Cilla melirik dengan pelan-pelan orangtuanya yang sedang menikmati sarapan pagi mereka. Ia menatap sekilas Mami Cilla duduk di seberang dan juga Papi Cilla yang memimpin sarapan pagi ini.
Ia tampak bingung untuk mengatakan keinginannya. Bahkan, perempuan itu semakin sulit untuk meminta izin saat Papinya sudah ada di rumah.
“Gimana sama jabatan baru kamu, Kak? Nyaman?”
Perempuan cantik itu terkesiap saat tatapan Papinya teralihkan padanya. Ia mengangguk kikuk, tidak jadi memasukkan makanan dalam mulutnya. “Nyaman, Pi.”
“Tapi karena jarak perusahaan yang sedikit jauh dari rumah. Cilla izin sesekali nginap tempat teman, ya?”
Mami dan Papi Cilla menghentikan makan mereka dengan serempak. Perempuan keturunan Jepang – Indonesia itu menelan salivanya susah payah.
Dipandang lekat, membuat nyalinya ciut. Padahal, baru saja ia mendapatkan kesempatan untuk mengajukan keinginannya.
Bukankah ia ditanya tentang pekerjaannya? Itu kesempatan baik untuk Cilla mengajukan keinginannya dan mendapatkan jawaban yang sudah sangat ia harapkan didukung.
“Kakak ...”
“Kamu punya sopir yang selalu anterin kamu ke perusahaan. Atau kalau bapaknya lagi berhalangan antar jemput, masih bisa pesan taksi online, kan?”
Cilla tersudutkan oleh pernyataan dan dilanjutkan pertanyaan Mami tercintanya. Tangannya mengenggam erat sendok. Mendadak selera makan Cilla hilang. Salahkan Jonathan Asher yang terus memaksa Cilla menuruti permintaan pria itu.
Kemarin. Setelah ia hampir kena serangan jantung mendadak di usia muda. Pria itu dengan cepat menyodorkan surat perjanjian. Tidak ada yang aneh memang dan tidak merugikan sepenuhnya bagi Cilla.
Hanya saja, sepertinya pria itu sudah paling semangat untuk menjahili Cilla di versi dewasa mereka.
Huh! Tunggu saja pembalasan selanjutnya, Asher!
Cilla berjanji dengan penuh semangat juga di dalam hatinya. Tapi detik selanjutnya perempuan cantik itu mengubah ekspresi wajahnya dengan salah tingkah; tersenyum malu.
“Iya, sih, Mi. Tapi biar Cilla nggak syok dan terburu-buru juga kalau bangun kesiangan. Apalagi pulang dari perusahaan kalau lembur. Kan, capek,” keluhnya membuat Papi Cilla mengembuskan napas pelan.
“Papi udah tawarin kamu kerja di perusahaan keluarga kita, Kak. Apa yang Papi khawatirkan terjadi, kan? Lelah dan merasa kejauhan dari rumah. Itu salah satu yang bakal Kakak keluhkan di awal.”
Cilla meringis pelan, meskipun ia berusaha menampilkan senyum ceria.
Jika orangtuanya tahu, Cilla sedang berbohong. Ia bahagia, terlepas dari yang namanya: hidup bebas tanpa embel-embel kekayaan Keluarga Ogawa.
Namun, si Jonathan itulah yang membuat Cilla harus terlihat mengeluh. Menyedihkan sekali, bekerja di awal sudah membohongi orangtua dan juga merasa tertekan sedikit di perusahaan barunya. Kenapa juga Dirut sebelumnya hengkang? Cilla lebih baik menjadi pegawai untuk Kakek Jonathan saja.
Ya. Seandainya ia bisa memilih sebelumnya.
“Papi ... Gimana kalau Kakak, kita sewa unit apartemen aja dekat perusahaannya? Kan, ada di dekat sana.”
