Keesokan harinya
“Na, siap-siap gih.” Yanti yang baru datang ke ruang tamu, langsung memerintahkan Nana untuk bersiap-siap.
“Siap-siap mau ke mana Ma? Udah sore juga, terus aku capek habis pulang kuliah.”
Yanti mengambil duduk di sebelah Nana. “Max mau ngajak kamu jalan tuh. Katanya dia mau otw sebentar lagi,”
“Hah! Kok mendadak gini Ma, malas ah Ma,” Nana menolak mentah-mentah ajakan Max karena sebenarnya dirinya juga lagi capek dan malas, ingin bersantai saja di rumah.
“Udah cepat siap-siap, dia udah mau ke sini loh. Mama udah izinin dia untuk ngajak kamu jalan sore ini, jadi jangan buat Mama malu ya,”
Nana akhirnya menghela napas pasrahnya. “Ya udah iya-iya.” Ia beranjak dari posisinya lalu pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.
Setengah jam kemudian, Nana keluar dari kamarnya, ia sudah tampak rapi dengan mini dress merah muda dibawah lututnya, dengan hiasan pita biru tua yang terikat rapi di leher dressnya. Ia juga membawa tas kecil biru tuanya.
Saat tiba di ruang tamu, ia mendapati Max sudah berada di sana, sedang berbincang dengan Mamanya. Max mengalihkan pandangannya dan tak sengaja bertemu pandang dengan Nana. “Eh, Nana kamu sudah siap?” tanya Yanti yang ikut melihat arah pandang Max dan mendapati anaknya sudah berdiri di dekat sana dengan tampilan yang lebih rapi dan cantik.
“Iya Ma,”
“Ya udah kalau begitu kalian pergilah, selamat bersenang-senang ya ... tapi ingat, nanti pulangnya jangan sampai malam banget ya,”
“Ya Tan, kalau begitu kami pergi dulu ya,” Max dan Nana tak lupa menyalim tangan Yanti sebelum berangkat. “Assalamualaikum,”
“Wa’alaikumsalam ... Hati-hati ya,”
“Iya Ma,” Nana menatap Max yang juga sedang menatapnya lalu ia pun lebih dulu melangkah keluar karena Max sepertinya tidak mau melangkah lebih dulu.
Max dan Nana masuk ke dalam mobil Max, memasang seatbelt dalam diam sampai mobil berjalan meninggalkan rumah Nana.
“Memangnya kita mau ke mana sih Mr? Kamu ngapain sih ngajak aku jalan?” Nana akhirnya bersuara setelah beberapa saat hening, ia berbicara namun tanpa melihat ke orangnya langsung.
“Kamu maunya ke mana?”
“Loh, kok tanya aku? ‘kan kamu yang ngajak.”
“Tak lama lagi kita akan menikah, apa aku tidak boleh mengenalmu lebih dekat?” tutur Max seraya melirik orang di sebelahnya dengan ekor matanya.
Nana terdiam, ia mengedipkan matanya dan membasahi bibirnya gugup. “Hm, kalau begitu kita jalan ke Mall aja.”
“Oke,”
Setibanya di Mall, Max memarkirkan mobilnya di parkiran basement karena parkiran luar sudah penuh. Setelah menemukan tempat parkir yang tepat, Max memarkirkan mobilnya di sana, diantara mobil sedan hitam dan merah.
Nana mencoba melepaskan seatbeltnya, namun sepertinya ia terlihat kesulitan. ‘Duh, kenapa ini tiba-tiba susah dibuka gini. Memang seatbelt kurang ajar banget ini,' paniknya dalam hati, sementara itu Max yang sudah membuka seatbeltnya lebih dulu tampak memperhatikan Nana yang masih sibuk membuka seatbeltnya.
“Kenapa? Apa ada masalah?”
“Oh, n-ngga kok sebentar ya,” jawab Nana gugup, ia tidak ingin memberitahukan kesulitannya karena malu, tidak bisa membuka seatbeltnya sendiri. Ia masih tetap berusaha membukanya sendiri, namun entah kenapa tetap tidak bisa.
Nana membulatkan matanya ketika tangannya disentuh oleh Max, dengan cepat Max mengambil alih untuk membuka seatbelt Nana dan dengan mudahnya seatbelt itu terbuka. “Kalau mau minta tolong, bilang saja. Ngga usah malu,” ucap Max dengan jarak wajah yang dekat hingga membuat Nana menahan napasnya dan hanya bisa mengedip-ngedipkan matanya.
Max keluar dari mobil lebih dulu. Nana baru bisa menghela napasnya. 'Hah, dasar Nana bodoh. Bagaimana bisa kamu tidak bisa membuka seatbelt seperti ini, aihh aku sangat malu' batinnya seraya memukul-mukul kepalanya pelan. Ia pun ikut keluar dari mobil dan menyusul Max yang sudah melangkah lebih dulu. “Mr! Tunggu!” Max berhenti, membalikkan tubuhnya menunggu Nana yang tampak berjalan dengan cepat.
“Kenapa kamu meninggalkan aku duluan?”
“Kamu lama sekali, ayo cepatlah.” Max dan Nana akhirnya berjalan bersama memasuki mall. “Kamu mau beli apa? Kalau ada yang mau kamu beli bilang saja.” ujar Max sembari berjalan.
“Kamu yang bayar Mr?”
“Hm,” jawab Max dengan gumaman.
'Wah, bisa aku manfaatin ini. Aku akan membuatnya ilfeel karena mengira aku cewek matre dan dia akan menolak pernikahan ini.’ pikirnya dalam hati. “Kalau begitu aku mau beli baju, peralatan mandi, skincare, makeup, tas—“
“Untuk apa kamu beli itu semua sekarang? Apa kamu lagi membutuhkan semua itu sekarang? Aku bisa membelikan semua itu semua nanti setelah kita menikah. Sekarang belilah sesuatu yang memang lagi kamu butuhkan.”
Nana mengarahkan pandangannya ke arah lain, “Tadi ditanya mau beli apa, tapi sekarang malah dibatasi.” gumam Nana dengan suara pelan dengan bibir yang mengerucut.
“Apa katamu?”
“Ah, tidak. Kalau begitu aku mau beli cardigan saja. Boleh 'kan?”
Max mengangguk. “Oke, ayo kita cari toko yang menjual cardigannya.” Mereka menelusuri mall dan menemukan beberapa toko pakaian wanita yang bagus dan berkualitas. Mereka memasuki satu persatu toko untuk menemukan cardigan yang sesuai selera Nana.
Saat memasuki toko kedua yang isinya banyak pakaian wanita terutama jaket, cardigan dan vest. Max memilih untuk duduk di sofa panjang yang berada dalam toko dengan kaki yang menyilang, menunggu Nana yang sedari tadi tidak selesai-selesai memilih. Namun, pandangannya tak pernah lepas dari Nana yang masih sibuk memilah vest di sana. Ia pun memilih memeriksa ponselnya, memeriksa pesan-pesan yang masuk, yang dikirimkan mahasiswanya entah itu mengirimkan tugas ataupun mahasiswa yang minta bertemu untuk bimbingan.
“Mr!” panggil Nana hingga membuat Max mendonggakkan kepalanya. Nana sudah berdiri di hadapannya. “Menurutmu bagus yang mana? Aku bingung, tolong bantu aku memilihnya.”
Max menatap dua vest yang Nana tunjukkan. Kedua vest nya berwarna kuning, namun salah satunya terdapat motif bunga Daisy full print di vest nya dan satunya lagi polosan. “Keduanya bagus, ambil saja keduanya.”
“Eh, serius?”
“Iya. Cepatlah, kamu sudah setengah jam memilih.”
“Oke deh.” Setelah memilih beberapa pakaian, akhirnya Nana kembali melapor pada Max. “Mr, aku sudah mendapatkan semuanya.”
