lebar. Reza menutup mulut Mika dengan tangannya. Sedetik kemudian Mika menepisnya pelan sambil kembali berjalan. "Oke, kalau gitu aku pulang duluan. Selamat begadang, Sayang!" Reza berucap sambil menempelkan jemari yang sudah lebih dulu ia kecup ke pipi Mika. Tentu saja hal itu membuat Mika ingin berteriak jika tidak sedang berada di rumah sakit. Ia hanya bisa melayangkan tatapan membantai pada Reza yang berlari puas meninggalkannya. Sepeninggal Reza, Mika sempat menengok ke belakang memastikan tidak ada orang yang melihat hal memalukan barusan seraya mengusap pipinya sendiri. Sebelum kemudian ia melanjutkan langkah menyusuri koridor untuk mencari makanan. Kini Mika sudah berada di depan pintu utama rumah sakit. Malam ini ia tidak ingin menyantap makanan kantin yang sebetulnya sangatlah enak juga murah. Entah kenapa, Mika sedang ingin makan sesuatu yang dijual di pinggir jalan. Tujuannya adalah warung ketoprak yang terletak di depan gedung Rumah Sakit. Perempuan itu mengangkat kedua tangannya ke atas melakukan peregangan. Seluruh ototnya terasa lemas karena lelah. Hari ini ia telah melakukan operasi sebanyak empat kali dengan kasus yang berbeda. Yang paling rumit adalah kasus hematoma serebal. "Lea." B E R S A M B U N G! New story again! Jangan lupa tekan love dan komen ya ^^ Terima kasih!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Married By Accident

read
224.3K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
55.1K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.9K
bc

Accidentally Married

read
102.8K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.2K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.0K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook