5. Tanggung Jawab

1063 Words
“Seluruh jadwal selama dua hari dari pagi sampai malam udah aku tulis rapi di sini. Pahami dan lakukan mulai hari kamis nanti. “Itu hari pertama kamu beralih profesi menjadi asisten rumah tangga di unit apartemenku.” Cilla menekan keningnya di dinding dengan kedua telapak tangan berada di sisi kepalanya. Frustrasi dan berakhir stres, belum sampai tahap depresi melihat kertas sekaligus mendengar ucapan Jonathan yang berjalan meninggalkan Cilla di dapur. Tepat di samping Cilla yang lemah, dua lembar kertas di tempel sangat manis dan rapi. Bahkan, ada tambahan gambar bunga-bunga di kertas A4 tersebut. Bunga mawar kecil dan indah. Melambangkan jika kali ini Jonathan tampak mengejek Cilla. Karena berbanding terbalik dengan perasaan perempuan itu. Bukan mendeskripsikan lambang bunga, melainkan mendeskripsikan perasaan Jonathan. Bahagia ketika penderitaan Cilla sudah berada di depan mata. “Kamis bentar lagi,” keluhnya merengek seraya menegakkan kembali punggungnya. “Dia tega banget sih, terlalu banyak deretan jadwalnya,” lanjut perempuan cantik itu menatap nanar jam bekerja yang dimulai pukul lima. “Ya ... mana bangun jam segini. Paling pagi bangun jam enam.” Cilla meraup sedih wajahnya. “Ini orang jahat banget lagi. Dikasih kerjaan sampai jam sepuluh malam. Mau disuruh ngapain? Ngelonin dia tidur? Nggak sudi!” “Buat sarapan, siapkan pakaian, cuci piring, cuci pakaian, belanja kebutuhan dapur ....” Cilla membaca runut dari pukul enam pagi hingga sepuluh malam. Ia mengernyit, memicingkan mata saat di sore hari ia harus menyiapkan bathub Jonathan. “Ini gimana, sih? Sampai mandi sore aja minta disiapin. Kalau tangan sama kakinya patah, baru tau rasa. Punya anggota tubuh lengkap, tapi nggak mau digunakan sama sekali.” “Aku dengar doa buruk kamu,” cetus sebuah suara dan membuat Cilla terkesiap. Perempuan itu berbalik dan mendapati Jonthan di ambang pintu dengan wajah datarnya. “Aku bukan orang malas yang mau apa pun serba diambilkan.” “Tapi aku memfungsikan dengan benar pekerjaan kamu di sini. Biar kamu tau harus bertanggungjawab kayak gimana. Mengenai fungsi jabatan kamu aja nggak benar, apalagi kayak gini,” jelasnya sekaligus menyindir Cilla dengan senyum miringnya. Cilla mendengkus sebal dan sekilas menyibak rambut panjangnya ke belakang. “Sorry, ya. Meskipun aku manja ...” “Pekerjaan kayak gini mudah banget aku lakukan. Kecil,” sindirnya memperagakan dengan jemari tangan kanan; membentuk pengertian serupa. Jonathan mengangguk dengan tatapan tidak yakin. “Rabu malam datang ke mari.” Cilla mengembuskan napas lelah dan mengangguk tidak berminat. “Sekarang kita harus balik ke perusahaan. Nggak ada hak istimewa buat kamu yang pagi ini bolos,” cetusnya dengan tatapan tegas. “Tanggung banget. Biarin aku pulang ke rumah, ya? Please ...” mengedip-ngedip manja, tapi justru di balas ketus Jonathan yang membuat Cilla mencebik tidak suka. “Nggak ada manis-manisnya mata kamu digituin. Tambah eneg jadinya,” sahutnya berlalu, meninggalkan Cilla yang menggerutu, mengumpati Jonathan. “Ih ...” Perempuan itu menghentakkan kakinya kesal. “Aku pikir, kita bakal ketemu lagi dengan suasana dulu, Jo. Ternyata salah. Kamu semakin dewasa pengin minta aku pukul dan cakar.” Ia mencebik tidak terima dengan perlakuan Jonathan dan merasa asing, hubungan yang dulu terjalin di antara mereka. Cilla melangkah berat menuju ruang tengah dan