Tomo
[Yok, reuni Yok! Senggang nih Gua....kalian gimana?]
Hanin
[Setuju, dah kangen banget ih sama kalian]
Kenan
[Dimana woy! Ikut!]
Tomo
[Direstoran Gua gimana? Sekalian promosi hehe]
Sela
[Asik gratis, kan?]
Kenan
[Wah, makan besar nih!]
Tomo
[Beres dah. Yang lain gimana?]
Arum
[@Nayanika ikut nggak?]
Sela
[Jam berapa nih?]
Tomo
[Jam 7 gimana?]
Kenan
[Oke, siap]
Arum
[Nungguin Naya dah Aku]
Hanin
[Setuju]
Tomo
[Mana nih si Naya?]
Naya
[Tunggu ntar malem deh.]
Tomo
[Buset dah, sibuk terus buk Guru nih!]
Naya mengulum senyum. Terakhir kali bertemu teman semasa SMA ya ketika pas mereka kelulusan. Semenjak itu, sangat jarang sekali bertemu bahkan beberapa diantaranya tidak pernah.
"Ngapain senyum-senyum?" Rena bertanya. Rekan sesama guru, juga teman semasa SMA, kuliah dan sampai sekarang. Meskipun Naya tergolong pintar namun Naya sangat sedikit memiliki teman. Naya berpikir, tidak papa mempunyai teman sedikit asal benar-benar tulus.
"Kamu nggak buka grup kelas?" Naya bertanya, memperhatikan raut bingung Rena.
"Grup kelas mana? SMA apa kuliah?" Rena mendekat, melongok pada ponsel Naya.
"Oh, belum....nih mau Aku buka." Kemudian, jarinya menjelajahi aplikasi berwarna hijau dengan lambang telepon.
"Kamu ikut?"
Naya mengedikkan bahu, "entah," Menata buku pelajaran, kemudian memasukkannya ke map buku.
Naya beranjak dari kubikel, membuat Rena kelabakan. "Tunggu Naya!"
Keduanya berjalan beriringan di Koridor kelas, suasana sekolah sepi sebab lima belas menit yang lalu jam pulang anak-anak.
"Aku jemput ya?" Tawar Rena.
"Memang Aku udah bilang 'iya'?"
Rena menggeleng, namun tak kehabisan akal. "Ayolah, kapan lagi coba, bisa ketemuan sama mereka,"
Naya menghela nafas, "Aku cuman bingung, kenapa Aku harus banget ikut?"
"Hmmm, ya silaturahmi lah Naya."
Naya berdecak sebal. Silaturahmi yang bagaimana? Bahkan, selain Rena, Naya tidak tahu harus merindui siapa teman semasa SMAnya dulu.
"Ya?"
"Enggak!"
"Iya!"
"Enggak!"
"Iya!"
"Enggak!"
"Enggak!"
"Iya!"
"Yes! Akhirnya mau!" Rena cekikikan, lalu berlari duluan. Entah bagaimana kekuatan Rena sebenernya, tahu-tahu gadis itu sudah melambaikan tangan di dalam mobil yang melaju.
"Aku jemput ntar malem!" Teriak Rena sebelum hilang dibalik gerbang.
"Ck, menyebalkan!" Naya menghentak kaki kesal. Jika ada muridnya yang melihat, hilang sudah wibawa seorang Nayanika. Untung sepi.
"Siapa yang menyebalkan?"
"Astagfirullah!" Naya kaget, pasalnya Dani tahu-tahu di belakangnya lengkap cengiran kuda.
"Ish, Bang! Nganggetin aja!" Naya mengusap d**a, mengatur nafas kembali normal.
"Hehe, ayo pulang." Ajak Dani sembari meraih tangan Naya. Namun, belum sempat tergapai, Naya lebih dulu menepis.
"Aku bukan Anak kecil, nggak usah Pegang-pegang. Bukan muhrim!" Setelah mengatakan itu, Naya melengos pergi.
Walau begitu, Naya tetap kembali berada di mobil yang sama dengan Dani. Alasannya adalah, motornya mogok, klise tapi memang semenjengkelkan itu keadaan ini.
Naya bahkan tidak berhenti untuk terus mengumpati lelaki dewasa yang kini duduk mengemudi. Yah, Dani, siapa lagi. Entah takdir apa yang membuat keduanya kini kembali pada keadaan yang sama, seperti sepuluh tahun silam saat dihari kelulusan SMA-nya. Ah, lucu sekali.
"Adek nggak kangen sama, Abang?" Tanya Dani.
Apa kata Dani? Kangen? Setelah semua yang terjadi haruskan kini Naya mengatakan perasaan 'kangen'lah yang mendominasi? Hah, lelucon apalagi ini? Tentu Naya merasa sangat ingin mendepak kembali wajah tampan Dani, apa tadi? Tampan? Astaga, Naya benar-benar gila!
"Jangan ngarep!" Cuek Naya sembari bersidekap d**a. Pandangannya ia alihkan pada jalanan yang dipenuhi pejalan kaki.
.
.
Entah apa yang dipikirkan kedua orangtua dan kedua kakaknya, saat kembali bertemu dengan Dani. Harusnya, mereka mendepak kembali wajah itu seperti sepuluh tahun silam, bukannya malah memberi pelukan hangat. Ada apa dengan mereka, sih, sebenarnya?
"Kami kangen banget sama Kamu, Nak!" Ibu memeluk Dani hangat, jelas sekali kerinduan dikedua netra coklat terang itu.
"Dani juga rindu Sama Ayah dan Ibu,"
Naya memilih untuk menuju kamarnya, Alih-alih menyambut Dani sama hangatnya.
"Maafin Naya, ya? Mungkin dia lagi capek aja," Naya bahkan merasa ingin menarik kata maaf Ibunya. Untuk apa meminta maaf? Toh, ini semua bukan salah Naya, Ibu atau siapapun kecuali Dani.
"Gimana kabar Bunda?" Tanya Farah pada Dani, seketika raut wajah sedih Dani terpatri nyata.
"Alhamdulillah udah baikan sekarang, Bu," Senyum itu dipaksa ada, Farah mengenali jenis senyum milik Dani, tentu saja, Farah sudah memiliki tiga anak. Mengenali betul segala raut wajah sedih dan bahagia anak-anaknya. Dan, Dani termasuk di dalamnya.
Dani yang mudah bergaul dan akrab sudah mengambil hati Hendra juga Farah ketika pertama kali memperkenalkan diri sebagai teman anaknya yang paling sulung. Sering bermain, menghabiskan waktu bersama dan sering kali menginap.
"Udah makan?" Dani mengangguk.
"Kok bisa bareng Naya? Kalian janjian?" Tanya Rendra yang baru saja bergabung diruang tamu.
"Tadi pagi sempet ketemu di jalan, motor Naya mogok. Jadi sekalian nganterin,"
Rendra menaikkan satu alis," Terus, nungguin sampek pulang?"
Dani menggeleng, "mampir kekosan Lala, sekalian nganterin kebandara. Karena Aku bakalan tinggal di sini, Lala yang bakalan gantian rawat Bunda."
"Katanya Lala mau nyari kerjaan disini? Nggak jadi?" Kali ini Dinda yang bertanya.
"Tadinya gitu, tapi karena kondisi Bunda nggak bisa ditinggal. Kemungkinan, Lala bakalan cari kerjaan disana,"
Sebenarnya Dani tidak tega meninggalkan Bunda dalam keadaan seperti ini. Namun, Dani punya tujuan kenapa ia harus kembali pada kota yang setiap sudutnya adalah kenangan. Naya, adalah alasannya.
.
.
Naya siap dengan tunik dipadu dengan rok wiru coklat. Sepatu putih lengkap kaos kaki, Naya tidak tahan dingin, maka double kaos kaki.
Menuruni anak tangga, Naya melihat keluarganya berkumpul menonton Televisi, ada Dani juga.
"Mau kemana, Nay?" Farah bertanya pada Naya saat anak gadisnya itu mencium kedua tangannya takzim.
"Ada acara reuni SMA, Bu,"
"Sendirian?...minta tolong Dani buat anterin, Kamu mau kan, Dan?"
Belum sempat Dani menjawab, Naya menyela, "Aku sama Rena, Bu. Bentar lagi ini mau dijemput,"
Naya tersenyum lembut, kemudian berpamitan.
[Hal-]
[Aduh, Naya! Kamu bisa berangkat sendiri, kan? Aku lupa kalau harus nganterin Mama ke Dokter. Nanti kita ketemuan disana, ya, oke?]
Dengan berat hati Naya mengi'iya'kan. Ck, menyebalkan. Motornya kan mogok.
"Kenapa?" Tanya Dani sembari menyenggol bahu Naya dengan Bahunya.
Naya menatap sebal Dani. "Bukan urusan, Abang."
Dani segera menyekal tangan Naya, saat gadis itu hendak pergi. Dani mendengar percapakan gadis itu dengan Rena, sahabatnya tidak bisa menjemput. Lalu, bagaimana cara Naya sampai kelokasi?
"Abang anter, ya?" Dani menawarkan dengan tatapan lembut. Tapi, Naya menolak kebaikan Dani.
"Aku bisa naik taksi." Kemudian punggung Naya menjauh, menghilang di balik gerbang rumah.
Dani merasakan kosong dan hampa, sepeninggal Naya. Sebegitu besar pengaruh Naya dalam hidupnya. Tidak berkurang dan semakin bertambah dalam perasaan Dani. Andai waktu bisa diputar, dan.....Dani hanya menyesali keputusan dulu yang berujung semakin mengeraskan hati gadis itu.
.
.
"Siapa?" Taya Tomo, pasalnya restoran ini sudah dipesan hanya untuk acara reuni.
Semua yang ada di ruangan menatap Dani heran. Mengira, seperti manusia sehabis dikejar rentenir, pasalnya Dani seperti orang tidak waras lengkap dengan amarah tercetak jelas diwajahnya.
"Aku Daniyan, calon suami Naya." Sebaris kalimat yang Dani ucapkan membuat semua yang disana bungkam. Termasuk lelaki yang sedari tadi sedang bercanda dengan Naya.
Kedatangan tiba-tiba Dani memang cukup mencolok, selain karena ketampanan pria itu. Dani juga memiliki aura kuat yang membuat siapapun di dekatnya merasa terimiditasi. Dani diluar adalah orang berbeda, itulah yang Naya tangkap kini. Naya merasa asing.
Dani mengepalkan tangan menahan amarah. Dia sangat khawatir mengetahui Naya menolak tawarannya dan lebih memilih naik taksi, maka itulah kenapa Dani menyusulnya. Namun, fakta bahwa ternyata Naya tidak naik taksi melainkan bersama pria lain membuat Dani merasa kalut. Dan, disinilah Dani. Membuat semua orang tercengang juga kaget.
"Nay, beneran dia calon suamimu?" Tanya Reyhan, kakak kelas sekaligus cinta pertama Naya. Bukan mantan, sebab tak pernah ada kata pacaran. Hanya seorang Naya yang begitu mengagumi sosok kakak kelasnya.
"Buk--"
"Kalau iya memangnya kenapa?" Bukan Naya yang mengatakan. Namun, Dani.
Reyhan tersenyum, jenis senyum yang menampilkan kekecewaan. Tidak menyangka bahwa Naya, adik kelas yang mencuri perhatiannya kini sudah dimiliki pria lain. Tidak ada kesempatan.
Rena yang sedang tertawa bahkan menghentikan tawanya. Jelas Rena kenal betul siapa pria dewasa yang mengaku calon suami Naya. Sosok yang mengambil peran paling banyak dalam keterpurukan Naya.
"Bang, Rey..." Cicit Naya.
"Selamat, ya. Ternyata Aku kalah selangkah," Ucap Reyhan lengkap tawa sumbang dan hambar.
Baik Reyhan maupun Dani tengah saling melempar tatapan tajam. Kalau saja tatapan itu seperti pedang, Naya rasa keduanya kini tercabik-cabik.
Naya berjalan kearah Dani, menarik lengannya namun Dani enggan beranjak.
"Bang, ayo pu-lang," Ajak Naya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Jujur saja, Naya merasa asing dengan sosok Dani saat ini.
Tatapan Dani beralih ke arah Naya, entah tatapan jenis apa. Namun Naya melihat jelas kekhawatiran disana.
Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Dani mengikuti saja kemanapun Naya akan membawanya.
.
.
Suasana di dalam mobil terasa mencekam. Bahkan, sepanjang perjalanan pulang pun keduanya sama sekali tidak berbicara.
"Kamu suka Dia?" Tanya Dani saat Naya hendak turun dari mobil.
Naya menatap Dani, pria itu tidak menatapnya melainkan pada pot bunga-bunga kecil yang seminggu lalu Naya tanam.
"Apa perlu banget, Aku jawab?" Tanya balik Naya. Ia merasa tidak punya kewajiban apapun untuk mengetahui apapun tentang Naya kini.
"Maaf," Lirih Dani, "maafkan Abang, Dek. Tadi, Abang sangat khawatir," Yah, Naya tahu itu.
"Sudahlah, Aku capek."
"Dek?"
Naya menunggu ucapan Dani selanjutnya, gadis itu tidak menoleh juga tidak melanjutkan langkah.
"Ini soal Reyhan, bisa Adek jauhin Dia?" Pinta Dani, netra sekelam malam itu tidak melepas pandang dari punggung kecil Naya.
Naya berbalik, menatap Dani tidak mengerti juga bingung. Cenderung merasa lucu pada sikap Dani. "Memangnya, Kamu siapaku, Bang?"
Dani diam, seolah kenyataan baru saja menampar keras wajahnya. Iya, memangnya siapa dirinya bagi Naya? Hanya masalalu yang tidak lagi penting. Sudut hati Dani merasa tak Terima dengan kenyataan itu, Naya masih gadisnya, masih sosok yang begitu berarti dalam hidup Dani, masih menjadi alasan Dani ada di kota ini. Tapi, memangnya siapa dirinya bagi Naya?
Dani memukul keras stir mobil, menumpahkan kekesalannya, walau kenyataannya tidak memberi efek apa-apa. Sekali lagi, Dani tatap punggung kecil Naya menghilang dibalik pintu. Berharap bahwa entah di waktu kapan, Dani bisa menyamai langkah itu.