“Oke. Ayo kita bayar sekarang.” Mereka pergi ke bagian kasir, meletakkan beberapa pakaian yang Nana pilih dan sang kasir pun menghitung semua total belanjanya.
“Berapa mbak?” tanya Max.
“350 ribu Mas.” Max mengeluarkan dompetnya dari saku celananya lalu mengeluarkan kartu atm nya.
Setelah pembayaran selesai, sang kasir memberikan belanjaannya beserta kartu atm-nya. “Terima kasih, silakan datang kembali.” Max mengangguk, menerima totebag berbahan karton hitam itu beserta kartu atm-nya. “Ayo, apa ada yang ingin kamu beli lagi?”
Nana menggeleng. “Kita pulang aja, tidak ada yang ingin aku beli lagi.”
“Oke.” Max dan Nana pun keluar dari toko baju tersebut, berjalan bersampingan, “Mr,” panggil Nana seraya menarik lengan jas Max agar ia berhenti melangkah.
Max sontak berhenti “Kenapa?” tanya Max yang memperhatikan arah pandang Nana, sedang menatap ke outlet es krim yang tidak jauh dari posisinya sekarang.
“Aku ingin es krim."
“Kamu ini seperti anak kecil saja, pengen es krim segala.”
“Loh, yang makan es krim itu bukan cuma anak kecil saja Mr. Semua orang itu bebas makan es krim. Lagipula es krim itu enak."
“Ya udah, pesanlah.” Max akhirnya mengalah.
“Yes!” Nana bergegas pergi ke outlet es krim itu meninggalkan Max lebih dulu. Saat tiba di sana, Nana tampak memperhatikan menu es krim yang tersedia di sana, memilih es krim yang akan dibelinya.
“Mr, apa kamu mau juga?” tanya Nana ketika Max sudah berada di sebelahnya.
“Tidak, kamu saja yang beli.” Nana mengangguk paham. “Mas, saya mau pesan.” uhar Nana pada Mas penjualnya. “Ya, mau pesan apa Mbak?”
“Saya mau pesan single scoop cup mint chocolate.”
“Baik, sebentar ya mbak.”
“Iya Mas.” tak berapa lama kemudian, es krim Nana pun selesai diambilkan. “Ini mbak, 25 ribu.”
Nana sontak menatap Max, ia tidak berbicara, hanya menatap dengan wajah memelasnya. Max yang mengerti segera membuka dompetnya lalu mengeluarkan uang 50 ribu.
“Ini Mas,” pria itu menerima uangnya lalu memberikan kembaliannya 25 ribu. “Terima kasih Mbak,”
“Sama-sama.”
“Sudah? Ayo pulang.” Nana mengangguk, meraih es krimnya yang berada di atas etalase lalu mengikuti Max yang sudah melangkah lebih dulu.
“Mr, kamu ngga suka es krim?” tanya Nana ketika telah mensejajarkan langkahnya dengan Max. “Tidak terlalu.”
“Es krim itu enak dan manis tahu. Mood buruk bisa hilang setelah makan es krim.”
“Oh iya?”
“Iya, beneran.”
“Tapi, sepertinya itu tidak berlaku padaku.” Max mempercepat langkahnya keluar dari mall dan diikuti dengan Nana yang juga melangkah lebih cepat sampai. Tin tin!
Max menarik tangan Nana hingga membuat tubuhnya mepet ke tubuh Max. Nana hampir saja ditabrak dengan mobil yang mau keluar dari parkiran basement. “Kamu itu kalau jalan lihat kanan kiri.” Max menatap orang di sampingnya dengan tatapan tanpa ekspresinya. Nana mengedipkan-ngedipkan matanya ketika bertemu dengan iris hazel yang sangat menawan itu. “I-iya, sorry.” Hingga akhirnya Max menyatukan jari-jarinya dengan jari-jari Nana, membawanya menuju mobilnya yang terparkir di parkiran mobil basement.
TBC