mendapati Jonathan berdiri di depan meja sofa sambil memainkan jemari tangan di atas keyboard ponsel. Setelah selesai, Cilla segera menyeletuk, “Kamu nggak ingat sama permintaan maaf kamu ke aku yang dulu, Jo?” “Bohong itu dosa, lho,” tambah Cilla dengan wajah sedikit menakuti. “Kamu juga udah janji di depan Papi sama Mami aku,” jelasnya menatap lekat manik hitam yang kini menatapnya. “Nggak tau, lupa,” balasnya mengedik santai dan membuat Cilla membeliak. “Terlalu malas ingat tentang hal kecil dulu. Daya ingat aku nggak sampai di sana. Kecuali ...” “Kamu bilang kayak gini biar bisa manfaatin aku, kan?” desaknya dibalas cibiran Cilla. “Dasar pria nggak bertanggungjawab sama ucapannya! Awas aja! Kamu bakalan menyesal menyuruh aku jadi babu kamu dan juga lupain janji kita gitu aja!” tandasnya ikut merasa kesal dengan sikap Jonathan. Meskipun hanya janji kecil di masa lalu, kemudian terus menanti bagian manis dari hubungan mereka yang Cilla harapkan sejak dulu. Perempuan itu tidak ingin sedih dan menderita sendirian. Ia akan membuat unit ini terasa ramai dan Jonathan akan bahagia ia berada di sini. “Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?” selidik Jonathan melihat begitu cepat perubahan ekspresi Cilla. Perempuan itu menggeleng santai. “Nggak. Biasa aja.” “Biarin senyum, biar awet muda. Daripada kamu sok kaku, dingin dan lain sebagainya. Ciri-ciri pria minta diumpatkan terus,” sahutnya sinis. Jonathan mengangguk tanpa minat. “Cuma tanya aja. Siapa tau kamu kemasukan dedemit di sini.” Bulu kuduk Cilla merinding. Ia tanpa sadar beringsut mendekati Jonathan, berdiri di sampingnya sedikit. “Dedemit?” tanyanya khawatir. Jonathan mengangguk. “Aku salah pilih kamar dan baru tau semalam.” “Katanya, di unit ini bekas pembunuhan.” Napas Cilla tercekat, semakin mengikis jarak di antara ia dan Jonathan. “Suaminya pergokin istrinya yang selingkuh dan di bunuh saat itu juga. Tepatnya di kamar yang aku tempati.” “JO .... “MERINDING ....” Cilla langsung merangkul erat lengan Jonathan, menyembunyikan wajahnya di sana dan berucap getir. “Tungguin aku di kamar mandi, Jo ....” “Mau pipis .... Takut ngompol di tempat.” Jonathan melongo sempurna dengan ucapan spontan Cilla dan tangannya yang digoyangkan tersebut. Terlihat Cilla ketakutan dalam satu waktu dan juga ada panggilan alam yang tidak bisa dihindarkan. “Aduh, Jo .... Ayo, temani aku! Kamu, sih! Jangan suka takutin aku! Ikut aku masuk ke kamar mandi sebelum ngompol beneran!” “Aku nggak bawa celana dalam dan kamu harus tanggung jawab kalau aku sampai ngompol!” tegasnya setengah takut, memeluk erat lengan Jonathan. Sebab, bulu kuduknya kembali merinding mendengar cerita horor Jonathan. Pria itu bercerita tidak pada waktu yang tepat. Cilla memang terlalu mudah tersugesti hal mistis dan sekarang ... Wajahnya pucat pasi. Keadaan mendesak ketika perempuan itu semakin tidak tahan buang air kecil. “Cepat, Jo .... Bahaya ....” Jonathan seperti kehilangan kendali saat Cilla dengan cepat menarik lengannya, membawa pria itu ke dalam kamarnya sendiri yang memang memiliki satu kamar mandi. “Ikut masuk, Jo. Tapi jangan ngintip sebelum berakhirnya nyawa adik kesayangan kaum pria.” Jonathan tidak berkedip sama sekali dengan ancaman Cilla, juga dirinya yang tidak menyangka di bawa ke dalam kamar mandi. Ya. Sekarang keadaan berakhir aneh menurutnya. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD