“Cilla ...”
“Kamu nggak lagi bercanda, kan?”
Jonathan nyaris kehilangan kata-katanya saat sudah diseret ke dalam kamar mandi, tepat membelakangi pintu dan melihat perempuan di hadapannya menderita seraya menggigit bibir bawahnya.
Perempuan itu merapatkan sejenak kedua tungkai; benar-benar dalam keadaan kebelet pipis.
“Kamu terlalu banyak tanya!” sahutnya mulai kesal.
“Balik badan dan jangan ngintip, ya? Awas, bintitannya aku doain yang besar, segede bakso beranak!”
Dari raut prihatin. Jonathan mengubah wajahnya kian datar dengan mata memicing. “Kamu memang nggak ada etika sama Atasan sendiri,” balasnya dingin dan membuat Cilla mengibaskan sebelah tangan di depan wajah, lalu menaruh satu telapak tangan di tungkai atas.
Pria itu menakutinya di waktu yang tidak tepat dan Cilla ingin memasuki sekat di belakang, samping bathub. Ya, untung saja ruang toilet berbeda dan tidak terlalu transparan. Jadi, ia masih aman dari mata nakal Jonathan.
Ia segera membalikkan tubuh Jonathan berlari terbirit untuk memasuki bilik sekat tersebut.
Jonathan mengembuskan napas lelah, meskipun tidak terlalu memedulikan suasana di dalam kamar mandi yang luas ini. Ia seperti orang bodoh yang disuruh menemani Cilla dan setuju-setuju saja.
“Seharusnya biarin dia ngompol aja. Kan, seru. Udah besar masih suka ngompol,” sahutnya tanpa sadar menarik tipis senyum kecilnya.
Perempuan itu tidak berubah jauh dari kali terakhir mereka bertemu.
“Cilla ...”
“Kamu ngerjain aku?”
“Bilang kalau udah, jangan diam aja,” ketus Jonathan menghitung sudah dua menit lebih.
“Sabar ... Bajunya sedikit nyangkut,” balas Cilla dengan suara yang sudah mendekat.
“Udah. Lain kali jangan suka sugesti yang mengerikan. Nanti kamu susah sendiri,” lanjut perempuan itu menatap sinis pria bertubuh tinggi di hadapannya.
“Nggak peduli,” balasnya cuek, membuat Cilla menggeram kesal dan menatap semakin tidak suka pada pria di depannya.
“Aku bakal datang ke perusahaan setelah makan siang. Jadi, kamu silakan kembali ke perusahaan sendiri.”
Bibir itu terbuka dengan manik nyaris tidak berkedip. “Pergi sendirian?” tanyanya memastikan.
“Memangnya siapa yang mau antar kamu? Jangan merasa kayak tuan putri.”
“Tapi aku memang kayak tuan putri. Cantik, manis, imut, lucu, pastinya pintar.”
Cilla membanggakan diri di depan Jonathan. Perempuan itu dengan senyum angkuh dan juga tatapan menantang Jonathan. Masalahnya, pria itu sudah sejak di pertemuan pertama memiliki celah untuk menghina dan membuat Cilla tidak berkutik dengan perintahnya.
Jadi untuk apa mempermasalahkan status pekerjaan di luar perusahaan? Ini kesempatan emas.
“Kenapa kamu tega biarin aku pergi sendiri? Kalau di koridor atau lift, terus ketemu sugar daddy dan dirayu, gimana? Siapa yang tanggung jawab.”
Jonathan memandang datar Cilla. “Intinya jangan sampai kemakan rayuan Om-om m***m,” sahutnya meminta Cilla berpikir lebih baik.
Sudah berpikir negatif terus dan terlebih menyudutkan dirinya, Jonathan merasa kepalanya berdenyut. Banyak debat tidak bermanfaat yang ia lakukan bersama perempuan yang sebenarnya cantik, tapi terlalu percaya diri mengakui banyak hal yang ada dalam dirinya.
“Kalau dimanjain ya ... Mau-mau aja,” sahut Cilla menampilkan deretan gigi rapi, lalu refleks membuat Jonathan menaikkan kedua tangannya; tanda menyerah.
“Pergi duluan dan aku bakal datang setelah makan siang,” jelasnya berlalu keluar kamar mandi, menuju kamar luas miliknya untuk kembali melangkah menuju pintu kamar.
Tapi diabaikan begitu saja dan tidak ada sedikitpun rasa simpati, pertemanan yang erat terjalin di antara ia dan Jonathan ... Membuat Cilla gemas sekaligus geram.
Jadi, dengan langkah lebar begitu cepat menyusul Jonathan yang nyaris melewati sisi ranjang. Dengan kuat Cilla menyenggol lengan Jonathan ke kiri; cukup kuat dan berakhir pria itu mengumpat.
Wajah Jonathan mendarat manis plus sempurna di atas ranjang dengan lutut terantuk di pinggiran ranjang.
“CILLA ....”
Priscilla Ogawa terbahak puas.
Sedikit demi sedikit, kekesalannya terkikis.
Jonathan memang perlu diberi pelajaran memalukan dan membuat pria itu ikut pusing tujuh keliling. Sama seperti dirinya saat diberikan pekerjaan tidak masuk akal dari Jonathan selama menjadi sekretarisnya; berada di perusahaan.
**
Cilla membawa iPad ke kafe perusahaan bersama temannya. Jam makan siang ia pakai sebaik mungkin. Lelah hati dan pikiran, membuat perutnya meronta.
Jonathan memang sangat jahat. Ia benar-benar membiarkan Cilla pergi sendirian ke perusahaan setelah perempuan itu menjahili Jonathan.
Wajahnya semakin kaku dan Cilla semakin tidak mengenal teman kecil yang pernah menjadi musuh.
Lagipula, teman kecil yang tidak menganggap pertemuan mereka sebagai kebahagiaan ... Menghadirkan rasa kesal dan kecewa di dalam hatinya.
“Gimana belum genap satu minggu kerja sama Atasan kita yang baru, Cil?”
“Berhubung aku juga sama-sama baru bekerja di bawah perintah Pak Jonathan ... Kita sama-sama bisa berbagi suka duka,” sahut perempuan dengan rambut sebahunya; General Manajer di perusahaan yang Cilla tempati.
Mereka baru berkenalan di hari pertama Cilla bekerja. Ya, pertemanan yang cukup membuatnya nyaman dan Cilla memang tidak memandang spesifik seseorang, asalkan orang tersebut tulus berteman dengannya.
“Banyak dukanya, Mei,” sahut Cilla mulai lemas jika menyeret topik seperti Ini.
Meida—teman Cilla—mengernyit bingung. Perempuan berdarah Sunda yang sejak kecil dibesarkan di Jakarta, tanpa tidak mengerti. “Pak Jonathan itu tampan, lho. Seharusnya kamu bersyukur bisa dapat posisi yang bakal berulang kali dekat sama beliau,” jelas perempuan dengan rambut sebahunya.
Pun, Meida mengulum senyum dengan sedikit menggoda perempuan berparas lebih cantik itu. Bahkan, sudah banyak pegawai pria di perusahaan ini mulai melirik perempuan baru; Priscilla Ogawa. Sayangnya, orang yang ingin didekati tampak tidak mengerti keadaan dan menganggap saat pria lain ada kesempatan berbicara lebih dekat dengan Cilla, artinya hanya hubungan pertemanan atau komunikasi biasa.
Sepertinya Cilla bukan perempuan yang terlalu peka dengan perasaan dan terlebih ... Mengedepankan hubungan asmara. Itu hanya deskripsinya di awal saja.
“Ih ... Mana ada,” sahutnya bergidik jijik.
“Kalau bisa diubah, mending aku jadi GM aja, tukeran posisi sama kamu, Mei,” balas Cilla bersungguh-sungguh.
“Kesan pertamaku di posisi ini nggak menyenangkan.”
“Baru pertama kali kerja, udah sakit kepala dan pas besoknya bangun tidur lemas banget,” lanjut perempuan itu membuat sebelah alis Meida terangkat.
Meida mengerjap, tampak bingung sekaligus penasaran dengan hal yang diceritakan Cilla. “Beneran?”
“Ngapain aku bohong?” tanyan balik perempuan itu frustrasi.
Meida mengulum senyum dan mengibaskan tangannya di depan wajah. “Ya udah, mungkin kita semua penyesuaian. Lagipula, agak kurang etis aja saat pegawai ditindas gitu aja sama Atasan. Semoga Pak Jonathan nggak gitu lagi, ya?”
Cilla mengubah wajahnya semakin datar.
“Nggak bakalan sampai kapan pun.”
“Dia itu teman sekolahku waktu SD.”
Saat itu pula, Cilla melihat keterkejutan Meida seraya membuka bibirnya; tidak menyangka dengan fakta yang dibawa Cilla. “Teman sekolah? Satu kelas?”
Pertanyaan memastikan itu dibalas anggukan santai Cilla. “Dia dari dulu suka iseng sama aku. Tadinya mau aku isengin balik atau buat dia juga menderita dengan perlakuanku. Tapi makin ke sini berpikir berulang kali. Takut ... Dia suka main ancam mengancam,” jelas Cilla.
“Suer, aku nggak tau kalau Atasan kita teman sekolah kamu, Cil.”
“Bukan cinta monyet kamu, kan? Atau iya?”
Cilla membeliak sempurna dan berakhir mendengkus, lalu mencebik. “Masih kelas satu ya nggak berpikir sampai ke sana. Dia itu hobi banget jahilin aku dan pernah juga sebelum pindah sekolah ... Udah janji nggak bakal buat aku marah ataupun sedih.”
“Tapi dia ingkar janji,” tambah Cilla menganggap jika Jonathan layak menjadi pria pemberi janji pada perempuan lain.
Pasti mantannya pun pernah diberikan kenyamanan atau sebuah janji yang menyenangkan. Kemudian, berakhir dengan hal tidak baik; sakit hati dan kecewa.
“Kamu udah tagih janji itu?”
“Hmm ... Tapi dia pakai mode amnesia,” balasnya datar dan membuat Meida mendengkus geli.
Mereka memutuskan untuk makan siang bersama setelah percakapan santai. Cilla pun tampak antusias dengan hidangan di depan mata yang sudah ia pesan.
Kedua telapak tangannya saling mengusap, berbinar menatap nasi bebek bakar yang sepertinya sudah dua bulan lalu tidak ia nikmati lagi. Namun, baru selesai cuci tangan, duduk manis di tempatnya semula dan bersiap mengambil potongan daging; ponsel dalam saku celana panjang Cilla berbunyi.
“Angkat dulu, Cil. Siapa tau penting,” sahut Meida mendengar gerutukan Cilla.
Cilla merasa menempelkan kuman lagi jika mengambil ponselnya. Padahal, ia baru selesai cuci tangan. Dengan terpaksa perempuan itu merogoh ponsel di saku celana, lalu berdecak kesal mendapati si penelepon.
“Si Asher,” gerutunya menatap Meida yang belum menyentuh makanannya.
“Pak Jonathan?”
Cilla mengangguk dan segera mengangkatnya.
“Iya?! Kenapa, sih?! Ganggu orang lagi makan aja!”
Kekesalan itu membuat Meida yang memerhatikan terkesiap, nyaris tidak berkedip dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Sedekat itu hubungan mereka dulunya sampai Cilla bisa menaikkan intonasi dengan Atasannya?
“Datang ke ruangan saya dan tidak lebih dari lima menit saya menunggu kedatangan kamu.”
Cilla menganga sempurna. “Jo?!”
Dengan cepat Cilla mengatupkan rapat bibirnya saat menyadari penggalan panggilan tersebut memicu beberapa pasang mata yang mendengar teriakan Cilla. Perempuan itu bersemu dan segera meredam suaranya. “Maaf, Pak Asher ...”
“Tapi saya sedang makan siang bersama teman saya,” lanjutnya nyaris berbisik.
“Silakan membantah ucapan saya jika kamu ingin kembali lembur di hari ini juga.”
Lemas ...
Cilla benar-benar berpeluang besar untuk menderita bekerja di bawah peraturan Jonathan.
**
Cilla nyaris membanting pintu ruang kerja Jonathan dan melemparkan tatapan marah pada pria di hadapannya. Jonathan duduk nyaman di kursi kebesarannya dengan MacBook yang menyala dan sedang memegang ponsel.
Pria itu seolah menunggu Cilla untuk duduk di depannya. Tapi perempuan itu memilih berkacak pinggang di samping meja kerja Jonathan dengan dagu sedikit terangkat. “Ada hal penting apa sampai kamu paksa aku nggak bisa makan, sekalipun sesendok aja, ha?”
“Bisa bersikap sopan sama Atasan kamu?”
Wajah Cilla memerah dan tangannya luruh, ganti mengepal kuat. Ia pun dengan kesal langsung menumpukan kedua tangan di atas meja dan menatap Jonathan nyaris tidak sampai lima belas sentimeter.
“B-o-d-o. Bodo.”
“A-m-a-t. Amat.”
“Bodo amat!”
Perut Jonathan tergelitik dan kedua sudut bibirnya berkedut. Sebab selaras antara ekspresi dan suara lucu Cilla, berhasil mensugestinya untuk tertawa, bukan marah.
Tapi tidak ia lakukan dan justru memiringkan sedikit kepalanya, menatap Cilla dengan senyum miring. “Aku udah lulus TK atau bahkan sekolah dasar, meskipun harus pindah secara mendadak dari Indonesia,” ungkapnya.
“Ya udah! Kenapa masih nggak ngerti kalau aku itu butuh istirahat! Aku butuh waktu tenangin diri dari kamu. Bilangnya datang habis jam makan siang, tapi ini apa? Terlalu cepat!”
“Saya punya hak atas diri saya sendiri dan juga keuntungan mengambil alih perusahaan ini dari Bapak Asher.”
Cilla mengumpati Jonathan dalam hati.
Ia yang sebelumnya berbicara tidak jauh beda dari Jonathan, disalahkan. Sekarang pria itu mengambil keuntungan semakin besar dari statusnya di perusahaan.
“Okeh ...” Cilla pasrah.
“Terpenting, kalau aku sampai pingsan atau on the way bakal opname. Kamu harus tanggung jawab dan minta maaf sama Mami Papiku!” tegasnya supaya pria itu takut.
Bukannya takut, Jonathan menaikkan sebelah alisnya, lalu berucap, “Saya tidak sedang berniat melamar kamu sampai harus bertemu orangtua kamu, Nona Priscilla ...”
Cilla memilih menutup rapat bibirnya, berdiri dengan lemah dan hanya menatap heels-nya saja. Ia sudah lelah tingkat akhir.
“Alasan saya meminta kamu datang ke mari karena tidak ada orang yang menemani saya. Karena di lantai koridor ini cukup horor, kan? Saya tidak ingin kesurupan sendirian. Minimal, korbannya kamu saja.”
Cilla sadar jika wajahnya semakin bodoh karena ekspresi melongo. Tapi melihat Jonathan yang menatapnya santai ... Begitu polos, membuat rahangnya mengetat dan wajah memerah menahan amarah.
“Saya ini penakut,” lanjutnya dan lebih terdengar menyindir Cilla.
“Jo,” panggil perempuan itu dengan wajah tanpa ekspresinya.
“Panggil saja sesuai status kamu di sini, Nona,” cetusnya datar dan membuat Cilla mengembuskan napas lelah.
“Pak Jonathan Asher ...” panggilan lembut, meskipun tidak menarik kedua sudut bibirnya.
Jonathan duduk dengan santai, menaruh kedua lengannya di atas meja sambil memainkan pulpen. “Ada apa Nona Cilla?”
“Bapak punya alergi atau udah lelah mencari pasangan? Saya bisa membawa Anda lebih cepat dekat dengan Sang Pencipta, Pak.”
“Nanti saya permudah biar bapak segera pergi dari dunia ini dan tidak memusingkan kepala saya lagi.”
“Karena ada kemungkinan, saya yang berpotensi pergi lebih dulu dari bapak.”
“Padahal, saya lebih muda satu tahun dari bapak dan banyak pria antre untuk saya pilih sebagai pasangan hidup,” tutupnya dan berlalu meninggalkan Jonathan yang kini mengatupkan rapat bibirnya; ingin tertawa puas melihat Cilla menderita.
**