Ucapan Mami Cilla seolah menjadi angin segar untuknya. Perempuan itu menegakkan punggungnya, menatap dengan binaran bahagia mendapati Mami tercintanya memiliki solusi jitu.
“Iya, Pi! Cilla disewain apartemen aja, ya? Di dekat sana. Cuma sesekali tinggal di sana dan nanti pasti balik ke rumah ini.”
Lelaki yang tetap terlihat tampan, meskipun sudah memiliki dua anak yang beranjak dewasa itu tampak berpikir sejenak.
“Mami yakin, mau biarin Kakak tinggal sendirian di unitnya?”
Jemari Cilla saling bertaut saat Papinya bertanya serius pada Maminya. Ia tampak memandang dirinya sekilas, lalu berbalik menatap suaminya dan mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, Pi. Lagian Kakak nginepnya nggak sering. Sesekali aja.”
Senyum semringah Cilla terbit. “Cuma dua hari dalam seminggu aja, Pi. Sisanya nanti, Cilla pasti bakal pulang ke rumah.”
“Ya udah. Papi kasih izin.”
Yes! Yes! Yes! Nggak ada drama kabur-kaburan dari rumah!
**
Bibir Cilla menipis dan wajahnya sangat datar; tampak buruk dalam suasana hatinya saat ini. Bahkan, ia sibuk mengotori kursi mobil yang didudukinya dengan merobek lembaran tissue. Tidak peduli jika pemilik mobil terus menegur dirinya untuk menghentikan aksi ngambek.
Jelas saja Cilla ngambek. Alias marah-marah dan jutek dengan sang pemilik mobil.
Pria yang belum genap satu minggu menjadi Atasannya, sudah membawa Cilla ke area unit apartemen yang akan membuatnya bekerja selama dua hari dalam satu minggu.
Tidak ada pekerjaan hari ini, kecuali menuruti permintaan pria dingin dan seenak jidatnya.
“Mana sih, kotak tissue-nya? Mau aku berantakin lagi mobil kamu!” ketus Cilla merasa berhak memanggil Jonathan tanpa membawa status mereka.
“Udah aku simpan. Nggak usah kotorin mobilku,” balasnya ikut ketus.
Ia tidak ingin BMW M8 miliknya menjadi sasaran kemarahan Cilla dan membuat mobil ini terlihat buruk di mata Jonathan.
Namun, Cilla mengerjap. Fokusnya memang tidak terlalu terarah pada jalanan di depannya, tapi ingatan dan juga pendengarannya merasa ada yang salah.
“Bentar, deh,” sahutnya menoleh ke arah Jonathan.
“Tadi kamu bilang aku, kan?” Ia menekan bagian yang dibutuhkan.
“Maksudnya, udah sadar kalau aku ini emang teman masa kecil kamu dan nggak perlu ada status di perusahaan yang harus dibawa, kan?” Cilla tersenyum remeh dan mendengkus pelan menatap Jonathan.
“Dasar! Di perusahaan aja tingkah kamu selangit. Eh, di luar udah balik jadi orang normal lagi,” sambungnya masih saja ingin puas menghina Jonathan.
Pria itu menoleh dan menatap Cilla datar. “Kamu tetap pegawai di perusahaan dan apa yang aku lakukan karena status disesuaikan di mana kita berada. Ngerti?”
“Nggak mau ngerti!” ketusnya dan meremat tissue yang berserakan di pangkuannya, lalu membuang ke kursi kemudi belakang.
“Cilla .... Jangan buang sembarangan,” ketusnya menatap perempuan itu tajam.
“Bodo amat!” balasnya menyeringai puas mendapati Jonathan marah.
“Kalau kamu marah, kelihatan sedikit tampan,” sahutnya jahil dan dibalas tatapan datar Jonathan.
Perempuan cantik itu tergelak dengan ekspresi Jonathan yang berubah cepat. “Jadi, mau check-in?” Ia sedikit melongokkan kepala melihat area yang baru saja dilewati Jonathan; masuk ke area parkiran basement.
Jonathan mengembuskan napas pelan. “Nggak usah pura-pura bodoh,” sahutnya.
“Hari ini kamu harus tau di mana tempat kerja yang lain. Dua hari dalam satu minggu, kamu harus menginap di sini.”
“Oh, mudah. Sendirian, kan?”
“Aku tinggal di unit yang sama dengan kamu.”
Tadinya, ia mengangguk dengan santai. Tapi detik selanjutnya menatap cepat Jonathan dengan manik hitam membeliak sempurna. “Jo! Jangan bilang, kamu ada rencana mau bunuh aku, ya?!”
“Siapa tau ... Satu unit, terus waktu aku tidur nyenyak, kamu mulai beraksi untuk bunuh aku?!”
Mobil sudah terparkir rapi dan detik selanjutnya, Jonathan dengan keterlaluannya membungkam mulut Cilla dengan telapak tangannya. “Nggak usah berlebihan,” balasnya membuat perempuan itu menatapnya tajam.
Cilla melepas kasar bungkaman tangan Jonathan dan ikut membuka sabuk pengaman. Tapi kali ini ia merasa ada informasi yang masuk di dalam pikirannya.
Jonathan yang baru saja akan membuka pintu, terkejut—jantung berdegup kuat—mendengar jeritan Cilla.
“INI PASTI NGGAK MUNGKIN!”
“Kamu bisa nggak, kecilkan sedikit suaranya? Aku hampir jantungan dan kayaknya, perlu ke dokter THT setiap hari,” cetusnya meringis, mengusap telinganya yang penuh derita pagi hari ini.
“Gimana nggak syok! Kemarin, Papi baru aja sewa satu unit di sini untuk aku!” pekiknya dengan manik hitam membeliak.
Cilla baru tersadar saat melihat dengan jelas nama gedung ini di area basement juga. Jonathan menatapnya yang mulai sibuk mencari ponsel di dalam tas, lalu membuka sesuatu. “Tuh, kan! Bener! Nomor unitnya 896,” jelasnya heboh dengan alamat dan nama gedung.
“Dan nomor unitku, 897.”
Saat itupula Cilla menatap horor Jonathan yang menimpali. “Kayaknya unit kita sebelahan,” sambungnya ikut merasa jika hari ini, suatu kebetulan yang tidak disengaja.
“Jangan bilang kita sehati, Jo?! Nggak mungkin kan, unit bisa samaan dan tetangga sebelah juga? Aku nggak mau sehati sama pria jelek dan suka seenak jidatnya sama aku.”
Ucapan ketus yang tidak disensor alias tidak disaring lagi, membuat Jonathan menatapnya datar tanpa ekspresi.
Cilla memanglah pegawainya yang paling tidak tahu diri. Ia pernah menjabat sebagai Atasan di perusahaan keluarganya yang berada di Amerika dengan kurun waktu yang tidak lama. Karena mempersiapkan jabatan yang ada di sini.
Tapi ia tidak pernah mendapatkan pegawai seaneh Cilla. Mungkin, karena mereka bukanlah dua orang asing yang baru bertemu.
“Aku juga nggak mau sehati sama kamu,” balasnya tidak ingin kalah dan mendapatkan tatapan sinis dari Cilla.
“Kamu nggak ada dalam daftar pria idamanku. Pria nyebelin kayak kamu, enaknya diuleg,” sahutnya membuat Jonathan mengembuskan napas lelah.
“Terserah.”
Ia keluar terlebih dahulu, meninggalkan Cilla yang menggerutu tidak suka dengan fakta yang ada.
**
“Ini unit baruku,” cetus Cilla meringis pelan membenarkan jika sebelahnya adalah milik Jonathan.
Tapi ia menyadari sesuatu hal dan menatap Jonathan yang masih berdiri di sampingnya. “Kalau gitu aku tinggal aja di unitku sendiri. Selain kamu bebas melakukan apa pun, aku juga nyaman.”
“Nggak ada pembantahan dalam aturan yang aku buat,” ketusnya segera menarik tangan kanan Cilla, membuat perempuan itu membeliak sedikit ditarik kasar Jonathan menuju unit pria itu.
Cilla mencebik kesal setelah Jonathan berhasil membawa Cilla masuk ke unit apartemen Jonathan. “Bersih dan rapi,” sahutnya.
“Memang harus kayak gitu. Sekarang ada tenaga lain yang bisa aku andalkan dalam dua hari full,” sahutnya menyeringai puas mendapati Cilla sudah memicingkan matanya tajam.
Pria itu terlalu santai menatap Cilla dengan melipat kedua tangan di depan d**a. Perempuan itu kesal mendapati teman masa kecilnya semakin besar kepala, sekaligus membuat dirinya menderita.
Cilla mendengkus pelan dan berlalu meninggalkan Jonathan untuk melihat keseluruhan interior di dalam unit Jonathan. Mewah dan lumayan lebar. Cilla yakin, type-nya akan sama seperti yang sudah disewa Papi Cilla.
Perempuan itu berdiri di depan pintu kamar.
Hanya satu.
Cilla termenung dan tidak menyadari jika Jonathan sudah berdiri di sampingnya, menatap Cilla yang tampak terdiam. “Iya, kamarnya memang ada satu.”
“Kenapa nggak cari yang dua?” tanya perempuan itu polos, ikut memandang Jonathan.
Jonathan menggeleng pelan. “Sisa unit ini aja waktu aku sewa,” balasnya ringan yang langsung membuat Cilla mengerjap berulang kali.
“Ya udah, aku tidur di kamar dan kamu yang di luar,” sahutnya menyadari jika ini adalah bagian yang akan membuat Cilla menderita.
Ia juga tidak percaya begitu saja saat Jonathan mengatakan kamar nyaris penuh. Ini jebakan batman.
Jonathan mendelik kesal, memandang Cilla lurus. “Siapa yang punya unit ini?”
“Kamu,” balas Cilla menyeringai puas, melipat kedua tangan di depan d**a.
Manik keduanya bersitatap dan Cilla dengan senyum angkuh tetap memertahankan keinginannya dalam menanggapi ucapan Jonathan.
“Jadi yang punya hak di sini aku, kan?”
“Ya, aku dong!” sahut Cilla membuat Jonathan mendelik.
Cilla menurunkan kedua tangannya, lalu berjalan mendekati Jonathan, mengikis jarak di antara mereka tanpa mengalihkan tatapan sorot mata keduanya.
“Tadi kamu bilang nggak bolehin aku balik ke unit sendiri, kan? Lagipula aku di sini tamu, harus dihargai sebagai orang khusus.”
Jonathan ikut mengikis jarak, nyaris begitu dekat dengan Cilla. Ia menjadi gemas dengan ucapan yang terkesan santai itu. “Kamu bukan tamu, ingat? Jangan mengubah apa yang udah aku mau,” cetusnya dan keduanya semakin mencondongkan wajah dengan manik begitu tajam.
Kesal di masing-masing keangkuhan lawan bicara. Terutama Cilla yang keras kepala dan tidak menuruti keinginam Jonathan. Sampai hidung mancung keduanya nyaris bersinggungan, Jonathan menyeringai kecil untuk menjawab, “Sekali kamu punya pandangan sendiri dan nggak mau menuruti permintaanku dengan baik ...”
“... jabatan kamu terancam.”
“Karena aku bisa melakukan sesuatu lebih mudah dengan posisiku di perusahaan.”
Tangan Cilla mengepal dan ia hanya mampu mengetatkan rahang dengan tatapan tajam di saat Jonathan tersenyum puas. Ia berhasil membuat Cilla tidak bersikap semaunya saja.
Di sini Jonthan yang berhak memerintah perempuan cantik keturunan Jepang – Indonesia di hadapannya.
**