2. Lamaran

1011 Words
Raut wajah Bara langsung berubah seketika. Dia memandang Luna dengan datar nya, hingga membuat Luna sendiri merasa sangat takut sekali saat ini. "Maaf, aku memang ceroboh. Harusnya aku membaca kontrak nya dulu, agar bisa mengatur waktu." Luna menundukkan kepalanya, dia sudah sangat tak tahan dengan tatapan Bara yang menyorotnya bagaiman sebuah laser merah. Bara menggembuskan napasnya dengan kasar, sebisa mungkin dia menahan rasa kesalnya saat ini. Pria itu mengangguk, dia sangat mengerti dengan kepadatan pekerjaan dari kekasih nya saat ini. "Tak masalah, tetapi untuk lain kali, aku tak ingin lagi mendengar kecerobohan mu ini, dengar Luna." Luna mengangkat kepalanya, dia langsung mengangguk. Hati nya terasa sangat lega sekali kala dia mendapatkan pengertian dari tunangannya ini. "Terimakasih Bara, kau sudah mengerti ku." "Tak masalah." Tak berapa lama kemudian, seorang waiter datang dengan membawa beberapa menu makanan yang sudah dipesan oleh Bara. "Kau membelikan aku burger." Luna menatap makanan yang ada di depannya dengan penuh rasa lapar. Namun, sedetik kemudian dia langsung menutup matanya. Luna harus ingat, bahwa pekerjaannya adalah seorang model dan sudah seharusnya, dia tak menghabiskan makanan itu. Karena nanti perutnya bisa membuncit. "Ya, kau harus makan yang banyak." Luna menggeleng. Dia memajukan piring yang ada di depannya. "Maaf, Bara, kau harus ingat kalau aku sedang diet. Besok ada jadwal pemotretan, apalagi tema nya nanti adalah musim panas, sehingga di sana aku akan memakai pakaian yang terbuka. Tak mungkin, 'kan dia harus menunjukkan perutnya yang sedikit bergelombang? Bara berdecak kesal. Dia memanggil waiters lagi dan memesan, kan salad untuk Luna. "Aku tak habis pikir dengan mu. Kau terus saja menolak makanan lezat ini," ucap Bara. Dia mengambil burger yang harusnya untuk Luna tadi. Terpaksa, dia harus menghabiskan nya sendiri. "Ya, namanya juga aku harus mempertahankan bentuk tubuh ku ini. Aku model dan kau harus mengerti tuntunan pekerjaan aku." *** Objek nya hanya pada dokumen yang ada di depannya saat ini. Tubuhnya yang tengkurap di atas ranjang dan terus terdiam seraya berpikir, mencari jalan keluar atas permasalahanya saat ini. "Apa aku harus menerima pekerjaan ini?" Dia membuka kertas yang ada di dalam sana, membacanya secara perlahan. Menjadi sekertaris? Astaga, itu bahkan bukan cita-cita nya. Dia mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya menatap ke arah langit-langit kamarnya. "Dia sudah membuat masa lalu ku hancur, bukankah sudah seharusnya aku membuat masa depannya juga hancur?" Dia menyeringai, mengingat akan kesedihan masa lalunya membuatnya tak bisa lagi menahan kesal. Pintu kamarnya tiba-tiba saja dibuka, membuat wanita itu langsung menoleh. Dia menatap dengan penuh rasa kesal ke arah kakaknya yang datang dengan wajahnya tampak tak bersalah. "Bagaimana? Apakah kau sudah mengambil keputusan." "Ya." Dia membangunkan tubuhnya. "Aku akan bekerja di sana dan mengikuti apa yang kau ucapkan itu." Alex berseru gembira, akhirnya dia bisa juga membujuk adiknya itu. "Sekarang, kau harus bersiap-siap untuk bekerja." Dasha mengerutkan keningnya. "Memangnya sudah pagi?" tanya dia dengan wajah yang terlihat sangat polos sekali. Alex membuka tirai jendela, hingga membuat sinar matahari menembus kaca jendela nya. "Lihatlah, bahkan matahari saja sudah berada di atas langit dan memberikan kita sebuah energi." Fokus Alex berpindah, dia melihat sebuah kantung hitam yang ada di bagian bawah mata Dasha. "Kau tak tidur?" Dasha menguap dengan lebarnya. "Aku memikirkan masalah itu, hingga membuat ku tak bisa tidur." Rasanya, Dasha saat ini ingin tertidur, tetapi saat dia memikirkan aktivitasnya hari ini, terpaksa Dasha harus membangunkan tubuhnya. "Aku akan bersiap-siap." *** Penampilannya kini sudah terbilang cukup rapih. Dia memakai rok hitam dengan sebuah kemeja yang menjadi atasannya. Dia mengikat rambutnya, lalu memakai jas hitam nya. Dia menutupi kantung hitam yang ada di bagian bawah matanya dengan foundation. Setelah penampilannya dirasa telah sempurna, wanita itu langsung keluar dari kamarnya. Dia berjalan, menuruni tangga dan melihat Alex yang sedang asik dengan laptop nya. "Aku akan berangkat." "Berhenti!" Mengikuti perintah dari Alex, Dasha langsung mengentikan langkahnya. Dia membalikkan tubuhnya, menatap Alex dengan penuh tanya. "Ada apa?" "Kau ingin bekerja dengan penampilan seperti itu?" Dasha mengecek kembali penampilannya, dirasa olehnya tak ada yang salah. "Memangnya ada apa? Tak mungkin, 'kan aku memakai kaus juga celana Levis untuk melamar pekerjaan." "Bukan itu maksudku. Kau, 'kan bekerja dengan tujuan menggoda Bara, lalu bagaimana Bara tergoda dengan mu, jika tubuh ku saja tak ditonjolkan." "Lalu, kau pikir aku harus memakai rok span pendek juga baju ketat yang menonjolkan d**a ku. Kau ini kakak macam apa, mengajarkan adik menjadi tak baik saja," ucap Dasha dengan rasa kesalnya. "Aku tak akan memakai pakaian itu. Aku akan menggoda Bara dengan cara berbeda, bukan seperti p*****r pada umum nya." Setelah mengucapkan kalimat itu, dia langsung keluar dari rumahnya dengan d**a yang naik turun. Wanita itu mengambil kunci motor yang ada di dalam tas nya dan menuju ke garasi. Udara pagi ini cukup sejuk, untungnya dia memakai jaket. Keadaan jalan juga tak terlalu ramai, hingga membuat wanita itu lebih cepat sampai ke tempat tujuannya. Adijaya. Kata itu tertulis dengan sangat besar menjadi plang gedung yang ada di depannya saat ini. Dia melepaskan helm nya, menatap gedung tersebut, lalu dia menggembuskan napasnya dengan kasar. "Aku pasti bisa." Dia memasuki gedung perusahaan itu dan menghamoiri resepsionis. "Saya ingin melamar pekerjaan sebagai sekertaris CEO di sini, bisakah Anda memberitahu saya, ke mana saya harus mendaftar? Kebetulan, saya sudah mendaftar pekerjaan ini." Untungnya, Alex sudah terlebih dahulu mengajukan namanya untuk pendaftar lamaran pekerjaan ini, sehingga dia hanya perlu di interview saja. "Anda langsung bisa ke ruang HRD untuk di interview. Ruangan itu berada di lantai dua, rekan saya yang akan mengantarkan Anda langsung." Seorang wanita muncul, Dasha tersenyum manis kepada wanita itu, lalu dia mengikuti langkah nya, menuju ke lift. Saat sampai ke lantai dua, Dasha kembali melangkah, dia menuju ke ruangan HRD di mana, dia harus melewati sebuah lorong dulu, hingga dia melihat beberapa meja dengan komputer yang tersusun secara rapih. "Anda bisa menunggu antrian nya." Dasha mengangguk. Dia melihat ada empat wanita yang juga sedang menunggu di depan ruangan itu. Langsung saja, Dasha mengambil tempatnya, dia melihat-lihat tempat ini, seraya menunggu antrian dirinya saat ini. Pandangan nya berhenti, kala dia melihat seorang pria dan wanita saat ini. Wanita itu sangat dikenali oleh Dasha, wanita yang telah menghancurkan hidupnya. Luna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD