Dua | MLMH?

1568 Words
Keheningan malam membuat hati menjadi tenang, angin malam yang berhembus sangat menyejukkan tanpa membuat orang kedinginan. Nyanyian jangkrik menjadi lagu malam yang indah. Suara kendaraan yang berlalu-lalang menjadi pelengkap kebisingan malam. Bintang-bintang dan bulan menghiasi langit malam, seperti berebut tempat untuk memberi ketenangan pada manusia yang menatapnya. Aisya duduk di ayunan taman depan kosnya, ingin rasanya ia menguasai seluruh langit malam. Rasa lelah seharian terobati hanya dengan melihat taburan bintang di langit. Ia tersenyum ketika mengingat perkataan ustadzahnya dulu tentang bulan dan matahari. "Wanita salehah itu seperti matahari yang sinarnya dapat menundukkan pandangan, namun manfaatnya tidak dapat diragukan. Sedangkan wanita yang tidak menjaga harkat dan martabatnya seperti bulan yang sinarnya membuat orang ingin menatapnya berlama-lama, padahal bulan hanya bersinar ketika ia mendapat pancaran cahaya matahari. Kita sebagai seorang wanita seharusnya membuat benteng pada diri kita agar tidak sembarang orang dapat melihat kita, jangan menjadi wanita yang bisa dipandang seenaknya oleh laki-laki." Begitulah materi yang ia dapatkan dulu ketika duduk di bangku SMA, sejak saat itu ia mulai membentengi diri dengan menutup auratnya secara sempurna. Yah meskipun tidak bercadar tetapi setidaknya ia sudah berusaha untuk menutup aurat. Menundukkan pandangan juga cara terbaik untuk membentengi diri, karena setan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun untuk menggoda manusia. Bisa dengan membuat manusia tergoda karena tanpa sengaja melihat lawan jenis, sehingga timbulah zina mata. "Haahhh, udaranya sejuk banget, terlalu sering di kamar karena tugas jadi gak pernah merasakan udara malam." Suara dering panggilan membuat Aisya menoleh ke asal suara dan mengambil benda pipih di sampingnya. Ia melihat nama yang tertera, lantas senyumnya mengembang. Langsung ia angkat telpon itu dan ia tempelkan handphone ditelinga guna mendengar suara yang sejak lama telah ia rindukan. "Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh umiii ... Aisya kangeennn." Rengek Aisya setelah mengangkat telpon dari uminya itu. Suara di seberang sana menandakan bahwa lawan bicara Aisya sedang terkekeh dengan kelakuan putrinya. "Umi juga kangen banget sama kamu, kamu lagi ngapain? Udah makan?" Suara lembut di sana membuat Aisya tersenyum dan menganggukkan kepala walau ia tahu uminya tidak melihatnya. "Lagi duduk di depan kost umi, Alhamdulillah Aisya udah makan. Umi gimana kabarnya? Keluarga di rumah juga gimana?" "Alhamdulillah baik, kapan kamu pulang bawa calon? Umi udah gak sabar pengen punya cucu dari kamu." Seketika tubuh Aisya mendingin mendengar pertanyaan uminya. "Umii, Aisya lagi kuliah belum lulus, baru aja 2 tahun Aisya kuliah. Masa iya Aisya mau nikah? Aisya juga pengen kayak temen-temen Aisya yang kuliah dan setelah lulus kerja." "Yaahhh, mau gimana lagi kalau anak belum siap umi." Ucap seseorang yang berada di samping umi yang Aisya ketahui adalah abinya. "Abii, kangenn. Abi masa Aisya ditanyain umi tentang cucu. Kan Aisya lagi kuliah abii." Adu Aisya kepada abinya. "Sayang umi kamu cuma pengen liat kamu nikah gitu aja, kan bisa setelah menikah Aisya ngelanjut kuliah. Soal kerja enggaknya itu tergantung suami kamu ngijinin apa enggak." Penuturan Abi kepada anaknya. "Iya Abi, tapi belum ada yang Aisya suka hehe." ucap Aisya nyengir kuda, bagaimana dia bisa suka? Ngeliat lawan jenis aja jarang. "Anak temen Abi ada yang mau ta'aruf sama kamu tuh, kalau mau kamu bisa setujui, kalau gak mau juga Abi gak bakalan maksa." "Aduh Abi nih, Aisya belum siap. Aisya lagi pengen kuliah." ucap Aisya, meskipun ia sedang kesal namun sebisa mungkin ia tidak meninggikan suaranya melebihi suara orang tuanya. *** Suara alarm berbunyi dan langsung dimatikan oleh sang pemiliknya. Perlahan ia mendudukkan diri di tepi ranjang, setelah dirasa kesadarannya sudah utuh ia berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Air yang mengalir dari kran membuat dirinya merasa segar setelah tidur semalaman. Jangkrik-jangkrik masih setia bernyanyi, yah karena langit masih terlalu gelap. Ia menggelar sajadah dan memakai mukena lalu memulai aktivitasnya. Salat malam dua rakaat sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Selesai salat ia membuka setiap lembaran mushaf Al-Qur'an dan membacanya hingga adzan Subuh berkumandang. *** Pagi-pagi sekali Aisya sudah bersiap untuk berangkat kuliah. Hari ini ia mendapat kelas pagi. Ia melajukan motor membelah jalanan yang lumayan ramai. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai, jarak kosnya dan kampus memang hanya sekitar lima kilometer saja. Perlahan ia memasuki gerbang masuk dan mulai menuju parkiran untuk memarkirkan kendaraannya. Ia berjalan untuk menuju gedung fakultas ekonomi dan bisnis. "Assalamualaikum Aisya." Sapa seorang lelaki yang datang dari arah parkiran. "Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh, eh kak Elvin. Iya kak, kenapa?" Jawab Aisya kepada lelaki yang ia ketahui bernama Elvin. Aisya mengenalnya ketika Elvin menolong seorang nenek yang terjatuh ketika turun dari angkot. Ketika itu ia sangat panik karena tidak tahu harus melakukan apa. Supir angkot dan penumpang lain juga begitu, hingga sebuah mobil berhenti dan menampakkan seorang lelaki bertubuh tegap berjalan ke arah mereka untuk menolong nenek tersebut. Lelaki tersebut membawa nenek itu masuk ke dalam mobilnya dibantu oleh penumpang angkot untuk diantar ke rumah sakit terdekat. "Gak papa cuma nyapa doang kok. Kebetulan pas aku markir mobil kamu lagi jalan, jadi aku samperin deh." "Oh, kalau gitu aku duluan ya kak?" Mereka memang berbeda arah, karena fakultas ekonomi dan bisnis berada di Utara tempat mereka berdiri, sedangkan fakultas kedokteran berada di sebelah barat mereka. Elvin menatap punggung Aisya yang mulai menjauh. Senyum Elvin mengembang karena melihat wajah Aisya yang menyejukkan hati. Membuat dirinya menjadi bersemangat untuk menjalani aktivitas hari ini. "Assalamualaikum" Salam Aisya kepada Dila ketika sudah memasuki kelas. "Waalaikumussalam warohmatullah, tumben udah dateng. Biasanya juga lima menit sebelum kelas mulai baru nyampe." "Hehe sekali-kali berangkat pagilah." "Oh iya Sya, ada dosen baru loh. Masih muda ganteng lagi, dia bakalan ngajar di sini. Dan sekarang adalah kelasnya." "Jangan ngawur, terus Bu Alen gimana?" "Bu Alen ngelanjutin kuliah S3 di luar kota, jadi diganti deh sama dosen baru." Semua mahasiswa sudah berada di kelas menunggu dosen datang. Padahal masih lima menit lagi kelas dimulai. Karena takut tidak boleh masuk kelas mereka pun berangkat pagi. Isu-isu yang beredar mengatakan bahwa dosen barunya masih muda dan tampan, namun memiliki kedisiplinan yang tinggi. Ada yang mengatakan bahwa ia akan masuk kelas lima menit sebelum kelas dimulai, dan mencatat setiap mahasiswa yang telat setelah lima menit ia berada di sana. Benar saja, dosen tersebut sudah masuk. Semua mahasiswa menyapanya dan hanya dijawab dengan anggukan. Sudah lima menit berlalu dan untungnya tidak ada yang telat hari ini, karena semua sudah berada di tempatnya masing-masing. Dosen baru tersebut mulai membuka suara dan memperkenalkan dirinya. "Nama saya Ahmad Alvian Dharmawan panggil saja pak Alvian atau pak Al, saya dosen baru di sini. Saya lihat kalian semua lumayan disiplin juga. Tidak ada yang telat hari ini, tapi saya tidak menjamin hari berikutnya akan tetap seperti ini. Saya hanya akan memberitahu bahwa di kelas saya tidak ada kata terlambat ataupun tidak mengerjakan tugas. Tugas yang tertinggal tidak saya terima lagi dan akan saya beri nilai D untuk kedisiplinan. Masih untung saya beri nilai D, kalau E mungkin kalian tidak akan lulus secara normal seperti yang lain." Semua orang yang ada di dalam bergidik ngeri dengan apa yang dikatakan oleh dosen baru tersebut. Sekejam itukah? Bahkan Bu Alen yang notabenenya merupakan salah satu dari banyaknya dosen killer tidak separah itu. "Ada yang mau ditanyakan? Santai saja, saya beri waktu 10 menit untuk saling tanya jawab dan setelahnya kita mulai pembelajaran." Banyak mahasiswi mengangkat tangannya untuk memberi pertanyaan pada sang dosen. Itung-itung untuk modus, karena dosennya tampan bin ganteng bin bening pokoknya benar-benar lelaki idaman. "Bapak umur berapa?" "Tinggalnya di mana Pak?" "Udah punya pacar belum atau Bapak udah nikah?" "Nomor handphonenya sih Pak?" Berbagai pertanyaan aneh itu pun membuat para mahasiswa lain kesal, mereka bahkan tidak mengakui ketampanan dosen barunya saking iri. "Baiklah saya jawab, umur saya 25 tahun dan saya tinggal bersama orang tua saya. Saya tidak menyukai yang namanya pacaran, kalau memang mau serius langsung ke rumahnya saja jangan jadi pecundang, itu prinsip saya. Untuk nomor handphone tidak saya tulis tapi kalau memang mau mencatat silakan siapkan kertas 08********." "Yah Pak cepet banget, belum selesai nulisnya, ulangi sekali lagi Pak." "Tidak ada pengulangan. Baiklah waktu habis, sekarang saya ingin mengenal kalian." Aisya hanya mendengar celotehan dosen barunya dan mahasiswi lainnya tanpa melihat siapa dosen barunya itu. Ia tidak begitu tertarik dengan sesi tanya jawab yang menurutnya sangat menjijikan karena pertanyaan yang diajukan. Dila yang duduk di samping Aisya menyenggol sedikit lengannya, menginterupsi bahwa dosen sedang meminta perhatian. "Apa sih Dil?" "Jangan melamun, dengerin dosennya tuh. Dia lagi mau ngabsen." "Iya iya." Betapa terkejutnya ia ketika melihat ke depan. Ternyata lelaki yang merupakan dosen barunya itu adalah lelaki yang ia tabrak dan ia marahi di cafe kemarin. Aisya sangat takut jika dosen tersebut mengenalnya, dan membuat perhitungan. Ia menutupi wajahnya dengan buku. "Adele Martha Syafira." "Saya Pak." "Afni Safitri." "Saya Pak." "Aisya Humaira Sanjaya." Hening "Ada yang bernama Aisya?" Tidak ada yang menjawab, Dila yang mengetahui sahabatnya sedang menutupi wajahnya dengan bukupun hanya mengernyitkan dahi. "Sya! Dipanggil tuh." "Saya tanya sekali lagi ada yang bernama Aisya Humaira Sanjaya?" "Sa-saya Pak." Aisya menjawab dengan ragu, ia masih menutupi wajahnya dan bersembunyi di belakang bahu orang yang berada di depannya. "Ada suara tapi orangnya kemana?" Aisya pun menolehkan kepalanya ke samping dan tersenyum ke arah dosen tersebut. "Kamu tidur apa gimana? Dari tadi saya manggil nama kamu." Tanya dosen itu datar. "Ma-maaf Pak." Jawab Aisya dengan malu-malu, mungkin si dosen sudah lupa dengan kejadian kemarin atau dia tidak ingat dengan Aisya. "Tidak ada waktu untuk ngobrol santai, jadi saya lanjutkan." Aisya bersyukur, benar saja pemikirannya bahwa si dosen sudah lupa. Bersikap bodo amat mungkin lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD